Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Mem-PHK Pekerja yang Menolak Dimutasi?

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Bolehkah Mem-PHK Pekerja yang Menolak Dimutasi?

Bolehkah Mem-PHK Pekerja yang Menolak Dimutasi?
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Mem-PHK Pekerja yang Menolak Dimutasi?

PERTANYAAN

Perusahaan kami bermaksud melakukan pemindahan (rolling) karyawan dengan status admin, dari Departemen Legal ke Departemen HR, masih dalam satu wilayah kerja (dengan gaji dan benefit yang sama). Alasan pemindahan tersebut adalah karena tim HR memerlukan admin sedangkan Departemen Legal sudah tidak membutuhkan admin tersebut (karena sudah ada admin yang lain). Pemindahan/rolling karyawan ini dimungkinkan secara pengaturan PKB dan dalam kontrak kerjanya.

Permasalahannya, karyawan tersebut menolak untuk dipindahkan dari Departemen HR ke Departemen Legal dengan alasan tidak sesuai minatnya. Namun, pemindahan ini sudah diputuskan oleh Perusahaan. Perusahaan sudah melakukan pemanggilan secara tertulis kepada karyawan, sebanyak 2 kali, namun yang bersangkutan tidak menerima pemindahan tersebut dan tidak hadir ke tempat kerja. Karena ketidakhadiran tersebut selama lebih dari 5 hari berturut-turut, perusahaan bermaksud mengirimkan surat Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan karyawan mangkir (tidak bekerja selama lebih dari 5 hari secara berturut-turut tanpa alasan yang sah) – sesuai PKB.

Mohon bantuan Hukumonline untuk memberi pendapat hukum, apakah tindakan perusahaan di atas sudah tepat, dan proses apa selanjutnya yang harus dijalankan jika karyawan menolak PHK (bipartit, tripartit, gugatan, dsb)?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada prinsipnya, perusahaan tidak boleh mengubah jabatan atau jenis pekerjaan yang tercantum dalam perjanjian kerja secara sepihak. Namun, perubahan substansi dalam perjanjian kerja dimungkinkan sepanjang dilakukan atas persetujuan kedua belah pihak.

    Jika dalam perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama (“PKB”) memuat adanya klausul bahwa salah satu pihak dapat melakukan rotasi atau mutasi jabatan sesuai dengan kebutuhan organisasi perusahaan, maka karyawan dan perusahaan dianggap telah menyepakati klausul yang dimaksud. Oleh karenanya, perusahaan dapat melakukan mutasi terhadap karyawan yang bersangkutan.

    Dalam hal pekerja mangkir selama 5 hari kerja/lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh perusahaan sebanyak 2 kali secara patut dan tertulis, maka perusahaan dapat melakukan PHK terhadap pekerja yang bersangkutan, dengan tetap memberikan hak-haknya.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Perjanjian Kerja

    Sebelumnya, kami asumsikan bahwa antara perusahaan Anda dengan pekerja terikat dalam perjanjian kerja tertulis.

    Perjanjian kerja tertulis minimal memuat:[1]

    KLINIK TERKAIT

    Nekat Mem-PHK Karyawan yang Sakit, Ini Konsekuensinya

    Nekat Mem-PHK Karyawan yang Sakit, Ini Konsekuensinya
    1. Nama, alamat perusahaan, dan jenis usaha;
    2. Nama, jenis kelamin, umur, dan alamat pekerja;
    3. Jabatan atau jenis pekerjaan;
    4. Tempat pekerjaan;
    5. Besarnya upah dan cara pembayarannya;
    6. Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
    7. Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
    8. Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
    9. Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.

    Merujuk pada ketentuan tersebut, dengan telah ditandatanganinya perjanjian kerja, berarti kedua belah pihak sepakat dengan isi perjanjian kerja, termasuk di dalamnya jabatan/jenis pekerjaan yang diperjanjikan serta hak dan kewajiban para pihak.

    Disarikan dari Bolehkah Pengusaha Merotasi Karyawan Secara Sepihak?, jika dalam perjanjian kerja telah disepakati bahwa karyawan akan dipekerjakan di suatu jabatan yang ditentukan atau pada suatu jenis pekerjaan tertentu, maka pengusaha tidak dapat mengubah jabatan atau jenis pekerjaan karyawan sebab hal tersebut menyalahi substansi perjanjian kerja.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Walau demikian, bukan berarti pengusaha dan karyawan tidak dapat melakukan perubahan isi perjanjian kerja yang telah disepakati. Dalam hal ini, substansi perjanjian kerja bisa saja diubah atau dibuatkan addendum dengan ketentuan harus ada dasar persetujuan dan kesepakatan para pihak yang membuatnya.

    Dalam hal ini, tidak boleh ada perubahan perjanjian secara sepihak tanpa persetujuan pihak lainnya, kecuali jika sebelumnya telah dicantumkan dalam perjanjian adanya klausul bahwa perusahaan dapat melakukan rotasi atau mutasi sesuai dengan kebutuhan organisasi perusahaan. Jika klausul tersebut sudah dicantumkan, maka karyawan dan perusahaan dianggap telah menyepakati klausul yang dimaksud.

    Oleh karenanya, dalam hal mutasi/pemindahan jabatan karyawan tersebut memang telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), maka perusahaan dapat melakukan mutasi terhadap karyawan yang bersangkutan, sebagaimana yang diatur dalam perjanjian kerja dan PKB.

    Hal serupa juga ditegaskan oleh Juanda Pangaribuan, praktisi hukum hubungan industrial dan mantan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Menurut Juanda, perbuatan perusahaan yang melakukan mutasi atau rotasi terhadap pekerja tersebut dibenarkan secara hukum, sepanjang dalam perjanjian kerja dan/atau PKB dimuat suatu klausul yang memberikan kewenangan terhadap perusahaan untuk melakukan mutasi kepada karyawannya sesuai dengan kebutuhan organisasi perusahaan.

    Di sisi lain, Juanda berpendapat bahwasannya rotasi karyawan merupakan peluang yang baik bagi karyawan untuk mengembangkan kompetensi dirinya di bidang yang baru. Dengan adanya tantangan baru, karyawan dituntut untuk terus belajar dan menguasai berbagai bidang berbeda. Dengan penguasaan beragam bidang tersebut, peluang untuk mendapatkan jabatan yang lebih tinggi di kemudian hari juga menjadi semakin besar.

    PHK karena Menolak Mutasi

    Lantas, bagaimana konsekuensi hukum jika pekerja menolak dimutasi padahal hal tersebut telah diperjanjikan dalam perjanjian kerja dan diatur dalam PKB?

    Merujuk pada Pasal 36 PP 35/2021, alasan dapat dilakukannya Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) di antaranya yaitu:

    1. Pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis;
    2. Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau PKB dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut masing-masing berlaku untuk paling lama 6 bulan, kecuali ditetapkan lain dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.

    Dalam poin-poin tersebut tidak disebutkan secara spesifik mengenai mutasi sebagai alasan PHK, tetapi ketentuan di atas membuka peluang untuk melihat pada perjanjian kerja, PP, atau PKB, sebagaimana dikutip dari Menolak Mutasi Kerja. Oleh karenanya, menurut hemat kami, untuk mengetahui apa konsekuensi jika pekerja menolak dimutasi, harus dilihat terlebih dahulu isi perjanjian kerja, PP, atau PKB.

    Jika penolakan mutasi tersebut diatur sebagai pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB, maka perusahaan dimungkinkan melakukan PHK setelah memberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut., sebagaimana bunyi ketentuan di atas.

    PHK karena Mangkir

    Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, salah satu alasan dapat dilakukannya PHK ialah pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis.

    Jika hal terjadi, maka perusahaan secara hukum memang dimungkinkan untuk melakukan PHK terhadap pekerja yang bersangkutan.

    Di sisi lain, pekerja yang di-PHK karena mangkir berhak atas uang penggantian hak (“UPH”) dan uang pisah yang besarnya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB dan pengusaha wajib memberikannya.[2]

    Langkah Jika Pekerja Menolak di-PHK

    Kondisi di mana pengusaha berkehendak melakukan PHK terhadap pekerja dan pekerja menolak di-PHK dapat dikategorikan sebagai perselisihan hubungan industrial berupa perselisihan PHK yakni perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.[3]

    Dalam hal terjadi perselisihan PHK, upaya penyelesaian ditempuh secara bertahap, sebagai berikut:

    1. Perundingan bipartit

    Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat dan harus diselesaikan maksimal 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.[4]

    Jika dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.[5]

    1. Perundingan tripartit

    Jika perundingan bipartit gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[6]

    Setelah itu, para pihak yang terlibat perselisihan PHK dapat menempuh penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi.[7]

    1. Mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial

    Dalam hal penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[8]

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
    3. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    4. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

    Catatan:

    Kami telah melakukan wawancara dengan Juanda Pangaribuan, praktisi hukum hubungan industrial dan mantan hakim ad hoc Pengadilan Hubungan Industrial di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat via telepon pada Rabu, 9 Februari 2022 pukul 09.00 WIB.

    [1] Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)

    [2] Pasal 51 PP 35/2021

    [3] Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (”UU PPHI”)

    [4] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PPHI

    [5] Pasal 3 ayat (3) UU PPHI

    [6] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI

    [7] Pasal 4 ayat (3), (4), dan (5) UU PPHI

    [8] Pasal 5 UU PPHI

    Tags

    klinik hukumonline
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!