KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Rekaman Gosip Jadi Bukti Pencemaran Nama Baik?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bisakah Rekaman Gosip Jadi Bukti Pencemaran Nama Baik?

Bisakah Rekaman Gosip Jadi Bukti Pencemaran Nama Baik?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Rekaman Gosip Jadi Bukti Pencemaran Nama Baik?

PERTANYAAN

Saya mau bertanya, misal A dan B bicara gosip soal si C. Kemudian, ada D yang merekam percakapan A dan B, lalu menyampaikan rekaman percakapan tersebut kepada C. Bisakah C melaporkan A dan B ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dengan bukti rekaman tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Gosip dapat diartikan sebagai cerita negatif tentang orang lain. Berdasarkan kronologis Anda, menurut Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, perbuatan A dan B tidak dapat dihukum. Hal ini sesuai dengan contoh yang diberikan oleh R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal bahwa jika tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum, C (orang yang dihina) harus ada di situ melihat dan mendengarnya sendiri.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Rekaman Suara sebagai Alat Bukti
    Sebelum menjawab pokok pertanyaan Anda, kami akan menjelaskan lebih dulu mengenai keabsahan rekaman suara sebagai alat bukti. Patut dipahami bahwa dalam artikel Perbedaan Menyadap dan Merekam diterangkan bahwa tindakan merekam bukan berarti tindakan menyadap.
     
    Teguh Arifiyadi, seorang Konsultan dan Pemerhati Cyber Law, dalam artikel tersebut berpendapat bahwa merekam secara diam-diam menggunakan perangkat teknologi tertentu, seperti kamera tersembunyi, alat perekam video, maupun perekam suara, bukan termasuk kategori intersepsi sebagaimana dimaksud Pasal 31 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) dengan dasar bahwa tidak ada transmisi informasi elektronik yang diintersep.
     
    Dalam artikel Bolehkah Merekam Suatu Peristiwa Secara Sembunyi-Sembunyi?, dijelaskan bahwa realita atau kejadian nyata berupa suara atau kejadian yang direkam dalam satu tape recorder atau kamera bukanlah data elektronik, informasi elektronik, dan bukan pula dokumen elektronik, sehingga tidak melanggar Pasal 31 ayat (2) UU 19/2016.
     
    Selanjutnya, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) menjelaskan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetakannya merupakan alat bukti hukum yang sah.
     
    Patut dipahami bahwa frasa “informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik” pada ketentuan tersebut telah diuji dan diputus oleh Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016 bahwa frasa tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai (hal. 97 – 98):
     
    sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang sebagaimana ditentukan dalam Pasal 31 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
     
    Ketentuan tersebut merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan hukum acara yang berlaku di Indonesia.[1] Maka, perekaman suara terhadap kejadian nyata secara langsung bukan termasuk penyadapan dan dapat dijadikan alat bukti yang sah.
     
    Selain itu, alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah:
    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.
     
    Keterangan saksi, sebelumnya, hanya terbatas pada orang yang mendengar sendiri, melihat sendiri, dan mengalami sendiri, sehingga dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana.[2]
     
    Akan tetapi setelah dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 (hal. 92), pengertian saksi telah diperluas menjadi orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan ia alami sendiri.
     
    Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya 2 alat bukti yang sah diperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.[3]
     
    Patut diperhatikan bahwa dalam artikel Kriteria Video yang Dapat Dijadikan Alat Bukti dalam Terorisme, ditegaskan bahwa rekaman yang disimpan secara elektronik, seperti yang dicontohkan artikel tersebut, yaitu video, adalah alat bukti berupa petunjuk.
     
    Berdasarkan uraian di atas, setidak-tidaknya, terlepas dari tindak pidana yang dilakukan, pada dasarnya rekaman gosip yang Anda maksud dapat dijadikan alat bukti berupa petunjuk dan D dapat dijadikan saksi, sehingga terdapat dua alat bukti untuk membuktikan suatu tindak pidana.
     
    Perbuatan A dan B Termasuk Penghinaan Ringan?
    Gosip sebagaimana Anda sebutkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berarti obrolan tentang orang-orang lain, cerita negatif tentang seseorang, pergunjingan.
     
    Sementara itu, yang dimaksud dengan pencemaran nama baik, salah satunya, dikenal sebagai penghinaan yang diatur dalam Bab XVI tentang Penghinaan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ("KUHP") yang termuat dalam Pasal 310 KUHP sampai dengan Pasal 321 KUHP.
     
    Merujuk pada kronologis yang Anda ceritakan, Pasal 315 KUHP berbunyi sebagai berikut:
     
    Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis yang dilakukan terhadap seseorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau pidana denda paling banyak empat ribu lima ratus rupiah.
     
    R. Soesilo dalam buku Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menerangkan bahwa supaya dapat dihukum kata-kata penghinaan, baik lisan maupun tertulis, harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ) (hal. 228).
     
    Namun jika penghinaan tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum (hal. 228):
    1. dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada disitu melihat dan mendengar sendiri;
    2. bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina.
     
    Supaya lebih jelas, kami mengambil contoh dari buku R. Soesilo, yaitu A tidak berada di tempat umum dan mengatakan kepada C bahwa B adalah “anjing”. Jika C lalu memberitahukan hal itu kepada B dan B lalu mengadu, maka A tidak dapat dihukum, karena B tidak ada di situ dan tidak mendengarnya sendiri (hal. 228).
     
    Menurut hemat kami, dalam konteks pertanyaan Anda, terhadap A dan B yang sedang bergosip soal si C (bukan di tempat umum), lalu D merekam dan memberitahukan kepada C, hingga C mengadukan ini atas tuduhan pencemaran nama baik, maka A dan B tidak dapat dihukum.
     
    Hal ini dikarenakan gosip tersebut tidak dilakukan di tempat umum dan C yang digosipkan tidak berada di situ melihat dan mendengar sendiri.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010;
     
    Referensi:
    1. Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 7 Februari 2020, pukul 17.30 WIB;
    2. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991.
     

    [1] Pasal 5 ayat (2) UU ITE
    [2] Pasal 1 angka 26 KUHAP
    [3] Pasal 183 KUHAP

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Pindah Kewarganegaraan WNI Menjadi WNA

    25 Mar 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!