Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?

Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?
Dr. MICHAEL HANS & Associates Dr. MICHAEL HANS & Associates
Dr. MICHAEL HANS & Associates
Bacaan 10 Menit
Bagaimana Pembuatan Kontrak yang Benar Secara Hukum?

PERTANYAAN

Saya memiliki pertanyaan mengenai kontrak:

  1. Bagaimana penulisan kontrak yang benar agar sah secara hukum?
  2. Hal-hal apa sajakah yang minimal diatur di dalam suatu kontrak?
  3. Bagaimana suatu kontrak dikategorikan cacat hukum, dan bagaimana penyelesaian hukumnya jika ada perselisihan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam membuat suatu kontrak atau perjanjian, para pihak diberikan kebebasan untuk menentukan isi maupun bentuk dari kontrak tersebut. Namun dibalik kebebasan tersebut, kontrak tetap harus memenuhi syarat sah perjanjian berdasarkan KUH Perdata, agar kontrak tersebut tidak menjadi cacat hukum serta dapat berpotensi  mengakibatkan timbulnya perselisihan bagi para pihak yang terikat pada kontrak.

    Lantas, bagaimana pembuatan kontrak yang benar secara hukum?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Diana Kusumasari, S.H., M.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 2 Mei 2011.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Definisi Kontrak

    Sebelum membahas lebih dalam mengenai kontrak, perlu diketahui terlebih dahulu definisi dari kontrak itu sendiri. Dalam Pasal 1313 KUH Perdata, kontrak didefinisikan sebagai suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan diri terhadap satu orang lain atau lebih.

    Lebih lanjut, Subekti juga berpendapat bahwa kontrak atau yang biasanya disebut perjanjian merupakan suatu peristiwa di mana seseorang berjanji kepada seseorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal. Sehingga dapat kita simpulkan bahwa kontrak merupakan suatu produk kesepakatan antara pihak yang terikat didalamnya.[1]

    Sedangkan hukum kontrak menurut Michael D. Bayles adalah aturan hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan.[2]

    Asas Kebebasan Berkontrak

    Selanjutnya, salah satu asas yang berlaku dalam hukum kontrak adalah asas kebebasan berkontrak, yaitu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak dalam kontrak untuk membuat, menentukan isi maupun bentuk dari perjanjian tersebut.[3] Hal tersebut tercermin dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa semua kontrak yang dibuat sesuai dengan undang-undang akan berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Selain itu, persetujuan juga harus dilaksanakan dengan itikad baik.

    Akan tetapi, walaupun telah terdapat asas kebebasan berkontrak yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk membuat kontrak, suatu kontrak wajib memenuhi syarat keabsahan kontrak,[4] agar kontrak tersebut dapat dikatakan sah secara hukum.

    Lantas, apa saja syarat keabsahan kontrak? Berikut ulasannya.

    Syarat Keabsahan Kontrak

    Menjawab pertanyaan Anda mengenai apa yang menjadi syarat keabsahan kontrak atau perjanjian? Berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata, supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi 4 syarat sebagai berikut:

    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.

    Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Ini 4 Syarat Sah Perjanjian dan Akibatnya Jika Tak Dipenuhi, syarat pertama dan kedua disebut syarat subjektif karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sementara syarat ketiga dan keempat disebut syarat objektif karena menyangkut objek perjanjian. Syarat subjektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat mengakibatkan kontrak/perjanjian dapat dibatalkan, sedangkan syarat objektif merupakan suatu syarat yang apabila tidak terpenuhi dapat mengakibatkan kontrak/perjanjian batal demi hukum.[5]

    Berikut kami jelaskan masing-masing syarat keabsahan kontrak secara detail:[6]

    1. Syarat Subjektif

    Syarat subjektif dibagi menjadi:

    1. Kesepakatan para pihak

    Salah satu syarat agar suatu perjanjian dinyatakan sah adalah adanya kesepakatan para pihak. Dalam hal ini, kesepakatan berarti telah adanya kehendak serta persetujuan dari kedua belah pihak untuk membuat perjanjian. Dengan adanya kesepakatan oleh para pihak, perjanjian menjadi mengikat bagi para pihak yang membuatnya. Sebaliknya, perjanjian menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum dalam terdapat unsur paksaan maupun tekanan dalam pembuatannya. Sebagaimana yang dipertegas pula dalam Pasal 1321 KUH Perdata, bahwa tidak ada suatu persetujuan pun yang mempunyai kekuatan dalam hal diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.

    1. Kecakapan dalam membuat suatu perikatan

    Mengenai kecakapan, Pasal 1329 KUH Perdata menerangkan bahwa setiap orang berwenang untuk membuat perikatan, kecuali dalam hal orang tersebut dinyatakan tidak cakap. Pada dasarnya, setiap orang yang sudah dewasa atau akil balig dan sehat pikirannya adalah cakap menurut hukum.[7]

    Maka, Anda harus memastikan bahwa Anda tidak termasuk dalam kualifikasi orang-orang yang tidak cakap untuk membuat kontrak, yaitu anak yang belum dewasa dan orang yang ditaruh di bawah pengampuan sebagaimana diatur dalam Pasal 1330 KUH Perdata.

    Pasal 330 KUH Perdata menjelaskan bahwa yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap 21 tahun, dan yang sebelumnya tidak pernah kawin. Lebih lanjut, berdasarkan Lampiran SEMA 4/2016 tentang Rumusan Hukum Kamar Perdata (hal. 3), pembatasan usia kedewasaan haruslah dilihat berdasarkan konteks perkara yang bersangkutan (kasuistis), sehingga dalam kasus ini, usia dewasa untuk membuat kontrak adalah 21 tahun sebagaimana dimuat dalam KUHPer.

    Lalu, ketentuan spesifik mengenai orang yang ditaruh di bawah pengampuan diatur lebih lanjut dalam Pasal 433 KUH Perdata yang mengatur bahwa setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, gila atau mata gelap, harus ditempatkan di bawah pengampuan, sekalipun ia kadang-kadang cakap menggunakan pikirannya. Seorang dewasa boleh juga ditempatkan di bawah pengampuan karena keborosan.

    1. Syarat Objektif

    Syarat objektif dibagi menjadi:

    1. Adanya objek tertentu

    Sebagaimana diatur dalam Pasal 1332 KUH Perdata, bahwa hanya barang yang dapat diperdagangkan sajalah yang dapat menjadi pokok persetujuan. Selanjutnya, Pasal 1333 KUH Perdata juga mengatur bahwa suatu persetujuan harus mempunyai pokok berupa suatu barang yang sekurang-kurangnya ditentukan jenisnya.

    Namun menurut hemat kami, suatu hal tertentu juga dapat diartikan sebagai prestasi, misalnya memberikan sesuatu, berbuat sesuatu, atau tidak berbuat sesuatu seperti yang disebutkan dalam Pasal 1234 KUH Perdata. Singkatnya, prestasi adalah apa yang jadi kewajiban debitur dan apa yang jadi hak kreditur dalam suatu perjanjian.

    1. Adanya sebab yang halal

    Dalam hal ini sebab yang halal diartikan sebagai sebab yang tidak terlarang. Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang apabila sebab tersebut dilarang oleh undang-undang atau apabila sebab tersebut bertentangan dengan kesusilaan maupun ketertiban umum.

    Hal yang Diatur dalam Kontrak

    Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, hal-hal yang seminimal mungkin diatur dalam suatu kontrak adalah hal-hal yang termasuk kedalam unsur esensialia. Namun, pengaturan terhadap hal-hal yang tergolong unsur esensialia saja tidaklah cukup. Berdasarkan praktik kami, suatu kontrak dapat dikatakan telah sesuai dengan best practice pembuatan kontrak baik secara nasional maupun internasional apabila kontrak tersebut telah memuat:

    1. Judul yang mencerminkan jenis perjanjian yang dibuat ;
    2. Pembukaan yang berisi tanggal pembuatan dan penandatanganan perjanjian;
    3. Identitas dan keterangan mengenai kedudukan para pihak dalam kontrak;
    4. Premis yang berisi latar belakang dan alasan pembuatan kontrak;
    5. Kata-kata kesepakatan sebagai pengantar yang akan menjembatani pembukaan dan isi kontrak;
    6. Isi yaitu syarat dan ketentuan yang mencakup hak dan kewajiban para pihak yang unsur-unsurnya terdiri dari:[8]
    1. Esensialia, yaitu hal-hal pokok yang harus ada dalam suatu kontrak. Contohnya seperti pihak, objek (barang), harga, dan jangka waktu.
    2. Naturalia, yaitu hal-hal penunjang yang mana apabila tidak diatur dalam kontrak, atau apabila para pihak tidak diperjanjikan lain dari apa yang diatur oleh peraturan perundangan-perundangan, maka akan mengikuti peraturan perundang-undangan. Contohnya seperti kewajiban pembayaran, mekanisme penyerahan barang, instalasi, dan sebagainya.
    3. Aksidentalia, yang merupakan hal-hal yang akan mengikat para pihak apabila diperjanjikan. Contohnya seperti pengaturan terkait pernyataan dan jaminan, kekayaan intelektual, kerahasiaan informasi, pelanggaran dan teguran, hukum yang berlaku, penyelesaian sengketa, korespondensi, force majeure, pemutusan dan pengakhiran, pengalihan, pengesampingan, keterpisahan, serta keseluruhan perjanjian.
    1. Penutup yang menyatakan pemahaman dan kesadaran para pihak dalam menandatangani kontrak yang dibuat serta penyebutan terkait jumlah rangkap perjanjian ditandatangani;
    2. Meterai dan tanda tangan,

    Cacat Hukum dalam Kontrak

    Lalu, menjawab pertanyaan ketiga Anda, cacat hukum dalam kontrak disebabkan karena terdapat ketidaksesuaian antara kontrak yang dibuat dengan hukum yang berlaku sehingga mengakibatkan kontrak tersebut tidak mengikat secara hukum. Hal tersebut sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kapan Suatu Kontrak Dinyatakan Cacat Hukum?

    Kemudian, suatu kontrak juga dikategorikan cacat secara hukum apabila kontrak tidak memenuhi syarat keabsahan kontrak sebagaimana dijelaskan di atas. Apabila syarat subjektif tidak terpenuhi, maka konsekuensinya adalah salah satu pihak dapat meminta pembatalan terhadap kontrak tersebut atau singkatnya kontrak tersebut dapat dibatalkan (voidable), sedangkan apabila syarat objektif tidak terpenuhi maka konsekuensinya adalah kontrak menjadi batal dan dianggap tidak pernah ada, atau singkatnya kontrak tersebut batal demi hukum (null and void).

    Mekanisme Penyelesaian Perselisihan

    Dalam hal terdapat perselisihan terkait kontrak tersebut, berdasarkan praktik kami terdapat dua cara yang dapat ditempuh, antara lain:

    1. Penyelesaian perselisihan melalui pengadilan (litigasi);
    2. Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan (non litigasi) atau yang seringkali disebut dengan Alternative Dispute Resolution yaitu melalui konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, penilaian ahli maupun melalui arbitrase.

    Namun, mekanisme penyelesaian perselisihan mana yang akan digunakan mengacu pada mekanisme penyelesaian perselisihan yang telah disepakati pada kontrak. Pada umumnya, dalam suatu kontrak diatur terlebih dahulu penyelesaian perselisihan secara negosiasi maupun musyawarah mufakat dengan rentang waktu yang disepakati oleh para pihak. Selanjutnya, jika negosiasi maupun musyawarah mufakat tidak dapat terlaksana maupun tidak dapat berhasil dalam rentang waktu tersebut, barulah para pihak menyelesaikan perselisihan tersebut melalui mekanisme yang dipilih oleh para pihak, baik melalui pengadilan maupun arbitrase.

    Kemudian penting untuk diketahui, apabila dalam suatu perjanjian melibatkan informasi rahasia, berdasarkan praktik kami penyelesaian perselisihan dilakukan melalui arbitrase, karena proses persidangan arbitrase dilaksanakan secara tertutup dan rahasia sehingga menunjang sifat dan karakter dari informasi rahasia tersebut.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor Nomor 4 Tahun 2016 tentang Pemberlakuan Rumusan Hasil Rapat Pleno Kamar Mahkamah Agung Tahun 2016 Sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Bagi Pengadilan.

    Referensi:

    1. Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana, 2010;
    2. Moch. Isnaeni. Hukum Kontrak. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2018;
    3. Moch. Isnaeni. Hukum Perikatan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2017;
    4. Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUH Perdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012;
    5. Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019.
    6. Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005.

    [1] Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 1.

    [2] Salim. Hukum Kontrak: Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hal. 3.

    [3] Moch. Isnaeni. Hukum Perikatan. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2017, hal. 31.

    [4] Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

    [5] Retna Gumanti. Syarat Sahnya Perjanjian (Ditinjau dari KUHPerdata). Jurnal Pelangi Ilmu, Vol. 5, No. 1, 2012, hal. 4.

    [6] Moch. Isnaeni. Hukum Kontrak. Surabaya: PT Revka Petra Media, 2018, hal. 113.

    [7] Subekti. Hukum Perjanjian Cet. 21. Jakarta: Intermasa, 2005, hal. 17.

    [8] Agus Yudha Hernoko. Hukum Perjanjian. Jakarta: Kencana, 2010, hal. 225-226.

    Tags

    kebebasan berkontrak
    kontrak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!