KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?

Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?
Ardi Ferdian, S.H., M.Kn.PERSADA UB
PERSADA UB
Bacaan 10 Menit
Bisakah Kuasa Mencabut Laporan di Polisi Tanpa Izin Korban?

PERTANYAAN

Saya sebagai kuasa korban dari WNA yang menjadi korban penipuan di Indonesia. Saya membantu korban untuk melaporkan kasusnya ke Kepolisian, hanya saja setelah sekian lama tidak ada keinginan dari korban untuk memberikan pernyataan secara langsung di kantor polisi dan sudah 3 bulan tidak ada kabar dari korban, apakah dengan seperti ini saya boleh mencabut laporan pengaduan tersebut tanpa persetujuan korban?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perlu dipahami dulu bahwa tindak pidana penipuan apakah termasuk delik aduan atau delik biasa. Sebab, jika delik biasa atau laporan pada prinsipnya tidak dapat dicabut kembali. Sedangkan delik aduan dapat dicabut kembali dengan batas waktu tertentu.

    Jika dihubungkan dengan kasus Anda di mana WNA adalah korban yang memberikan kuasa kepada WNI untuk melaporkan tindak pidana penipuan, dapatkah WNI mencabut laporan tersebut?

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    KLINIK TERKAIT

    Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

    Hukum Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

     

    Dapatkah WNA Memberikan Kuasa ke WNI?

    Pertama, kami akan membahas mengenai surat kuasa. Dasar hukum surat kuasa diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.

    Pasal tersebut menyebutkan bahwa pemberian kuasa adalah bentuk persetujuan dari seseorang dalam memberikan kekuasaan pada orang lain guna menjalankan sesuatu hal atas nama seseorang yang memberi kuasa. Pemberian surat kuasa merupakan suatu bentuk perikatan hukum yang lahir karena kesepakatan kedua belah pihak.

    Penerima kuasa dapat bertindak atas nama pemberi kuasa, artinya penerima kuasa dapat mewakili tugas atau kewajiban pemberi kuasa sesuai dengan isi dari surat kuasa tersebut, dan tidak menjadi persoalan apabila pemberi kuasa tersebut Warga Negara Asing (WNA) seperti dalam kasus Anda.

    Karena berdasarkan asas teritorialitas yang diatur dalam Pasal 2 KUHP, hukum Indonesia berlaku bagi setiap orang (baik WNI maupun WNA) selama tindak pidana itu terjadi di wilayah teritorial Indonesia.

    Sehingga, tidak menjadi masalah jika WNA memberikan kuasa ke WNI terkait pelaporan tindak pidana yang terjadi di Indonesia, namun perlu diperhatikan juga apakah tindak pidana tersebut termasuk delik aduan atau delik biasa.

    Baca juga: Cara Membuat Surat Kuasa yang Baik dan Benar Beserta Contohnya

     

    Penipuan Masuk Delik Aduan atau Biasa?

    Hal selanjutnya yang perlu dipahami adalah perbedaan antara laporan dan pengaduan. Pasal 1 angka 24 KUHAP mendefinisikan laporan sebagai berikut:

    Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh seorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa pidana.

    Sedangkan definisi pengaduan menurut Pasal 1 angka 25 KUHAP adalah:

    Pengaduan adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum kepada seseorang yang telah melakukan tindakan pidana aduan yang merugikan.

    Pada laporan, semua orang bisa membuat laporan untuk seluruh jenis tindak pidana. Sedangkan pada pengaduan, hanya orang-orang yang berkaitan langsung dengan delik yang dapat membuat pengaduan.

    Tindak pidana aduan atau delik aduan dalam KUHP terbatas, seperti perzinaan (Pasal 284 KUHP), pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP), pencurian dalam keluarga (Pasal 367 KUHP) dan penghinaan terhadap orang yang sudah meninggal dunia (Pasal 320 KUHP).

    Perbedaan lainnya terletak pada bisa tidaknya pencabutan, dalam laporan tidak bisa dicabut kembali meski adanya pengembalian kerugian kepada korban atau telah ada perdamaian dengan korban. Namun dalam perkembangan praktik, dimungkinkan dihentikan penyidikannya karena dicabutnya laporan, karena terdapat prinsip restorastive justice khusus untuk tindak pidana ringan.[1]

    Sedangan pengaduan dapat dicabut sebagaimana tertuang dalam Pasal 75 KUHP yang menyatakan:

    Orang yang mengajukan pengaduan, berhak menarik kembali dalam waktu tiga bulan setelah pengaduan diajukan.

    Dengan adanya batas waktu 3 bulan tersebut, maka bila pengaduan ditarik atau dicabut setelah 3 bulan, pengaduan tersebut tidak dapat dicabut kembali.

    Namun demikian, dalam perkembangannya, Putusan MA No. 1600 K/PID/2009 Tahun 2009 melahirkan kaidah hukum bahwa dalam menyelesaikan suatu perkara pidana apabila hakim menemukan suatu penyelesaian yang efektif berdasarkan azas keseimbangan, rasa keadilan, pemaafan, dan manfaatnya jauh lebih besar apabila perkara pidana a quo dihentikan karena adanya pencabutan perkara oleh pelapor ketimbang pemeriksaan perkara diteruskan hanya dengan memenuhi formalitas hukum, maka hakim dapat saja menyimpangi aspek hukum formal (hukum acara pidana).

    Masih dalam putusan yang sama, disebutkan bahwa walaupun pencabutan pengaduan telah melewati 3 bulan, yang menurut Pasal 75 KUHP telah lewat waktu, namun dengan pencabutan itu keseimbangan yang terganggu dengan adanya tindak pidana tersebut telah pulih. Sehingga, MA dalam amarnya mengabulkan permohonan pencabutan pengaduan (hal. 13).

    Guna mempermudah pemahaman, berikut ini kami rangkum perbedaan laporan dan pengaduan dalam bentuk tabel:

     

    Aspek

    Laporan

    Pengaduan

    Definisi

    Pemberitahuan tentang telah, sedang, atau diduga akan terjadi peristiwa pidana.

    Pemberitahuan yang disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan.

    Jenis Tindak Pidana

    Semua jenis tindak pidana.

    Hanya untuk tindak pidana dengan delik aduan. Contoh: perzinaan (Pasal 284 KUHP) dan pencemaran nama baik (Pasal 310 KUHP).

    Batas Waktu

    Setiap saat dapat melaporkan.

    Pengaduan hanya boleh diajukan dalam waktu 6 bulan sejak orang yang berhak mengadu mengetahui adanya kejahatan, jika bertempat tinggal di Indonesia, atau dalam waktu 9 bulan jika bertempat tinggal di luar negeri.

    • Pasal 74 ayat (1) KUHP

    Yang Berhak Melapor/Mengadu

    Setiap orang yang melihat, mendengar dan mengalami.

    Hanya korban tindak pidana dengan delik aduan.

    Pencabutan

    Laporan tidak dapat dicabut kembali.

    Dapat dicabut kembali dalam waktu 3 bulan setelah pengaduan diajukan.

    • Pasal 75 KUHP

    Baca juga: Pengaduan dan Pelaporan, Apa Bedanya?

    Menjawab pertanyaan Anda, kasus yang dialami oleh WNA adalah tindak pidana penipuan, yang mana kami asumsikan dijerat menggunakan Pasal 378 KUHP dan termasuk dalam delik biasa, sehingga ketika laporan sudah diberi nomor registrasi administrasi penyidikan sebagai pencatatan proses penyidikan, maka kasus tersebut akan terus berjalan dan tidak dapat dicabut kembali.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
    4. Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif.

     

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Agung Nomor 1600 K/PID/2009 Tahun 2009.


    [1] Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif

    Tags

    hukum acara pidana
    hukum pidana

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Mempekerjakan TKA untuk Sementara

    21 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!