Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Tentang Uang Pisah oleh Si Pokrol yang dipublikasikan pertama kali pada Jumat, 30 Juni 2006.
Sebelumnya, perlu dipahami pasca diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) dan peraturan pelaksananya, ada beberapa ketentuan Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) yang diubah, dihapus dan/atau ditetapkan pengaturan baru, salah satunya hak-hak pekerja yang mengundurkan diri.
Hak Pekerja yang Mengundurkan Diri
Jika merujuk Pasal 162 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, sebelumnya memang mengatur pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri memperoleh uang penggantian hak (“UPH”). Sedangkan pekerja yang tugas dan fungsinya tidak mewakili kepentingan pengusaha secara langsung berhak atas UPH dan uang pisah yang besarnya dan pelaksanaannya diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”) atau perjanjian kerja bersama (“PKB”).[1] Tapi, kini pasal tersebut sudah dihapus Pasal 81 angka 51 UU Cipta Kerja.
Kemudian kini hak pekerja yang mengundurkan diri diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) yang menegaskan pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat berhak atas UPH dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.[2]
Dari ketentuan tersebut, seluruh pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan diri sendiri dan memenuhi syarat sama-sama berhak atas UPH dan uang pisah.
Baca juga: Hak Pekerja yang Terkena PHK dan yang Mengundurkan Diri
Tapi, bagaimana jika besaran uang pisah tidak diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB?
Jika Besaran Uang Pisah Tidak Diatur
Disarikan dari Uang Pisah: Hak Buruh yang Terbengkalai, Ketua Umum Asosiasi Mediator Hubungan Industrial (AMHI) periode 2020-2023 yang sebelumnya menjabat sebagai Direktur Pencegahan dan Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Kemnakertrans, Sahat Sinurat, menegaskan ketiadaan pengaturan uang pisah di dalam peraturan perusahaan tak otomatis menghilangkan hak pekerja atas uang pisah tersebut. Ini penting diluruskan karena dalam praktik banyak hak pekerja atas uang pisah yang diabaikan karena tak diatur oleh perusahaan (hal. 2).
Dengan demikian, menjawab pertanyaan Anda, perusahaan tetap wajib membayar uang pisah meskipun tidak diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB. Lantas, bagaimana cara hitung besaran uang pisah?
Jika perusahaan tak mengatur besaran uang pisah, sebagai contoh, kita bisa merujuk pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 104 K/Pdt.Sus/2010.
Berdasarkan hal-hal yang dikemukakan di persidangan, didapatkan fakta sebagai berikut (hal. 1 – 2):
- Pekerja (Penggugat) mengundurkan diri setelah 9 tahun lebih bekerja di perusahaan (Tergugat). Upah Penggugat sebesar Rp1.3 juta per bulan.
- Tergugat enggan memberikan hak-hak Penggugat, sehingga Penggugat mengajukan gugatan ke PHI.
- Tergugat belum memiliki PP maupun PKB yang mengatur besaran uang pisah yang berhak diterima pekerja yang mengundurkan diri.
Atas hal-hal tersebut, kemudian Majelis Hakim PHI dalam amar putusannya menghukum Tergugat untuk membayar uang pisah sebesar 4 bulan upah, yakni sebesar Rp5.2 juta (hal. 5). Atas putusan tersebut, Tergugat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi permohonan tersebut ditolak (hal. 10).
Perlu diketahui, hitungan uang pisah tersebut adalah sama dengan hitungan Uang Penghargaan Masa Kerja (“UPMK”) yang dianjurkan oleh Mediator Hubungan Industrial (hal. 2).
Di sisi lain, kami menyarankan Anda bersama-sama dengan serikat pekerja sebaiknya mengajukan pembahasan PP atau PKB ke pengusaha untuk mengatur besaran uang pisah lebih lanjut, sehingga hak-hak pekerja dapat terlindungi dan terjamin.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Putusan: