Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya?

Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya?
Dr. Aditya Wiguna Sanjaya, S.H., M.H., M.H.Li.PERSADA UB
PERSADA UB
Bacaan 10 Menit
Berbuat Pidana di LN, Bisakah WNI Memilih Hukum yang Lebih Meringankan Baginya?

PERTANYAAN

Bagaimana jika TKI menjadi pelaku tindak pidana di luar Indonesia? Hukum Indonesia atau hukum negara tersebut yang dijadikan dasar untuk menghakimi pelaku? Apa pelaku bisa memilih salah satu hukum yang meringankan saja?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Selain pidana dari negara tempat tindak pidana dilakukan, juga ada kemungkinan hukum pidana Indonesia dapat diterapkan pada pekerja migran Indonesia tersebut dengan persyaratan tertentu, mengingat berlakunya asas-asas hukum pidana.

    Kemudian karena hukum pidana termasuk ranah hukum publik dan bersifat dwingenrecht, maka dalam hal ini pekerja migran Indonesia yang menjadi pelaku tindak pidana tidak dapat memilih akan menundukkan diri pada hukum yang dianggap lebih menguntungkan dirinya.

    Namun jika pekerja migran Indonesia telah diadili dan mendapatkan hukuman dari negara tempat tindak pidana dilakukan, maka ia tidak dapat diadili kembali oleh pengadilan Indonesia atas kasus yang sama, hal ini merujuk pada asas ne bis in idem.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Asas-asas Hukum Pidana

    KLINIK TERKAIT

    Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc

    Mengenal Pengadilan HAM Ad Hoc

    Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai asas-asas berlakunya hukum pidana suatu negara menurut tempat, yakni:

    1. Asas Teritorial

    Pada umumnya asas teritorial ini dianut oleh semua negara di dunia.[1] Asas ini dilandasi oleh kedaulatan negara bahwa setiap negara yang berdaulat wajib menjamin ketertiban hukum di wilayahnya dan barangsiapa yang melakukan tindak pidana maka negara berhak untuk memidana.[2]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Di Indonesia, asas teritorial terkandung di dalam Pasal 2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di Indonesia.

    Asas teritorial ini kemudian diperluas kembali oleh Pasal 3 KUHP:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia.

    Dengan demikian, baik warga negara Indonesia maupun warga negara asing yang melakukan tindak pidana di dalam wilayah negara Indonesia, atau dalam kendaraan air atau pesawat udara Indonesia tunduk pada hukum pidana Indonesia. Hal ini berdasarkan satu postulat interest reipublicae ne maleficia remaneant impunita, yang artinya ialah kepentingan suatu negara agar kejahatan yang terjadi di negaranya tidak dibiarkan saja.[3]

     

    1. Asas Nasional Aktif

    Asas nasional aktif disebut juga dengan asas personalitas yang berarti perundang-undangan pidana berlaku bagi semua perbuatan pidana yang dilakukan oleh warga negara di mana pun berada termasuk juga di luar wilayah negaranya. Tegasnya, asas ini dikaitkan dengan orangnya (warga negara) tanpa mempersoalkan di manapun ia berada.[4]

    Asas ini hanya berlaku apabila perbuatan yang dilakukan di negara lain, menurut hukum nasional negara tersebut juga merupakan tindak pidana. Sebaliknya, asas nasional aktif ini tidak berlaku jika perbuatan yang dilakukan menurut hukum negara asalnya adalah tindak pidana, sedangkan menurut hukum negara tempat perbuatan tersebut dilakukan bukan merupakan suatu tindak pidana.[5]

    Asas ini tercantum di dalam Pasal 5, Pasal 6 dan Pasal 7 KUHP, dengan bunyi sebagai berikut:

    Pasal 5 KUHP:

    1. Ketentuan pidana dalam undang-undang Indonesia berlaku bagi warga Negara Indonesia yang melakukan di luar Indonesia:
    1. Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan II Buku Kedua dan dalam pasal-pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451;
    2. Suatu perbuatan yang dipandang sebagai kejahatan menurut ketentuan pidana dalam undang-undang negeri, tempat perbuatan itu dilakukan.
    1. Penuntutan terhadap suatu perbuatan yang dimaksudkan pada huruf b boleh juga dilakukan, jika tersangka baru menjadi warga negara Indonesia setelah melakukan perbuatan itu.

    Pasal 6 KUHP:

    Berlakunya Pasal 5 ayat (1) ke-2 dibatasi sedemikian rupa hingga tidak dijatuhi pidana mati jika menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancam dengan pidana mati.

    Selanjutnya, asas nasional aktif diperluas dengan berlakunya perundang-undangan pidana Indonesia bagi pegawai negeri Indonesia yang berada di luar negeri yang melakukan kejahatan yakni sebagaimana disebutkan dalam Pasal 7 KUHP:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap pegawai negeri Indonesia yang di luar Indonesia melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.

    Baca juga: Arti Asas Personalitas atau Asas Nasionalitas Aktif dalam Hukum Pidana

     

    1. Asas Nasional Pasif

    Menurut asas ini, berlakunya perundang-undangan pidana didasarkan pada kepentingan hukum suatu negara yang dilanggar oleh seseorang di luar wilayah negara atau di luar negeri dengan tidak dipersoalkan kewarganegaraan pelaku tindak pidana apakah warga negara atau orang asing.[6]

    Asas nasional pasif ini didasarkan pada prinsip interest reipublicae quod homines conserventur yang artinya kepentingan suatu negara agar warga negaranya dilindungi.[7] Tegasnya, dengan asas ini ada unsur melindungi kepentingan nasional terhadap siapapun juga dan di manapun juga.[8]

    Adapun asas nasional pasif ini terkandung di dalam Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP yang berbunyi:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

    1. salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal 104, 106, 107, 108, 110, 111 bis ke-1, 127 dan 131;
    2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;
    3. pemalsuan surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan suatu daerah atau bagian daerah Indonesia, termasuk pula pemalsuan talon, tanda dividen atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut, atau menggunakan surat-surat tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak dipalsu.

    Asas nasional pasif ini diperluas oleh Pasal 8 KUHP yang menyebutkan:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku bagi nakhoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun di luar perahu, melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam peraturan mengenai surat laut dan pas kapal di Indonesia, maupun dalam Ordonansi Perkapalan.

     

    1. Asas Universal

    Asas ini melihat pada suatu tata hukum internasional, di mana terlibat kepentingan bersama dari semua negara di dunia. Maka jika ada suatu tindak pidana yang merugikan kepentingan bersama dari semua negara itu, adalah layak bahwa tindak pidana dapat dituntut dan dihukum oleh pengadilan setiap negara, tanpa melihat siapa yang melakukan dan di mana tindak pidana tersebut dilakukan.[9]

    Arti penting dari asas universal adalah jangan sampai ada pelaku kejahatan internasional yang lolos dari hukuman. Oleh karena itu setiap negara berhak untuk menangkap, mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional. Namun, bilamana pelaku kejahatan internasional telah diadili dan dihukum oleh suatu negara, maka negara lain tidak boleh mengadili dan menghukum pelaku kejahatan internasional atas kasus yang sama. Asas universal ini berlaku bagi tindak pidana yang dikualifikasikan sebagai kejahatan internasional dan bukan kejahatan transnasional.[10]

    Asas universal terdapat dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP yang menyatakan:

    Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan di luar Indonesia:

    2. suatu kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau bank, ataupun mengenai meterai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh Pemerintah Indonesia;

    4. salah satu kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang pembajakan laut dan pasal 447 tentang penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479 huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf l, m, n, dan o tentang kejahatan yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.

     

    Patut dicatat, berkenaan dengan penerapan keempat asas sebagaimana telah dijelaskan di atas, KUHP memberikan pembatasan berdasarkan bunyi Pasal 9 KUHP:

    Diterapkannya pasal-pasal 2 - 5, 7 dan 8 dibatasi oleh pengecualian-pengecualian yang diakui dalam hukum internasional.[11]

    Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia menyebutkan pengecualian-pengecualian yang dimaksud ialah antara lain:

    1. Bahwa rumah dan pekarangan dari para duta besar dan duta dari negara asing dianggap wilayah dari negara asing yang bersangkutan;
    2. Bahwa para diplomat asing tidak dapat dituntut di muka pengadilan dari negara tempat mereka ditugaskan;
    3. Bahwa kapal-kapal perang dari negara asing yang berlabuh di pelabuhan negara awak, dianggap pula sebagai wilayah negara asing yang bersangkutan.

    Dalam hal ini diperlakukan prinsip “ex-teritorialitas”, yang berarti bahwa orang-orang dianggap ada di luar suatu wilayah tempat mereka sebenarnya ada.[12]

     

    Jika Pekerja Migran Indonesia Melakukan Tindak Pidana di Luar Indonesia

    Sebagaimana disebutkan melalui Aspek Hukum Isi Perjanjian Kerja Pekerja Migran Indonesia, istilah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) kini dikenal dengan pekerja migran Indonesia.

    Kembali ke pertanyaan, sayangnya Anda tidak menyebutkan secara spesifik mengenai jenis tindak pidana yang dilakukan oleh pekerja migran Indonesia yang dimaksud. Namun yang pasti, berdasarkan asas teritorial yang dianut seluruh negara di dunia, negara tempat di mana pelaku berada, dapat menerapkan hukum pidana di negaranya terhadap siapapun yang melakukan tindak pidana di wilayahnya, termasuk warga negara asing.

    Namun menurut hemat kami, dalam keadaan tertentu terdapat 3 kemungkinan hukum pidana Indonesia juga dapat diterapkan pada pekerja migran Indonesia tersebut, yakni:

    1. Asas nasional aktif, hukum pidana Indonesia juga dapat diterapkan jika tindak pidana yang dilakukan diatur dalam hukum pidana Indonesia, sedangkan menurut perundang-undangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam pula dengan pidana.

    Apabila dirinci, kejahatan Pasal 5 KUHP dapat dibagi menjadi 2 golongan. Golongan pertama mencakup:

      1. Dari Bab I dan II Buku II KUHP yang meliputi kejahatan-kejahatan terhadap keamanan negara (misdrijven tegen de veiligheid van de staat);
      2. Dari Pasal 160 dan 161 KUHP yang berupa penghasutan (opruiing) untuk melakukan tindak pidana;
      3. Dari Pasal 240 KUHP berupa tidak memenuhi kewajiban dalam bidang pertahanan negara;
      4. Dari Pasal 279 KUHP berupa melakukan perkawinan melebihi jumlah yang diperbolehkan;
      5. Dari Pasal 450 dan 451 KUHP berupa turut serta, tanpa izin pemerintah Indonesia dalam kapal dinas negara asing yang melakukan pengambilan kapal-kapal lain.[13]

    Pada kejahatan golongan pertama ini tidak mempersoalkan apakah perbuatan itu merupakan tindak pidana atau tidak di negara asing yang bersangkutan.[14]

    Sedangkan golongan kedua, mensyaratkan bahwa hukum pidana Indonesia dapat diterapkan bilamana di samping perbuatan itu merupakan tindak pidana di negara Indonesia juga merupakan tindak pidana di luar negeri (double criminality principle).[15]

    1. Asas nasional pasif, jika pekerja migran yang bersangkutan melakukan tindak pidana Pasal 4 ke-1, ke-2, dan ke-3 KUHP seperti yang telah diterangkan sebelumnya.
    2. Asas universal, jika perbuatan pekerja migran Indonesia melakukan perbuatan dalam Pasal 4 ke-2 dan ke-4 KUHP sebagaimana disebutkan sebelumnya.

    Dengan demikian, selain hukum pidana dari negara tindak pidana dilakukan, juga terdapat kemungkinan hukum pidana Indonesia dapat diterapkan dengan persyaratan tertentu. Keadaan semacam ini disebut dengan concurrent jurisdiction, yang dalam The Law Dictionary didefinisikan an authority that has been conferred on 2 or more courts to hear and decide similar cases.[16]

     

    Langkah Hukum

    Upaya yang dapat ditempuh bilamana hukum pidana Indonesia hendak diterapkan pada pelaku, sedangkan pelaku berada di negara tempat dilakukan tindak pidana ialah melalui mekanisme ekstradisi.

    Mengenai ekstradisi, Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi mengatur:

    Apabila seseorang disangka melakukan sesuatu kejahatan atau harus menjalani pidana karena melakukan sesuatu kejahatan yang dapat diekstradisikan di dalam yurisdiksi Negara Republik Indonesia dan diduga berada di negara asing, maka atas permintaan Jaksa Agung Republik Indonesia atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Menteri Kehakiman Republik Indonesia atas nama Presiden dapat meminta ekstradisi orang tersebut yang diajukannya melalui saluran diplomatik.

    Baca juga: Hukumnya Ekstradisi Buron Internasional di Indonesia

    Namun, ditolak atau diterimanya permintaan ekstradisi sepenuhnya merupakan hak prerogatif pemerintah dari negara tempat dilakukannya tindak pidana tersebut.

    Menjawab pertanyaan Anda selanjutnya, hukum pidana termasuk dalam ranah hukum publik dan bersifat dwingenrecht, maka pekerja migran Indonesia yang menjadi pelaku tindak pidana tidak dapat memilih akan menundukkan diri pada hukum yang dianggap lebih dapat menguntungkan dirinya.

    Akan tetapi perlu digarisbawahi, jika pekerja migran Indonesia telah diadili dan mendapatkan hukuman dari negara tempat tindak pidana dilakukan, maka si pelaku tidak dapat diadili oleh pengadilan di Indonesia atas kasus yang sama, hal ini merujuk pada asas ne bis in idem dalam Pasal 76 ayat 2 KUHP:

    Jika putusan yang menjadi tetap berasal dari Hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:

    1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
    2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.

    Baca juga: Ekstradisi dalam Kasus Narkotika dan Psikotropika

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1979 tentang Ekstradisi.

     

    Referensi:

    1. Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016;
    2. Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016;
    3. Hanafi Amrani. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2015;
    4. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986;
    5. The Law Dictionary, yang diakses pada 21 Mei 2021 pukul 15.00 WIB.

    [1] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 301

    [2] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 42

    [3] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 301-302

    [4] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 44

    [5] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 306-307

    [6] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 47

    [7] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 306-307

    [8] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986, hal. 51

    [9] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986, hal. 53

    [10] Eddy O.S. Hiariej. Prinsip-Prinsip Hukum Pidana. Yogyakarta: Cahaya Atma Pustaka, 2016, hal. 313

    [11] Pasal 9 KUHP

    [12] Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986, hal. 54

    [13] Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Eresco, 1986, hal. 49-50

    [14] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 45

    [15] Andi Sofyan dan Nur Azisa. Hukum Pidana. Makassar: Pustaka Pena Press, 2016, hal. 45

    [16] The Law Dictionary,yang diakses pada 21 Mei 2021 pukul 15.00 WIB, Hanafi Amrani. Hukum Pidana Pencucian Uang: Perkembangan Rezim Anti Pencucian Uang dan Implikasinya terhadap Prinsip Dasar Kedaulatan Negara, Yurisdiksi Pidana dan Penegakan Hukum. Yogyakarta: UII Press, 2015, hal. 201

    Tags

    tki
    ne bis in idem

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!