Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Kepailitan dan Arbitrase (1) yang dibuat oleh Si Pokrol dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 3 April 2002.
Arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.[1]
klinik Terkait :
Merujuk pada bunyi Pasal 3 UU 30/1999 disebutkan Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Sedangkan menurut N.E. Algra yang dikutip oleh M. Hadi Shubhan dalam bukunya Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan menjelaskan kepailitan adalah suatu sitaan umum terhadap semua harta kekayaan dari seorang debitur (si berutang) untuk melunasi utang-utangnya kepada kreditur (si berpiutang) (hal. 1).
Baca juga: 3 Perbedaan Mediasi dan Arbitrase
Menjawab pertanyaan Anda, dalam kasus kepailitan yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga,[2] pada dasarnya kedua pertanyaan Anda akan terjawab oleh Pasal 303 UU Kepailitan, yang menyatakan:
Pengadilan tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pernyataan pailit dari para pihak yang terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase, sepanjang utang yang menjadi dasar permohonan pernyataan pailit telah memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang ini.
Rekomendasi Berita :
Dengan demikian, kreditur tetap dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga walaupun kreditur dan debitur terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Pengadilan Niaga dalam hal ini tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit yang diajukan oleh dari kreditur, meskipun ia terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase.
Kemudian kunci apakah permohonan pailit dapat diterima atau ditolak adalah pada pembuktian utang yang menjadi dasar permohonan pailit harus memenuhi ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan yaitu:
- Ada dua atau lebih kreditur; dan
- Ada suatu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih yang tidak dibayar lunas oleh debitur.
Selain di atas, permohonan kepailitan harus pula memenuhi ketentuan Pasal 8 ayat (4) UU Kepailitan mengenai pembuktian sederhana. Permohonan pernyataan pailit harus dikabulkan apabila terdapat fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana bahwa persyaratan untuk dinyatakan pailit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) telah dipenuhi.
Selanjutnya mengenai syarat kepailitan dapat Anda baca lebih lanjut dalam artikel berjudul 2 Syarat Kepailitan dan Penjelasannya.
Jadi bisa disimpulkan bahwa kreditur tetap dapat mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga walaupun ia terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase. Sementara Pengadilan Niaga tetap berwenang memeriksa dan menyelesaikan permohonan pailit meskipun kreditur terikat perjanjian yang memuat klausula arbitrase.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa;
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Referensi:
M. Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, Edisi Pertama. Jakarta: Kencana, 2019.