Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Karyawan Menolak Pekerjaan yang Berbahaya?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Bolehkah Karyawan Menolak Pekerjaan yang Berbahaya?

Bolehkah Karyawan Menolak Pekerjaan yang Berbahaya?
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Karyawan Menolak Pekerjaan yang Berbahaya?

PERTANYAAN

Saya merupakan karyawan outsourcing di sebuah perusahaan telekomunikasi. Salah satu tugas saya adalah mengganti perangkat di atas tower. Untuk tower besar saya berani melakukan pekerjaan itu, tapi untuk tower yang kecil atau monopole saya takut, karena bekerja di sana berbahaya bagi saya. Ukuran towernya kecil, sehingga tidak bisa tegak stabil. Saya juga diharuskan untuk gelayutan. Itu yang membuat saya takut. Adakah undang-undang yang melindungi pekerja yang menolak melakukan request dari atasan untuk melakukan pekerjaan tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Apabila telah disepakati di dalam perjanjian kerja, seorang pekerja pada dasarnya tidak dapat menolak suatu pekerjaan, sekalipun pekerjaan tersebut dinilai membahayakan. Namun demikian, berbagai peraturan perundang-undangan menjamin perlindungan keselamatan seorang pekerja.

    Di samping itu, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja memberikan hak kepada Anda untuk menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan, kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 12 September 2019.

    KLINIK TERKAIT

    Bolehkah Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai Buruh Kasar?

    Bolehkah Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing sebagai Buruh Kasar?

     

    Hubungan Kerja

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah disebut sebagai hubungan kerja.[1] Karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan pekerja/buruh, maka hubungan kerja terjadi.[2]

    Perjanjian kerja itu sendiri adalah perjanjian antara pekerja/buruh dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak, dan kewajiban para pihak.[3] Perjanjian kerja bisa dibuat secara tertulis atau lisan, atas dasar:[4]

    1. kesepakatan kedua belah pihak;
    2. kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum;
    3. adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan
    4. pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    Perjanjian kerja secara tertulis minimal memuat:[5]

    1. nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    2. nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja/buruh;
    3. jabatan atau jenis pekerjaan;
    4. tempat pekerjaan;
    5. besarnya upah dan cara pembayarannya;
    6. syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja/buruh;
    7. mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
    8. tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
    9. tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

    Adapun untuk ketentuan besarnya upah dan cara pembayarannya serta syarat-syarat kerja dalam perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[6]

     

    Status Pekerja Outsourcing

    Sebagaimana dijelaskan dalam Perbedaan Pemborongan Pekerjaan dengan Penyediaan Jasa Pekerja, dalam praktik, sistem perjanjian pemborongan pekerjaan dan sistem penyediaan jasa pekerja/buruh dikenal dengan sistem outsourcing (alih daya).

    Aturan mengenai perusahaan alih daya dan pekerjanya saat ini diatur dalam Pasal 81 angka 20 Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan.

    Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja secara tertulis, baik perjanjian kerja waktu tertentu (“PKWT”) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (“PKWTT”).[7]

    Selain itu, pelindungan pekerja/buruh, upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul dilaksanakan sekurang-kurangnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya.[8]

    Dengan demikian, menurut hemat kami, ketentuan mengenai perjanjian kerja di atas tetap berlaku bagi pekerja pada perusahaan outsourcing seperti tempat Anda bekerja.

     

    Keselamatan Kerja

    Sesuai dengan ketentuan Pasal 52 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan yang telah disinggung di atas, kesepakatan kedua belah pihak merupakan salah satu unsur terpenting di dalam perjanjian kerja. Karena itu, perjanjian kerja juga tunduk pada Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang berbunyi:

    Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.

    Dengan demikian, menurut hemat kami, apabila sejak semula pekerjaan memperbaiki tower berukuran kecil atau monopole yang Anda maksud telah masuk ke dalam perjanjian kerja, maka Anda tetap berkewajiban untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Hal ini sekalipun pekerjaan terkait cenderung berbahaya.

    Namun demikian, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (“UU 1/1970”) telah mengatur perlindungan atas pekerjaan berbahaya seperti yang Anda lakukan. Yang diatur oleh UU 1/1970 adalah keselamatan kerja dalam segala tempat kerja, baik di darat, di dalam tanah, di permukaan air, di dalam air maupun di udara, yang berada di dalam wilayah kekuasaan hukum Republik Indonesia.[9]

    Ketentuan-ketentuan tersebut di antaranya berlaku dalam tempat kerja di mana pekerjaan dilakukan dalam ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan. UU 1/1970 juga melindungi pekerjaan yang mengandung bahaya tertimbun tanah, kejatuhan, terkena pelantingan benda, terjatuh atau terperosok, hanyut atau terpelanting.[10]

    Dengan peraturan perundangan-undangan diatur kewajiban dan atau hak tenaga kerja untuk:[11]

    1. Memberikan keterangan yang benar bila diminta oleh pegawai pengawas dan atau ahli keselamatan kerja;
    2. Memakai alat-alat perlindungan diri yang diwajibkan;
    3. Memenuhi dan menaati semua syarat-syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
    4. Meminta pada pengurus agar dilaksanakan semua syarat keselamatan dan kesehatan kerja yang diwajibkan;
    5. Menyatakan keberatan kerja pada pekerjaan di mana syarat keselamatan dan kesehatan kerja serta alat alat perlindungan diri yang diwajibkan diragukan olehnya kecuali dalam hal-hal khusus ditentukan lain oleh pegawai pengawas dalam batas-batas yang masih dapat dipertanggungjawabkan.

    Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga menjamin hak setiap pekerja/buruh untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja.[12] Untuk melindungi keselamatan pekerja/buruh guna mewujudkan produktivitas kerja yang optimal, diselenggarakan upaya keselamatan dan kesehatan kerja.[13]

    Jadi menurut hemat kami, meskipun telah tertuang dalam perjanjian kerja dan Anda telah menyepakatinya, Anda tetap memiliki hak untuk menyatakan keberatan karena (misalnya) Anda meragukan keselamatan Anda saat harus bergelayutan di tower kecil. Di sisi lain, pengurus juga wajib melaksanakan semua syarat dan keselamatan kerja Anda. Anda berhak meminta opsi lain yang lebih aman selain bergelayutan.

    Lebih lanjut, ketentuan turunan dari UU Ketenagakerjaan mengenai keselamatan kerja diatur di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“PP 50/2012”). PP tersebut menyebut bagian dari sistem manajemen perusahaan secara keseluruhan dalam rangka pengendalian risiko yang berkaitan dengan kegiatan kerja guna terciptanya tempat kerja yang aman, efisien dan produktif sebagai Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (“SMK3”).[14]

    Perusahaan yang mempunyai tingkat potensi bahaya tinggi wajib merapkan SMK3 di perusahaannya.[15] Yang dimaksud dengan “tingkat potensi bahaya tinggi” adalah perusahaan yang memiliki potensi bahaya yang dapat mengakibatkan kecelakaan yang merugikan jiwa manusia, terganggunya proses produksi dan pencemaran lingkungan kerja.[16]

    Setiap perusahaan wajib menerapkan SMK3 yang terintegrasi dengan sistem manajemen perusahaan.[17] Perusahaan yang tidak menerapkan ketentuan tersebut dapat dikenakan sanksi administrasi oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah sesuai kewenangannya. Adapun, ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif tersebut akan diatur dalam

    Peraturan Pemerintah sebagai aturan pelaksana UU Cipta Kerja.[18]

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja;
    3. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    4. Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2012 Penerapan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja.

    [1] Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 50 UU Ketenagakerjaan

    [3] Pasal 1 angka 14 UU Ketenagakerjaan

    [4] Pasal 51 ayat (1) dan Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [5] Pasal 54 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [6] Pasal 54 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    [7] Pasal 81 angka 20  UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [8] Pasal 81 angka 20  UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    [9] Pasal 2 ayat (1) UU 1/1970

    [10] Pasal 2 ayat (2) huruf h dan j UU 1/1970

    [11] Pasal 12 UU 1/1970

    [12] Pasal 86 ayat (1) huruf a UU Ketenagakerjaan

    [13] Pasal 86 ayat (2) UU Ketenagakerjaan

    [14] Pasal 1 angka 1 PP 50/2012

    [15] Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) huruf b PP 50/2012

    [16] Penjelasan Pasal 5 ayat (2) huruf b PP 50/2012

    [17] Pasal 87 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    [18] Pasal 81 angka 67 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 190 UU Ketenagakerjaan vide Pasal 87 UU Ketenagakerjaan

    Tags

    alih daya
    k3

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!