Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian dan Dasar Hukum Remisi
Kami asumsikan bahwa narapidana tindak pidana korupsi yang Anda maksud tersebut telah mendapatkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Namun, sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai apa itu remisi dan dasar hukumnya.
klinik Terkait :
Menurut Pasal 1 angka 3 Permenkumham 7/2022 remisi adalah pengurangan menjalani masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak yang memenuhi syarat yang ditentukan dalam ketentuan undang-undang.
Remisi merupakan hak narapidana yang telah memenuhi persyaratan tertentu tanpa terkecuali.[1] Adapun persyaratan untuk mendapat remisi secara umum meliputi:[2]
- berkelakuan baik;
- aktif mengikuti program pembinaan; dan
- telah menunjukkan penurunan tingkat risiko.
Remisi terdiri atas remisi umum dan remisi khusus. Remisi umum adalah remisi yang diberikan setiap tanggal 17 Agustus, sedangkan remisi khusus adalah remisi yang diberikan setiap hari raya atau hari besar keagamaan sesuai dengan agama yang dianut oleh masing-masing narapidana.[3] Selain kedua jenis remisi tersebut, ada juga remisi lain berupa remisi kemanusiaan, remisi tambahan, dan remisi susulan sebagaimana diatur di dalam Permenkumham 3/2018 sebagaimana telah diubah dengan Permenkumham 7/2022.
Syarat Remisi Koruptor
Sebelum membahas mengenai syarat remisi koruptor, terkait dengan pertanyaan Anda, akan kami jelaskan terlebih dahulu mengenai ketentuan sanksi pidana denda dan uang pengganti. Disarikan dari artikel Kemanakah Uang Pidana Denda Dibayarkan? pidana denda adalah salah satu jenis pidana pokok berdasarkan Pasal 10 KUHP yang diancamkan dan terutama ditujukan terhadap harta kekayaan atau harta benda dari seseorang pelaku karena melanggar ketentuan undang-undang hukum pidana yang berlaku.
Rekomendasi Berita :
Sedangkan pidana uang pengganti timbul karena adanya kerugian keuangan negara yang wajib diganti oleh terpidana kasus korupsi. Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU 31/1999 disebutkan bahwa pembayaran uang pengganti sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
Lantas, apakah napi koruptor dapat remisi? Bagi narapidana tindak pidana korupsi, terdapat syarat-syarat khusus yang harus dipenuhi sebelum dapat diberikan remisi. Secara umum, untuk mendapatkan remisi setiap narapidana harus memenuhi syarat:[4]
- berkelakuan baik yang dibuktikan dengan tidak sedang menjalani hukuman disiplin dalam kurun waktu 6 bulan terakhir sebelum tanggal pemberian remisi dan telah mengikuti program pembinaan yang diselenggarakan oleh lapas dengan predikat baik; dan
- telah menjalani masa pidana lebih dari 6 bulan.
Selengkapnya terkait dengan syarat remisi dapat dibaca dalam artikel Syarat Remisi dan Besarannya bagi Narapidana.
Selain itu, syarat remisi koruptor juga harus memenuhi ketentuan dalam Pasal 34A ayat (1) PP 99/2012 sebagai berikut.
- bersedia bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya;
- telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan untuk narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan ketentuan di atas, syarat-syarat yang harus dipenuhi bagi koruptor atau narapidana tindak pidana korupsi adalah bekerjasama dengan penegak hukum dan membayar lunas denda dan uang pengganti.
Hal ini juga diatur di dalam Pasal 10 Permenkumham 7/2020 yang menyatakan bahwa narapidana yang melakukan tindak pidana korupsi untuk mendapatkan remisi, harus telah membayar lunas denda dan uang pengganti sesuai dengan putusan pengadilan.
Bisakah Koruptor Dapat Remisi Jika Tak Bayar Denda dan Uang Pengganti?
Berdasarkan penjelasan di atas, maka bagi narapidana tindak pidana korupsi yang dalam vonisnya tidak dikenakan pidana tambahan berupa pembayaran uang pengganti namun tidak membayarkan pidana denda sebagai pidana pokoknya, maka remisi tidak dapat diberikan bagi narapidana tersebut.
Kemudian terkait dengan syarat bekerjasama dengan penegak hukum untuk membongkar tindak pidana yang dilakukannya atau justice collaborator, Mahkamah Agung telah memberikan putusan uji materiil terhadap syarat tersebut berdasarkan Putusan MA No. 28 P/HUM/2021 (hal. 139 – 140) yang amar putusannya sebagai berikut.
Pasal 34 A ayat (1) huruf (a), Pasal 34A ayat (3), Pasal 43 A ayat (1) huruf (a) dan Pasal 43A ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012, Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999, Tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 Tentang Pemasyarakatan, sepanjang tidak dimaknai Pemberian Remisi bagi Narapidana tidak harus memenuhi persyaratan bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya, bagi Narapidana yang dipidana karena melakukan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan putusan tersebut, pemberian remisi bagi narapidana tindak pidana korupsi tidak harus memenuhi persyaratan bekerjasama dengan penegak hukum untuk membantu membongkar perkara tindak pidana yang dilakukannya (justice collaborator).
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa syarat pemberian remisi bagi koruptor atau narapidana tindak pidana korupsi adalah membayarkan pidana tambahan berupa uang pengganti dan membayarkan denda pidana pokok sesuai dengan putusan pengadilan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan;
- Peraturan Pemerintah Nomor 99 Tahun 2012 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1999 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan Pemasyarakatan;
- Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 18 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat yang diubah kedua kalinya dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 7 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Perubahan Kedua atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat dan diubah ketiga kalinya dengan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 16 Tahun 2023 tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor 3 Tahun 2018 tentang Syarat dan Tata Cara Pemberian Remisi, Asimilasi, Cuti Mengunjungi Keluarga, Pembebasan Bersyarat, Cuti Menjelang Bebas, dan Cuti Bersyarat.
Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Nomor 28 P/HUM/2021.
[1] Pasal 10 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”)
[2] Pasal 10 ayat (2) UU Pemasyarakatan