Bagaimana keabsahan alat uji kebohongan (lie detector) yang digunakan untuk mendapatkan keterangan dan pengakuan dari tersangka/terdakwa? Apakah lie detector bisa menjadi alat bukti dalam persidangan pidana?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Dasar hukum penggunaan alat uji kebohongan atau poligraf pada tersangka atau saksi telah diatur dalam Perkapolri 10/2009 berikut persyaratan formal dan teknisnya. Kemudian menyambung dengan alat bukti yang sah dalam KUHAP,apakah lie detector bisa menjadi alat bukti?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Alat uji kebohongan yang dibuat oleh Alfi Renata, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 27 Januari 2010.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Apa itu Lie Detector?
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, banyak ditemukan berbagai macam invensi dan inovasi baru yang dapat membantu penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana. Salah satunya adalah keberadaan alat uji kebohongan atau yang dikenal dengan istilah lie detector atau poligraf.
Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu mengenai apa itu lie detector atau alat uji kebohongan atau poligraf. KBBI mendefinisikan poligraf adalah alat untuk mengukur bentuk reaksi yang bersamaan. Lie detector merupakan salah satu bentuk pemeriksaan bidang fisik forensik dari proses penyidikan, dengan melakukan identifikasi melalui bukti-bukti fisik, pemeriksaan laboratorium akan membantu terungkapnya suatu tindak pidana yang telah terjadi.[1]
Penulis sebelumnya menerangkan bahwa cara kerja lie detector adalah dengan melihat detak jantung, denyut nadi, serta perubahan fisik. Apabila orang yang sedang diperiksa mengatakan sesuatu yang benar, detak jantung dan denyut nadi akan berjalan secara normal. Namun, apabila yang bersangkutan berbohong, maka akan ada perubahan fisik dari detak jantung atau denyut nadi.
Dasar Hukum Penggunaan Lie Detector di Indonesia
Di Indonesia, deteksi kebohongan (poligraf) termasuk ke dalam salah satu jenis barang bukti yang dapat dilakukan pemeriksaan fisika forensik oleh Laboratorium Forensik (“Labfor”) Polri sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 ayat (2) huruf a Perkapolri 10/2009.
Pemeriksaan barang bukti deteksi kebohongan (polygraph) dilakukan terhadap tersangka atau saksi serta dilaksanakan di Labfor Polri dan/atau di satuan kewilayahan.[2] Sehingga, dapat diinterpretasikan bahwa penyidik hanya dapat menggunakan alat deteksi kebohongan tersebut untuk memeriksa tersangka atau saksi pada tempat terbatas seperti Labfor Polri dan/atau satuan kewilayahan penyidik.
Selain itu, terdapat beberapa persyaratan formal dan teknis yang perlu dipenuhi dalam melakukan pemeriksaan barang bukti deteksi kebohongan (polygraph). Persyaratan formal antara lain:[3]
permintaan tertulis dari kepala kesatuan kewilayahan atau kepala/pimpinan instansi;
laporan polisi;
Berita Acara Pemeriksaan (BAP) saksi/tersangka atau laporan kemajuan; dan
surat persetujuan untuk diperiksa dari saksi/tersangka, bila saksi/tersangka didampingi oleh penasihat hukum maka surat persetujuan diketahui oleh penasihat hukumnya.
Tersedianya ruang pemeriksaan yang bebas dari kebisingan;
Tersedianya tenaga listrik untuk penerangan dan 3 buah stop kontak untuk peralatan;
Tersedianya meja dan kursi yang stabil/tidak goyang;
Kondisi terperiksa harus:
sudah dewasa menurut ketentuan undang-undang;
sehat jasmani dan rohani;
apabila terperiksa perempuan, tidak dalam kondisi hamil atau menstruasi; dan
kondisi terperiksa tidak dalam keadaan tertekan;
untuk memastikan kondisi kesehatan terperiksa, dapat dilengkapi dengan:
riwayat kesehatan saksi/tersangka; dan
laporan hasil pemeriksaan psikologi;
untuk pendalaman kasus:
penyidik harus selalu berkoordinasi dengan pemeriksa; dan
apabila diperlukan dalam rangka pemeriksaan, pemeriksa polygraph dapat mendatangi TKP.
Ketentuan di atas memperluas tempat pelaksanaan pemeriksaan poligraf yakni dapat mendatangi TKP, sehingga tidak terbatas dilaksanakan pada Labfor Polri dan/atau satuan kewilayahan saja.
Apakah Lie Detector Bisa Menjadi Alat Bukti?
Alat bukti yang sah adalah alat bukti yang ada hubungannya dengan suatu tindak pidana, di mana alat bukti tersebut dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan bagi hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan oleh terdakwa.
Dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, alat bukti yang sah terdiri dari:
Kemudian menjawab pertanyaan Anda, apakah lie detector bisa menjadi alat bukti? Kami berpendapat bahwa alat uji kebohongan tidak dapat dikategorikan sebagai alat bukti dalam persidangan pidana. Penggunaan alat uji kebohongan hanya berkedudukan sebagai instrumen bagi penyidik dalam membuat terang suatu tindak pidana serta dapat membantu efisiensi kinerja penyidik. Dengan demikian, hasil dari lie detector tidak diakui sebagai alat bukti, melainkan hanya sebagai sarana interogasi.
Namun perlu menjadi catatan, menurut hemat kami, hasil dari penggunaan alat uji kebohongan nantinya dapat diperkuat dengan keterangan ahli psikologi forensik yang memiliki kapabilitas dalam menjelaskan hasil dari alat uji kebohongan tersebut. Keterangan atas analisa hasil alat uji kebohongan dari ahli psikologi forensik inilah yang dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah yaitu berupa keterangan ahli.
Kekuatan pembuktian keterangan ahli mempunyai nilai pembuktian bebas, di mana tidak melekat nilai pembuktian yang sempurna dan menentukan.[5] Dalam hal ini, hakim bebas menilai dan tidak ada keharusan bagi hakim untuk mesti menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.[6]
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwi bahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami tentang apakah lie detector bisa menjadi alat bukti, semoga bermanfaat.
KBBI, yang diakses pada 19 Desember 2022, pukul 14.00 WIB;
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2012;
Nitralia Prameswari, Samirah, dan Sri Wahyuningsih Yuliati, Kedudukan Alat Bukti Petunjuk di Ranah Hukum Acara Pidana, Jurnal Verstek Bagian Hukum Acara Universitas Sebelas Maret, Vol. 3 No. 2, 2015;
Vinca Fransisca Yusefin dan Sri Mulyati Chalil, Penggunaan Lie Detector (Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Wacana Paramarta, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 17 No. 2, 2018.
[1] Vinca Fransisca Yusefin dan Sri Mulyati Chalil, Penggunaan Lie Detector (Alat Pendeteksi Kebohongan) dalam Proses Penyidikan Terhadap Tindak Pidana Dihubungkan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, Wacana Paramarta, Jurnal Ilmu Hukum, Vol. 17 No. 2, 2018, hal. 73
[5] Nitralia Prameswari, Samirah, dan Sri Wahyuningsih Yuliati, Kedudukan Alat Bukti Petunjuk di Ranah Hukum Acara Pidana, Jurnal Verstek Bagian Hukum Acara Universitas Sebelas Maret, Vol. 3 No. 2, 2015, hal. 8
[6] M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Jakarta: Sinar Grafika, 2012, hal. 304