Syarat Sahnya Perkawinan dan Mahar
Perlu Anda pahami, perkawinan menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan adalah:
Perkawinan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha esa.
Sahnya perkawinan apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.[1] Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[2]
Berdasarkan keterangan Anda, kami menyimpulkan bahwa pasangan Anda beragama Islam. Pengertian mahar dalam hukum Islam dapat dilihat dalam Pasal 1 huruf d Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang berbunyi:
Mahar adalah pemberian dari calon mempelai pria kepada calon mempelai wanita, baik berbentuk barang, uang atau jasa yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.
Calon mempelai pria wajib membayar mahar kepada calon mempelai wanita yang jumlah, bentuk, dan jenisnya disepakati oleh kedua belah pihak.[3] Penentuan mahar berdasarkan atas kesederhanaan dan kemudahan yang dianjurkan oleh ajaran Islam.[4]
Penyerahan mahar dilakukan dengan tunai. Apabila calon mempelai wanita menyetujui, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian serta mahar yang belum ditunaikan penyerahannya menjadi hutang calon mempelai pria.[5]
Kewajiban menyerahkan mahar bukanlah rukun dalam perkawinan. Begitu pula halnya dalam keadaan mahar masih terhutang, tidak mengurangi sahnya perkawinan.[6]
Sebagaimana yang pernah dijelaskan dalam artikel Adakah Batasan Jumlah Mahar Dalam Hukum Islam?, hal senada juga disampaikan oleh Abdullah Siddik dalam buku Sirman Dahwal, Perbandingan Hukum Perkawinan (hal. 31), yang mendefinisikan perkawinan sebagai suatu perjanjian akad nikah dengan ketentuan sebagai berikut:
- Persetujuan kedua belah pihak, baik calon suami/ calon istri maupun kedua orang tua,
- Harus ada saksi;
- Harus ada wali;
- Adanya mahar atau maskan (maskawin atau mahar tersebut tidak menjadi rukun nikah sehingga pada waktu akad nikah, mahar tidak disebut sebagai syarat untuk sahnya perkawinan);
- Adanya ijab kabul.
Masih dalam bukunya yang sama, menurut Sirman Dahwal (hal. 31) mahar adalah hak istri yang diterima dari suaminya sebagai pernyataan kasih sayang dan kewajiban suami terhadap istrinya sebagaimana diatur dalam Al-Qur’an surat An-Nisa ayat (4) yang artinya (lebih kurang):
Berikanlah mas kawin (mahar) kepada wanita (orang yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari mas kawin itu dengan senang hati, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”. (Q.s (4):4)
Sirman Dahwal dalam bukunya Perbandingan Hukum Perkawinan mengutip Ahmad Ahzar Basyir yang menguraikan bahwa mas kawin adalah pemberian wajib dari suami kepada istri yang tidak ada batas jumlah minimal dan maksimalnya, karena hanya merupakan simbol kesanggupan suami untuk memikul kewajibannya sebagai suami dalam perkawinan, agar mendatangkan kemantapan dan ketenteraman hati istri (hal. 31).
Jadi, dapat disimpulkan bahwa besarnya suatu mahar diserahkan kepada kesepakatan calon mempelai pria dan wanita. Asalkan mereka sepakat, tentu mahar tersebut pun sah-sah saja berapapun nilainya dan besar kecilnya nilai mahar pun tidak memengaruhi keabsahan perkawinan.
Maka, meski tidak ada aturan hukum yang menentukan besarnya mahar, permohonan mahar sebesar Rp250 juta oleh calon mertua Anda dan dirasa memberatkan untuk Anda, menurut hemat kami, tidak relevan sebagai syarat merestui perkawinan.
Meskipun dalam praktik seringkali dijumpai turut campur orang tua mempelai atas penentuan mahar, namun kami merujuk kembali pada ketentuan Pasal 33 KHI yang menyebutkan, jika disetujui oleh calon mempelai wanita, penyerahan mahar boleh ditangguhkan baik untuk seluruhnya atau sebagian, sehingga mahar yang belum diserahkan menjadi hutang Anda selaku calon mempelai pria.
Oleh karena itu, Anda tetap dapat melangsungkan perkawinan tanpa harus menyerahkan mahar secara tunai di tempat.
Di samping itu, jika memerhatikan Pasal 31 KHI, maka mahar seharusnya mencerminkan kesederhanaan dan kemudahan. Kami sarankan Anda untuk berdiskusi dengan calon mertua Anda mengenai jumlah mahar tersebut jika memang tidak mencerminkan kemudahan yang diajarkan agama Islam dalam hal pelunasannya.
Pernikahan Beda Agama
Anda menerangkan bahwa Anda dan pasangan Anda berbeda agama. Putusan Mahkamah Agung Nomor 1400K/Pdt/1986 menerangkan bahwa Kantor Catatan Sipil sebagai satu-satunya instansi yang berwenang melangsungkan atau membantu melangsungkan pernikahan beda agama (hal. 36 – 37).
Pencatatan perkawinan beda agama di Indonesia saat ini tercakup dalam Pasal 35 huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (“UU Adminduk”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan yang berbunyi:
Pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 berlaku pula bagi:
- perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan; dan
- perkawinan Warga Negara Asing yang dilakukan di Indonesia atas permintaan Warga Negara Asing yang bersangkutan.
Yang dimaksud dengan "perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan" adalah perkawinan yang dilakukan antar umat yang berbeda agama.[7]
Artikel Masalah Pencatatan Perkawinan Beda Agama menerangkan bahwa hanya perkawinan yang dilangsungkan menurut agama Islam yang dicatatkan di Kantor Urusan Agama. Maka, perkawinan beda agama, jika dilakukan dengan penetapan pengadilan, dicatatkan di Kantor Catatan Sipil.
Artikel Pengadilan Agama: Nikah Beda Agama Tanggung Jawab Pribadi menguraikan bahwa Pengadilan Agama Jakarta Selatan memutus suatu perkara terkait suatu pernikahan beda agama yang dalam pertimbangannya menjelaskan bahwa Majelis Hakim menghormati pilihan mengabaikan aturan agama yang dianut sebagai tanggung jawab pribadi kepada Tuhannya tanpa sangkut paut dengan pihak lain, karena setiap manusia mukallaf bertanggung jawab secara pribadi atas apa yang ia lakukan sebagai konsekuensi logis atas apa yang ia pilih dan ia putuskan.
Majelis Hakim juga merujuk pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menegaskan bahwa setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang berlangsung atas kehendak bebas calon suami dan calon istri yang bersangkutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Berdasarkan penjelasan di atas, menurut hemat kami, apabila Anda berniat melangsungkan pernikahan beda agama, maka dapat dilakukan dengan penetapan pengadilan dan pencatatan perkawinan di Kantor Catatan Sipil.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan: