Pada dasarnya Pasal 123 Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) mengatakan bahwa perceraian itu terjadi terhitung pada saat perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan.
Hal ini juga kembali ditegaskan dalam Pasal 146 ayat (2) KHI, yaitu bahwa suatu perceraian dianggap terjadi beserta akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Ini berarti selama belum ada putusan pengadilan agama yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap, status pasangan yang akan bercerai masih sebagai suami istri.
klinik Terkait:
Terkait dengan pinangan, berdasarkan Pasal 1 huruf a KHI, peminangan ialah kegiatan upaya ke arah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan seorang wanita. Peminangan dapat dilakukan terhadap seorang wanita yang masih perawan atau terhadap janda yang telah habis masa iddahnya (Pasal 12 ayat (1) KHI). Selain itu, wanita yang ditalak suami yang masih berada dalam masa iddah raj'i, haram dan dilarang untuk dipinang (Pasal 12 ayat (2) KHI).
Oleh karena itu, si wanita tidak bisa dipinang oleh orang lain karena statusnya masih sebagai istri dari suaminya, walaupun telah ada perceraian secara agama. Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan di atas, perceraian dianggap terjadi beserta akibatnya sejak ada putusan pengadilan agama yang berkekuatan hukum tetap. Artinya, harus ada perceraian secara negara terlebih dahulu, maka semua akibat perceraian termasuk status si wanita sebagai janda, baru akan dianggap terjadi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
berita Terkait: