Jaminan Perorangan (Borgtocht)
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang dikutip Salim HS dalam bukunya Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia (hal. 217), mengartikan jaminan perorangan (borgtocht) sebagai:
Jaminan yang menimbulkan hubungan langsung pada perorangan tertentu, hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu, terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Masih bersumber dari buku yang sama, unsur jaminan perorangan yaitu (hal. 217):
- mempunyai hubungan langsung pada orang tertentu;
- hanya dapat dipertahankan terhadap debitur tertentu; dan
- terhadap harta kekayaan debitur umumnya.
Lebih lanjut, perjanjian penanggungan utang diatur dalam Pasal 1820 sampai dengan Pasal 1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Pengertian penanggungan diuraikan dalam Pasal 1820 KUH Perdata, yang berbunyi:
Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditur, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitur, bila debitur itu tidak memenuhi perikatannya.
Masih bersumber pada buku Salim HS, jelaslah bahwa terdapat tiga pihak yang terkait dalam perjanjian penanggungan utang, yaitu pihak kreditur, debitur, dan pihak ketiga. Pihak ketiga yang dimaksud adalah orang yang akan menjadi penanggung utang debitur kepada kreditur, manakala debitur tidak memenuhi prestasinya.
Sifat perjanjian penanggungan utang adalah bersifat accesoir (tambahan), sedangkan perjanjian pokoknya adalah perjanjian kredit atau perjanjian pinjam uang antara debitur dengan kreditur (hal. 219).
Untuk mempermudah penggunaan istilah yang membedakan antara debitur dan pihak ketiga, kami akan menyebut debitur yang mendapatkan pinjaman utang sebagai debitur awal. Sedangkan pihak ketiga untuk selanjutnya disebut debitur penanggung.
Pengajuan PKPU bersamaan terhadap Debitur Awal dan Debitur Penanggung
Lebih lanjut, Salim HS masih dalam buku yang sama kembali menegaskan bahwa, pada prinsipnya debitur penanggung tidak wajib membayar utang debitur kepada kreditur, kecuali jika debitur lalai membayar utangnya. Untuk membayar utang debitur tersebut, maka barang kepunyaan debitur harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1831 KUH Perdata (hal. 220).
Akan tetapi terdapat pengecualian dalam Pasal 1832 KUH Perdata, bahwa:
Penanggung tidak dapat menuntut supaya barang milik debitur lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya:
- bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang-barang debitur lebih dahulu disita dan dijual;
- bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung menanggung, dalam hal itu, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang-utang tanggung-menanggung;
- jika debitur dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
- jika debitur berada keadaan pailit;
- dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim.
Lebih lanjut mengenai kedudukan debitur penanggung dalam permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang (“PKPU”) dapat kita lihat pada Pasal 254 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”) yang selengkapnya berbunyi:
Penundaan kewajiban pembayaran utang tidak berlaku bagi keuntungan sesama Debitor dan penanggung.
Dari bunyi pasal tersebut, kami mencoba menafsirkan dua hal berikut:
- Debitur penanggung tidak dapat diajukan permohonan PKPU; atau
- Debitur penanggung bisa diajukan permohonan PKPU bersama dengan debitur awal, namun tidak berkewajiban memberikan proposal perdamaian.
Sampai sejauh ini memang masih terdapat perbedaan tafsir dari rumusan Pasal 254 UU 37/2004 di atas. Ada yang berpendapat bahwa debitur penanggung tidak dapat diajukan PKPU karena konsep penundaan itu sendiri adalah merestrukturisasi utang, sedangkan debitur penanggung itu hanya menjamin utang-utang milik debitur awal. Oleh karenanya jika membahas mengenai restrukturisasi, otomatis yang memiliki utang adalah debitur awal dan bukan si debitur penanggung.
Namun kami berpendapat jika debitur penanggung telah melepaskan hak istimewanya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1832 KUH Perdata, maka hal tersebut mengakibatkan terjadinya persamaan hukum (equality) antara debitur awal dan debitur penanggung. Hal tersebut juga membawa pada keadaan di mana kreditur dapat memilih kepada siapa dia akan menuntut haknya. Termasuk di dalamnya untuk melakukan langkah-langkah hukum pengajuan permohonan PKPU terhadap keduanya (debitur awal dan debitur penanggung) secara bersama-sama pada pengadilan niaga setempat.
Lebih dari itu, kami juga berpendapat bahwa debitur penanggung tidak berkewajiban untuk mengajukan proposal perdamaian, karena kedudukannya ibarat sebagai accesoir (pelengkap). Jadi yang tetap berkewajiban mengajukan proposal perdamaian adalah debitur awal, meskipun keduanya (debitur awal dan debitur penanggung) berada dalam keadaan PKPU.
Atas uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa debitur penanggung dapat diajukan permohonan PKPU bersamaan dengan debitur awal jika ia telah melepaskan hak istimewanya dalam Pasal 1832 KUH Perdata, yang menyebabkan hilangnya hak untuk menuntut barang-barang debitur untuk lebih dahulu disita dan dijual.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Referensi:
Salim HS. Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Rajawali Pers: Jakarta, 2017.