KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan?

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Bisakah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan?

Bisakah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan?
Albert Aries, S.H., M.H.Albert Aries & Partners
Albert Aries & Partners
Bacaan 10 Menit
Bisakah Kasus Penipuan Diproses Hukum Pidana dan Perdata Secara Bersamaan?

PERTANYAAN

Saat ini kasus penipuan yang saya alami sudah saya laporkan di Kepolisian, saya sudah mendapatkan laporan polisi, dan sudah di BAP. Apakah saya juga bisa secara bersamaan mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri terkait dengan kasus penipuan yang sama?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Mengenal Jenis-Jenis Putusan MK

    Mengenal Jenis-Jenis Putusan MK

    Ā 

    Ā 

    Sejauh ini tidak ada larangan atau ketentuan hukum yang mengharuskan suatu kasus penipuan mendapat putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terlebih dulu, baru kemudian dapat digugat secara perdata.

    Ā 

    Penipuan tidak boleh sekedar dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Pembuktian mengenai adanya rangkaian kebohongan atau tipu muslihat tentunya akan lebih maksimal dalam pengadilan pidana, ketimbang pengadilan perdata. Hal ini sejalan dengan salah satu asas pembuktian yang berbunyi ā€œSiapa yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikannyaā€ (affirmanti incumbit probate).

    Ā 

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

    Ā 

    Ā 

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ā 

    Ulasan:

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Ā 

    Tindak Pidana Penipuan

    Sebelumnya, kami perlu menyampaikan soal ketentuan tindak pidana penipuan atau perbuatan curang (bedrog) yang dapat ditemukan dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum PidanaĀ (ā€œKUHPā€) sebagai berikut:

    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama empat tahun.

    Ā 

    Sedangkan penipuan dalam konteks Hukum Perdata tidak didefinisikan dengan jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (ā€œKUH Perdataā€), namun dapat kita temukan pengaturannya dalam Pasal 1328 KUH Perdata, yang sesuai terjemahan Prof. R Subekti, S.H., dan R. Tjitrosudibio, halaman 340, berbunyi sebagai berikut:

    Penipuan merupakan suatu alasan untuk pembatalan perjanjian, apabila tipu muslihat, yang dipakai oleh salah satu pihak, adalah sedemikian rupa hingga terang dan nyata bahwa pihak yang lain tidak telah membuat perikatan itu jika tidak dilakukan tipu muslihat tersebut. Penipuan tidak dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan.


    Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 24) menjelaskan bahwa penipuan terjadi apabila salah satu pihak dengan sengaja memberikan keterangan-keterangan yang palsu atau tidak benar disertai dengan tipu muslihat untuk membujuk pihak lawannya memberikan perizinannya. Pihak yang menipu tersebut bertindak secara aktif untuk menjerumuskan pihak lawannya. Misalnya mobil yang ditawarkan diganti dulu mereknya, dipalsukanĀ  nomor mesinnya, dan sebagainya.

    Ā 

    Lebih lanjut, Subekti juga menambahkan bahwa menurut yurisprudensi, tidak cukup orang itu hanya melakukan kebohongan mengenai suatu hal saja, melainkan harus ada rangkaian kebohongan atau suatu perbuatan yang dinamakan tipu muslihat.

    Ā 

    Analisis

    Menjawab pertanyaan pokok Anda soal apakah Anda dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan bersamaan dengan laporan tindak pidana penipuan yang masih diproses di kepolisian, sejauh ini kami belum menemukan adanya larangan atau ketentuan hukum yang mengharuskan suatu penipuan mendapat putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) terlebih dulu, baru kemudian dapat digugat secara perdata.

    Ā 

    Namun demikian, mengacu pada ketentuan Pasal 1328 KUH Perdata sebagaimana yang telah diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa penipuan tidak boleh sekedar dipersangkakan, melainkan harus dibuktikan. Pembuktian mengenai adanya rangkaian kebohongan atau tipu muslihat tentunya akan lebih maksimal apabila diproses di pengadilan pidana, ketimbang pengadilan perdata. Hal ini sejalan dengan salah satu asas pembuktian yang berbunyi ā€œSiapa yang mendalilkan sesuatu wajib membuktikannyaā€ (affirmanti incumbit probate), sebagaimana diaturĀ  dalam Pasal 1865 KUH Perdata.

    Ā 

    Dengan demikian, apabila sudah ada putusan pengadilan pidana yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) atas penipuan yang Anda alami tersebut, tentunya akan lebih memudahkan Anda dalam pembuktian gugatan perdata terhadap si pelaku atau setidak-tidaknya dapat meminimalisir gugatan perdata Anda dinyatakan terlalu dini untuk diajukan (premature), sehingga dapat mengakibatkan gugatan Anda dinyatakan tidak dapat diterima (niet on vankelijk verklaard).

    Ā 

    Dalam pengalaman praktik kami sebagai advokat, kami menemukan adanya pengecualian dari jawaban kami tersebut di atas, salah satunya adalah gugatan perdata dengan dasar wanprestasi (perbuatan ingkar janji) atas cek yang tidak ada dananya (cek kosong), yang sesuai Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong, yang langsung mengkualifikasikan penerbitan cek kosong sebagai tindak pidana penipuan sebagaimana dimaksud Pasal 378 KUH Pidana.

    Ā 

    Untuk itu, sebagai referensi tambahan untuk Anda, kami akan mengutip Putusan Mahkamah Agung RI No. 63 K/Pdt/1987 tanggal 15 Oktober 1988, dengan kaidah hukum sebagai berikut:

    Ā 

    Dalam hal Tergugat membayar harga barang yang dibelinya denganĀ giro bilyet yang ternyata tidak ada dananya/kosong, dapat diartikan bahwaĀ Tergugat telah melakukan wanprestasi dan mempunyai hutang atau pinjaman kepada Penggugat sebesar harga barang tersebut dan tentang ganti rugi karena si pembeli terlambat membayar, maka ganti rugi tersebut adalah ganti rugi atas dasar bunga yang tidak diperjanjikan, yaitu 6 % setahun.

    Ā 

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Ā 

    Dasar hukum:

    1.Ā Ā Ā  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;

    2.Ā Ā Ā  Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

    3.Ā  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1971 tentang Pencabutan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1964 tentang Larangan Penarikan Cek Kosong.

    Ā 

    Tags

    wanprestasi
    pengadilan negeri

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!