KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Penggunaan 'Bahasa Hukum' dalam Pembentukan Peraturan

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Penggunaan 'Bahasa Hukum' dalam Pembentukan Peraturan

Penggunaan 'Bahasa Hukum' dalam Pembentukan Peraturan
Efraim Jordi Kastanya, S.H.Indonesian Center for Legislative Drafting
Indonesian Center for Legislative Drafting
Bacaan 10 Menit
Penggunaan 'Bahasa Hukum' dalam Pembentukan Peraturan

PERTANYAAN

Bagaimana kriteria penyusunan dan pemilihan bahasa hukum yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan? Adakah koridor hukumnya (hal yang perlu diperhatikan)?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Bahasa yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia. Bab III Lampiran II UU 12/2011 pada dasarnya telah memberikan berbagai arahan untuk menyusun kalimat, penggunaan kata dan frasa, pemilihan istilah, serta teknik pengacuan untuk merumuskan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. 

    Kaidah Bahasa Indonesia yang digunakan tidak berbeda dengan bahasa hukum atau bahasa dalam peraturan perundang-undangan, namun terdapat laras bahasa yang khas yang ada dalam bahasa yang digunakan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan. Sebab, kalimat peraturan perundang-undangan harus mudah dipahami untuk dapat dilaksanakan oleh pihak yang dituju.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Bahasa Indonesia dalam Pembentukan Peraturan

    Bahasa hukum sebagaimana Anda tanyakan dan kaidah tata bahasa yang digunakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan Indonesia sebenarnya tunduk pada kaidah Bahasa Indonesia. Hal ini sesuai dengan bunyi Angka 242 Lampiran II UU 12/2011 yang menyatakan bahwa:

    KLINIK TERKAIT

    Arti Diskresi, Ruang Lingkup, Syarat, dan Contohnya

    Arti Diskresi, Ruang Lingkup, Syarat, dan Contohnya

    Bahasa Peraturan Perundang–undangan pada dasarnya tunduk pada kaidah tata Bahasa Indonesia, baik pembentukan kata, penyusunan kalimat, teknik penulisan, maupun pengejaannya. Namun bahasa Peraturan Perundang-undangan mempunyai corak tersendiri yang bercirikan kejernihan atau kejelasan pengertian, kelugasan, kebakuan, keserasian, dan ketaatan asas sesuai dengan kebutuhan hukum baik dalam perumusan maupun cara penulisan.

    Lebih lanjut, Angka 243 Lampiran II UU 12/2011 memberikan petunjuk bagi penyusun peraturan perundang-undangan terkait ciri-ciri bahasa peraturan perundang-undangan yakni:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ciri-ciri bahasa Peraturan Perundang-undangan antara lain:

    1. lugas dan pasti untuk menghindari kesamaan arti atau kerancuan;
    2. bercorak hemat hanya kata yang diperlukan yang dipakai;
    3. objektif dan menekan rasa subjektif (tidak emosi dalam mengungkapkan tujuan atau maksud);
    4. membakukan makna kata, ungkapan atau istilah yang digunakan secara konsisten;
    5. memberikan definisi atau batasan pengertian secara cermat;
    6. penulisan kata yang bermakna tunggal atau jamak selalu dirumuskan dalam bentuk tunggal; dan
    7. penulisan huruf awal dari kata, frasa atau istilah yang sudah didefinisikan atau diberikan batasan pengertian, nama jabatan, nama profesi, nama institusi/lembaga pemerintah/ketatanegaraan, dan jenis Peraturan Perundang-undangan dan rancangan Peraturan Perundang-undangan dalam rumusan norma ditulis dengan huruf kapital.

    Adapun secara keseluruhan Bab III Lampiran II UU 12/2011 memberikan berbagai arahan untuk menyusun kalimat, penggunaan kata dan frasa, pemilihan istilah, serta teknik pengacuan untuk merumuskan ketentuan dalam peraturan perundang-undangan.

     

    Adakah Aturan Penggunaan 'Bahasa Hukum'?

    Kemudian jika dilihat secara teori, baik ahli bahasa dan ahli perancangan peraturan perundang-undangan sebenarnya telah mempertanyakan penggunaan bahasa dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

    Hal ini misalnya diungkapkan oleh Prof. A. Hamid S. Attamimi sebagaimana dikutip oleh Prof. Maria Farida Indrati S dalam bukunya Ilmu Perundang-undangan II: Proses dan Teknik Penyusunan mengungkapkan bahwa ahli bahasa mungkin saja mempertanyakan apakah bahasa dalam perundang-undangan tidak sama dengan bahasa pada umumnya (hal. 253).

    Bahkan, mungkin juga pernah terdengar bagi kita suatu ungkapan bahwa istilah yang digunakan adalah 'bahasa hukum'. Padahal menurut ahli bahasa, bahasa yang digunakan untuk pembentukan peraturan perundang-undangan tidak berbeda sama sekali dengan bahasa pada umumnya, sehingga tidak tepat jika menggunakan istilah 'bahasa hukum'.

    Yang membedakan 'bahasa hukum' lebih tepatnya adalah model bahasa atau laras bahasa. Junaiyah H. Matanggui dalam bukunya Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-undangan menyatakan hal yang membedakan bahasa yang dipakai di bidang hukum peraturan perundang-undangan menggunakan istilah, kosakata tertentu, dan gaya penyampaian yang sesuai dengan keperluan dan kelaziman yang berlaku di bidang hukum, di tiap bidang terdapat kekhasan masing-masing, misalnya di bidang kedokteran, pendidikan, pertanian, teknik, atau penerbangan, semua memiliki kekhasan laras namun tetap tunduk pada kaidah bahasa pada umumnya (hal. 1). 

    Menurut Junaiyah, Bahasa Indonesia di bidang hukum harus memenuhi syarat-syarat berikut (hal. 8-26):

    1. Bentuk kata harus benar;
    2. Makna kata harus tepat;
    3. Kalimat harus jelas, benar, dan tepat;
    4. Kalimat tidak bermakna ganda;
    5. Terdapat pemakaian istilah yang khas;
    6. Penulisan mengikuti Ejaan Bahasa Indonesia.

    Ann Seidman dan Robert B. Seidman dalam buku Legislative Drafting for Democratic Social Change: A Manual for Drafter menyatakan keberhasilan seorang perancang peraturan perundang-undangan (drafter) untuk menyusun kalimat perundang-undangan dilihat dari seberapa mudahnya kalimat itu dipahami oleh pihak yang dituju atau lembaga yang ditunjuk untuk melaksanakan ketentuan tersebut. Kalimat yang mudah dipahami tersebut pada akhirnya akan mudah juga untuk dilaksanakan. Oleh karena itu, dalam kalimat-kalimat yang dipakai dalam peraturan perundang-undangan harus memuat setidaknya “who does what” yaitu “siapa melakukan apa” (hal. 233-234).

    Elemen “siapa” merujuk pada subjek atau adresat pihak yang dituju untuk melakukan sesuatu, sedangkan elemen “apa” adalah perilaku yang diperintahkan kepada pihak tersebut (hal. 233-234).

    Suatu kalimat yang dirancang untuk mengatur perilaku harus mengandung subjek dan predikat. Subjek adalah mengenai siapa, yaitu setiap orang atau sekelompok orang yang diwajibkan, dilarang atau dibolehkan oleh ketentuan-ketentuan dalam rancangan peraturan perundang-undangan. Sedangkan predikat merupakan kata kerja, yaitu apa yang diwajibkan, dilarang, atau dibolehkan untuk dilakukan oleh subyek.[1]

    Untuk membedakannya dengan kalimat informatif, kalimat yang dirancang untuk mengatur perilaku harus memasukkan suatu kata bantu yang dilekatkan pada kata kerja, dengan demikian kalimat tersebut menjadi kalimat yang normatif. Kata bantu itu meliputi: wajib atau harus, dapat, dan dilarang.[2] 

    Demikian jawaban dari kami tentang penggunaan 'bahasa hukum' dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.

     

    Referensi:

    1. Ann Seidman dan Robert B. Seidman. Legislative Drafting for Democratic Social Change: A Manual for Drafter. Kluwer Law: London, 2001;
    2. Junaiyah H. Matanggui. Bahasa Indonesia untuk Bidang Hukum dan Peraturan Perundang-undangan. Jakarta: Grasindo, 2015;
    3. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-undangan II: Proses dan Teknik Penyusunan. Yogyakarta: Penerbit PT Kanisius, 2020;
    4. Sony Maulana Sikumbang. Bahan Ajar Mata Kuliah Perancangan Peraturan Negara (PPN) yang disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021.

    [1] Sony Maulana Sikumbang. Bahan Ajar Mata Kuliah Perancangan Peraturan Negara (PPN) yang disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021

    [2] Sony Maulana Sikumbang. Bahan Ajar Mata Kuliah Perancangan Peraturan Negara (PPN) yang disampaikan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021

    Tags

    bahasa indonesia
    hierarki peraturan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!