Dalam kasus pelecehan seks secara verbal yang terjadi di tempat umum (contoh: di jalanan umum) seperti dengan kata-kata porno, ekspresi-ekspresi porno terhadap seorang wanita pengguna jalan umum tersebut, apakah mungkin dilakukan proses hukum terhadap pelaku? Undang-undang mana dan pasal mana sajakah yang bisa dimungkinkan untuk menjerat pelaku seperti itu? Hal ini saya pikir adalah perkara ringan tetapi sangat sering dijumpai di masyarakat. Mohon pencerahannya, terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pelecehan seksual adalah salah satu bentuk kekerasan seksual yang dapat berupa pelecehan seksual fisik ataupun nonfisik. Apa itu pelecehan seksual verbal? Yaitu pelecehan seksual nonfisik yang dilakukan dengan mengucapkan kata-kata bernuansa seksual yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan dan mempermalukan.
Lantas, bisakah pelecehan seksual secara verbal yang terjadi di tempat umum dipidana? Apa dasar hukumnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bagaimana Menjerat Pelaku Pelecehan Seksual Secara Verbal? yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn.Si Pokroldan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 9 Mei 2013.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengertian Pelecehan Seksual
Di dalam KUHPsebagaimana dijelaskan oleh Ratna Batara Munti dalam Kekerasan Seksual: Mitos dan Realita, tidak dikenal istilah pelecehan seksual melainkan hanya mengenal istilah perbuatan cabul, yakni diatur dalam Pasal 289 s.d. 296 KUHP.
Ratna mengutip pendapat R. Soesilo dalam KUHP Serta Komentar-komentarnya yang menyatakan bahwa istilah perbuatan cabul dijelaskan sebagai perbuatan yang melanggar rasa kesusilaan, atau perbuatan lain yang keji, dan semuanya dalam lingkungan nafsu berahi kelamin. Misalnya cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada dan sebagainya.
Menurut Ratna, berdasarkan pengertian di atas berarti segala perbuatan apabila itu telah dianggap melanggar kesopanan/kesusilaan, dapat dimasukkan sebagai perbuatan cabul.
Sementara itu, pelecehan seksual menurut Komnas Perempuan dalam 15 Bentuk Kekerasan Seksual: Sebuah Pengantaradalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun nonfisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korban. Ia termasuk menggunakan siulan, main mata, ucapan bernuansa seksual, mempertunjukkan materi pornografis dan keinginan seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual sehingga mengakibatkan rasa tidak nyaman, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin sampai menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan (hal. 6).
Lebih lanjut, dalam UU TPKSpelecehan seksual termasuk bentuk kekerasan seksual yang terdiri atas pelecehan seksual fisik dan nonfisik.[1]
Unsur penting dari pelecehan seksual adalah adanya ketidakinginan atau penolakan pada apapun bentuk-bentuk perhatian yang bersifat seksual. Sehingga bisa jadi perbuatan seperti siulan, kata-kata, komentar yang menurut budaya atau sopan santun (rasa susila) setempat adalah wajar. Namun, bila itu tidak dikehendaki oleh si penerima perbuatan tersebut maka perbuatan itu bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual.
Terkait dengan Pasal 281 KUHP, R. Soesilo mengatakan bahwa kesopanan dalam pasal tersebut berarti kesusilaan; perasaan malu yang berhubungan dengan nafsu kelamin misalnya bersetubuh, meraba buah dada orang perempuan, meraba tempat kemaluan perempuan, memperlihatkan anggota kemaluan wanita atau pria, mencium, dan sebagainya.
Lebih lanjut, dijelaskan bahwa perusakan kesopanan ini semuanya dilakukan dengan perbuatan. Dapatkah hal itu dilakukan dengan perkataan? Prof. Dr. D. Simons menentang kemungkinan perkosaan terhadap kesopanan dengan perkataan. Dalam hal jika tindakan tersebut dilakukan dengan perkataan, maka dapat dikenakan Pasal 315 KUHP.
Kemudian, sebagaimana dikutip oleh R. Soesilo, Mr. W.F.L. Buschkens berpendapat bahwa merusak kehormatan (penghinaan) secara umum juga termasuk merusak kesopanan apabila meliputi pernyataan (baik dengan kata-kata maupun dengan perbuatan-perbuatan) yang mengenai nafsu kelamin, maka kesopanan itu merupakan suatu pengertian yang khusus yang lebih sempit dan bahwa berdasarkan ketentuan dalam Pasal 63 ayat (2) KUHP, maka Pasal 281 KUHP lebih baik digunakan daripada Pasal 315 KUHP.
Adapun, bunyi lengkap ketentuan yang disebutkan di atas berdasarkan ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[2] yakni pada tahun 2026 yaitu:
KUHP
UU 1/2023
Pasal 63 ayat (2) KUHP
Jika suatu perbuatan masuk dalam suatu aturan pidana yang umum, diatur pula dalam aturan pidana yang khusus, maka hanya yang khusus itulah yang diterapkan.
Pasal 125 ayat (2) UU 1/2023
Suatu perbuatan yang diatur dalam aturan pidana umum dan aturan pidana khusus hanya dijatuhi aturan pidana khusus, kecuali undang-undang menentukan lain.
Pasal 281 KUHP
Diancam dengan pidana penjara paling lama 2 tahun 8 bulan atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta:[3]
barang siapa dengan sengaja dan terbuka melanggar kesusilaan;
barang siapa dengan sengaja dan di depan orang lain yang ada di situ bertentangan dengan kehendaknya, melanggar kesusilaan.
Pasal 406 UU 1/2023
Dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta,[4] setiap orang yang:
melanggar kesusilaan di muka umum; atau
melanggar kesusilaan di muka orang lain yang hadir tanpa kemauan orang yang hadir tersebut.
Pasal 315 KUHP
Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan
terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan
lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena
penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 4 bulan 2 minggu atau pidana denda paling banyak Rp4,5 juta.[5]
Pasal 436 UU 1/2023
Penghinaan yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang
dilakukan terhadap orang lain baik di muka umum dengan lisan atau tulisan,
maupun di muka orang yang dihina tersebut secara lisan atau dengan
perbuatan atau dengan tulisan yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya,
dipidana karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori II yaitu Rp10 juta.[6]
Jadi, menjawab pertanyaan Anda, sebagaimana diuraikan di atas, tindakan pelecehan seksual secara verbal yang terjadi di tempat umum dapat dipidana menurut KUHP. Akan tetapi, masih terdapat pro dan kontra mengenai pasal mana dalam KUHP yang dapat digunakan. Ada yang berpendapat menggunakan Pasal 281 KUHP dan Pasal 406 UU 1/2023. Ada juga yang berpendapat untuk menggunakan Pasal 315 KUHP dan Pasal 436 UU 1/2023 tentang penghinaan ringan.
Pelecehan Seksual Verbal Menurut UU TPKS
Terkait dengan pelecehan seksual yang Anda sampaikan, kami simpulkan melontarkan kata-kata porno/bernuansa sensual tergolong sebagai pelecehan seksual nonfisik.
Menurut UU TPKS, pelecehan seksual nonfisik adalah perbuatan seksual secara nonfisik yang ditujukan terhadap tubuh, keinginan seksual, dan/atau organ reproduksi dengan maksud merendahkan harkat dan martabat berdasarkan seksualitas dan/atau kesusilaannya.[7]
Adapun yang dimaksud dengan ‘perbuatan seksual nonfisik’ adalah pernyataan, gerak tubuh, atau aktivitas yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan atau mempermalukan.[8]
Menurut KBBI, pernyataan berarti tindakan menyatakan. Adapun menyatakan berarti mengatakan, mengemukakan (pikiran, isi hati). Artinya mengucapkan kata-kata termasuk dalam bentuk pernyataan. Adapun mengucapkan kata-kata bernuansa seksual termasuk dalam kategori pernyataan yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas termasuk perbuatan seksual nonfisik.
Lantas, apa itu pelecehan seksual secara verbal? Yaitu pelecehan seksual nonfisik yang dilakukan dengan mengucapkan kata-kata bernuansa seksual yang tidak patut dan mengarah pada seksualitas dengan tujuan merendahkan dan mempermalukan.
Apakah pelecehan seksual verbal bisa dipidana? Bisa. Menurut Pasal 5 UU TPKS, pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 bulan dan/atau pidana denda paling banyak Rp10 juta.
Pidana tersebut ditambah 1/3 jika pelecehan verbal dilakukan:[9]
dalam lingkup keluarga;
tenaga kesehatan, tenaga medis, pendidik, tenaga kependidikan, atau tenaga profesional lain yang mendapatkan mandat untuk penanganan, pelindungan dan pemulihan;
pegawai, pengurus, atau petugas terhadap orang yang dipercayakan atau diserahkan padanya untuk dijaga;
pejabat publik, pemberi kerja, atasan, atau pengurus terhadap irang yang dipekerjakan atau bekerja dengannya;
lebih dari 1 kali atau terhadap lebih dari 1 orang;
oleh 2 orang atau lebih dengan bersekutu;
terhadap anak;
terhadap penyandang disabilitas;
terhadap perempuan hamil;
terhadap seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya;
terhadap seseorang dalam keadaan darurat, keadaan bahaya, situasi konflik, bencana atau perang;
dengan menggunakan sarana elektronik.
Selain itu, dapat juga dijatuhkan pidana tambahan oleh hakim berupa:[10]
pencabutan hak asuh anak atau pencabutan pengampunan;
pengumuman identitas pelaku; dan/atau
perampasan keuntungan dan/atau harta kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana kekerasan seksual.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.