Saya sering menemui dalam suatu hubungan di mana pasangan, istri, atau suami abusive. Ada yang tak segan melakukan kekerasan fisik ataupun melakukan kekerasan verbal atau psikis seperti mencaci maki, memperlakukan secara tidak layak kepada pasangannya, pasangan dimanfaatkan secara ekonomi, manipulatif, dan lain-lain. Jika pasangan abusive apa yang dapat dilakukan oleh korban? Bisakah termasuk dalam KDRT?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Abusive relationship dapat diartikan sebagai hubungan yang di dalamnya disertai dengan tindakan kekerasan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pasangan. Tindakan abusive dapat pula mengarah pada perlakuan pasangan yang sifatnya kasar, keji, menghina, atau melecehkan.
Jika merujuk pada jenis-jenis kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dalam UU PKDRT, maka pasangan abusive dapat dilaporkan berdasarkan KDRT. Lantas, bagaimana bunyi ketentuannya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Kekerasan Dalam Rumah Tangga yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 3 Juni 2010.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Pengertian dan Jenis-jenis KDRT
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu kami sampaikan terlebih dahulu mengenai apa itu kekerasan dalam rumah tangga (“KDRT”) dan apa saja bentuk kekerasan KDRT.
Menurut UU PKDRT, KDRT adalah setiap perbuatan terhadap seseorang, terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.[1]
Perlu kami tekankan bahwa, UU PKDRT berlaku bagi setiap orang, tanpa membedakan jenis kelamin. Jadi, UU KDRT ini tidak hanya berlaku bagi seorang istri saja, namun juga berlaku untuk suami. Hal ini sesuai dengan Pasal 3 huruf b UU KDRT, yaitu bahwa penghapusan kekerasan rumah tangga menganut asas keadilan dan kesetaraan gender.
Adapun, jenis-jenis KDRT dalam dikelompokkan ke dalam 5 bentuk, yaitu:[2]
Kekerasan fisik, dalam bentuk pemukulan, penganiayaan, pengurungan, pemberian beban kerja yang berlebihan, dan pemberian ancaman kekerasan;
Kekerasan verbal, dalam bentuk caci maki, meludahi, dan bentuk penghinaan lain secara verbal.
Kekerasan psikologis atau emosional, yang meliputi pembatasan hak-hak individu dan berbagai macam bentuk tindakan teror;
Kekerasan ekonomi, melalui tindakan pembatasan penggunaan keuangan yang berlebihan dan pemaksaan kehendak untuk kepentingan-kepentingan ekonomi, seperti memaksa untuk bekerja.
Kekerasan seksual, dalam bentuk pelecehan seksual yang paling ringan hingga perkosaan.
Dalam UU PKDRT bentuk-bentuk KDRT meliputi kekerasan fisik, kekerasan psikis, kekerasan seksual, dan penelantaran rumah tangga.[3]
Kekerasan Fisik
Yang dimaksud dengan kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.[4]
Pelaku kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 5 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta. Jika kekerasan mengakibatkan korban jatuh sakit atau luka berat, dipidana penjara paling lama 10 tahun atau denda paling banyak Rp30 juta.[5]
Adapun, jika korban meninggal dunia, pelaku dipidana penjara paling lama 15 tahun atau denda paling banyak Rp45 juta. Dalam hal kekerasan fisik dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit/halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp5 juta.[6]
Kekerasan Psikis
Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.[7]
Pelaku kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dipidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp9 juta. Dalam hal kekerasan psikis dilakukan suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan/mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari dipidana penjara paling lama 4 bulan atau denda paling banyak Rp3 juta.[8]
Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut ataupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu.[9]
Kekerasan seksual merupakan tindak pidana yang pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama 12 tahun atau denda paling banyak Rp36 juta.[10] Adapun orang yang memaksa orang yang menetap dalam rumah tangganya untuk melakukan hubungan seksual dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 15 tahun atau denda paling sedikit Rp12 juta atau denda paling banyak Rp300 juta.[11]
Apabila kekerasan seksual tersebut mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang-kurangnya 4 minggu terus menerus atau 1 tahun tidak berturut-turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat reproduksi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun dan pidana penjara paling lama 20 tahun atau denda paling sedikit Rp25 juta dan paling banyak Rp500 juta.[12]
Penelantaran Rumah Tangga
Dalam Pasal 9 ayat (1) UU PKDRT, penelantaran rumah tangga berupa menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan/perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan terhadap orang tersebut.
Lebih lanjut dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU PKDRT bahwa penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Ancaman pidana terhadap tindakan penelantaran rumah tangga adalah pidana penjara paling lama 3 tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.[13]
Bisakah Pasangan Abusive Dilaporkan Berdasarkan KDRT?
Kemudian, menjawab pertanyaan Anda mengenai bisakah pasangan abusive dilaporkan berdasarkan KDRT, terlebih dahulu kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dengan pasangan abusive merujuk pada perlakuan pasangan yang sifatnya kasar, keji, menghina, atau melecehkan. Jika merujuk Oxford Dictionary, abusivediartikan sebagai “that employs or contains bad language; insulting, scurrilous.
Abusive relationship juga dapat diartikan sebagai hubungan yang di dalamnya disertai dengan tindakan kekerasan yang sengaja dilakukan dan ditujukan kepada pasangan. Selain itu, abusive juga merupakan suatu pola kekerasan yang ada dalam suatu hubungan yang membentuk kuasa dan kendali terhadap pasangannya. Perlakuan yang dilakukan oleh pelaku biasanya berupa ancaman, intimidasi secara emosional ke pasangannya, yang akan meningkat atau semakin parah dari waktu ke waktu.[14]
Dengan demikian, berdasarkan penjelasan di atas, dapat kami sampaikan bahwa segala bentuk abuse atau kekerasan dalam lingkup rumah tangga, baik kekerasan psikis, fisik, penelantaran, maupun kekerasan seksual merupakan bentuk KDRT.
Dalam hal ini apakah kekerasan verbal termasuk KDRT? Jika kekerasan verbal tersebut memenuhi kriteria kekerasan psikis yaitu perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang, maka pasangan abusive yang melakukan kekerasan verbal tergolong sebagai KDRT.
Korban yang mempunyai pasangan abusive dan melakukan jenis-jenis KDRT di atas dapat melaporkan kepada kepolisian karena merupakan KDRT adalah suatu tindak pidana. Selengkapnya dapat Anda baca dalam Mau Melaporkan Tindak Pidana ke Polisi? Begini Prosedurnya.
Korban KDRT berhak untuk melaporkan secara langsung kepada kepolisian, atau memberikan kuasa pada keluarga atau orang lain untuk melaporkan kekerasan dalam rumah tangga kepada pihak kepolisian. Hal ini ditegaskan di dalam Pasal 26 UU PKDRT.
Selain itu, korban KDRT menurut Pasal 10 UU PKDRT berhak-hak atas:
perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan perintah perlindungan dari pengadilan;
pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis
penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban
pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum pada setiap tingkat proses pemeriksaan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
[2] Mohammad ‘Azzam Manan, MA. Kekerasan dalam Rumah Tangga dalam Perspektif Sosiologis. Jurnal Legislasi Indonesia, Vo. 5 No. 3, September 2008, hal. 15 – 16