Bolehkah Menikah dengan Wanita Muslim yang Baru Bercerai?
Keluarga

Bolehkah Menikah dengan Wanita Muslim yang Baru Bercerai?

Pertanyaan

Bisakah saya menikah dengan calon saya dengan menggunakan surat resi cerai miliknya untuk pengantar surat ke KUA, sebagai pengganti akta cerai yang sedang dalam proses?

Intisari Jawaban

circle with chevron up
Seorang wanita muslim yang baru bercerai dengan mantan suaminya baru dapat menikah kembali hanya apabila putusan Pengadilan Agama mengenai perceraian telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain itu, setelah resmi bercerai, wanita tersebut harus melewati waktu tunggu atau masa idah sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 153 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
 
Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 
Perceraian Wanita Muslim
Mengingat di dalam pertanyaan Anda disebutkan kata “KUA, maka kami asumsikan bahwa Anda dan calon isteri Anda beragama Islam. Hal ini sesuai dengan Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, yang menyatakan bahwa:
 
Kantor Urusan Agama Kecamatan, selanjutnya disingkat KUAKec, adalah satuan kerja yang melaksanakan pencatatan nikah, talak, cerai, dan rujuk pada tingkat kecamatan bagi Penduduk yang beragama Islam.
 
Pada dasarnya wanita muslim yang baru bercerai dengan mantan suaminya baru dapat menikah kembali hanya apabila putusan Pengadilan Agama mengenai perceraian telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Hal ini sesuai dengan Pasal 34 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) yang berbunyi:
 
Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh Pegawai Pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
 
Yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap adalah putusan yang tidak dimintakan upaya hukum apapun dari para pihak. Adapun penetapan dan putusan pengadilan yang dimintakan banding atau kasasi, pelaksanaannya ditunda demi hukum, kecuali apabila dalam amarnya menyatakan penetapan atau putusan tersebut dapat dijalankan lebih dahulu meskipun ada perlawanan, banding, atau kasasi.[1]
 
Akta cerai yang Anda singgung sendiri, sebagaimana diuraikan dalam artikel Instansi yang Berwenang Menerbitkan dan Menyerahkan Akta Cerai adalah dokumen sebagai bukti cerai yang diberikan langsung kepada masing-masing suami dan istri yang bercerai melalui panitera yang sebelumnya dibuat dan diterbitkan oleh Pegawai Pencatat Nikah/Cerai di Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil berdasarkan salinan putusan perceraian dari Pengadilan Agama yang berkekuatan hukum tetap.
 
Masa Idah
Selain adanya ketentuan mengenai putusan yang berkekuatan hukum tetap di atas, hukum perkawinan Islam mengenal adanya masa idah. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring, masa idah adalah masa tunggu (belum boleh menikah) bagi wanita yang berpisah dengan suami, baik karena ditalak maupun bercerai mati. Masa idah diatur dalam Pasal 153 ayat (2) Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) sebagai berikut:
 
Waktu tunggu bagi seorang janda ditentukan sebagai berikut:
  1. Apabila perkawinan putus karena kematian, walaupun qobla al dukhul, waktu tunggu ditetapkan 130 (seratus tiga puluh) hari;
  2. Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih haid ditetapkan 3 (tiga) kali suci dengan sukurang-kurangnya 90 (sembilan puluh) hari, dan bagi yang tidak haid ditetapkan 90 (sembilan puluh) hari;
  3. Apabila perkawinan putus karena perceraian sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan;
  4. Apabila perkawinan putus karena kematian, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
 
Ketentuan mengenai masa idah tersebut tidak berlaku bagi wanita yang perkawinannya putus qobla al dukhul dan perkawinannya putus bukan karena kematian suami.[2] Seorang pria dilarang menikah dengan wanita yang masih berada dalam masa idah dengan pria lain.[3] Adapun tenggang masa idah bagi perkawinan yang putus karena perceraian dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
 
Berdasarkan hal-hal di atas dapat disimpulkan bahwa, perceraian dianggap telah terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah berkekuatan hukum tetap. Akta cerai kemudian menjadi bukti autentik adanya putusan berkekuatan hukum tetap tersebut. Selain itu, wanita hanya dapat menikah kembali jika ia telah memenuhi ketentuan masa tunggu atau massa idah sejak putusan tersebut.
 
Dengan demikian, menurut hemat kami, penggunaan surat resi cerai untuk perkawinan bagi wanita muslim yang baru bercerai tidak dimungkinkan. Dalam hal ini kami asumsikan bahwa resi cerai yang Anda maksud adalah bukti pencatatan perceraian yang disinggung dalam Pasal 34 ayat (2) PP 9/1975 di atas.
 
 
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik Hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika
 
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:
 

[2] Pasal 153 ayat (1) KHI
[3] Pasal 40 huruf b KHI
Tags: