Prinsip Dasar Pemberian Kuasa
Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, kami mengasumsikan bahwa perusahaan menunjuk Anda sebagai perwakilan karyawan untuk mengadakan kesepakatan bersama dengan perusahaan.
Sayangnya, Anda tidak merinci perihal dan untuk tujuan apa kesepakatan tersebut dibuat. Oleh karena itu, kami akan menjawab secara umum berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Namun, sebelum menjawab pertanyaan Anda, terlebih dahulu harus dipahami konsep dasar pemberian kuasa yang diatur dalam Pasal 1792 KUH Perdata berikut:
Pemberian kuasa ialah suatu persetujuan yang berisikan pemberian kekuasaan kepada orang lain yang menerimanya untuk melaksanakan sesuatu atas nama orang yang memberikan kuasa.
Kuasa dapat diberikan dan diterima dengan suatu akta umum, dengan suatu surat di bawah tangan bahkan dengan sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh yang diberi kuasa.[1]
Berdasarkan ketentuan di atas, meskipun dibenarkan pemberian kuasa secara lisan, namun berdasarkan isi Pasal 1792 KUH Perdata, kuasa hanya dapat diberikan kepada orang lain untuk mewakili si pemberi kuasa.
Sedangkan dalam hal ini, perusahaan menunjuk Anda untuk mewakili karyawan, bukan untuk mewakili perusahaan. Dengan demikian, pemberian kuasa tersebut menjadi tidak sah sebab diberikan oleh orang yang tidak memiliki kewenangan untuk memberi kuasa.
Memahami Fungsi Tanda Tangan dalam Perjanjian
Lebih lanjut, Pasal 1876 KUH Perdata menyatakan bahwa terhadap suatu tulisan di bawah tangan yang ditandatangani, para pihak yang dihadapkan terhadap tulisan tersebut dapat melakukan dua hal: mengakui atau memungkiri kebenaran tulisan atau tanda tangannya.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka suatu tanda tangan memiliki fungsi sebagai alat autentikasi dan verifikasi yang pada umumnya memastikan kebenaran terhadap:
- identitas penandatangan; dan
- isi dari tulisan tersebut.
Kiranya dapat dipahami bawa pencantuman tanda tangan dalam suatu perjanjian bukanlah sebagai syarat sahnya perjanjian. Tanda tangan hanya untuk memberi ciri atau untuk mempersonalisasi sebuah perjanjian.
Jadi, tanda tangan di sini bukanlah persoalan yang Anda tanyakan apakah bisa ditarik kembali, melainkan adanya tekanan dan paksaan saat Anda menandatangani perjanjian.
Paksaan (Dwang) dalam Pembuatan Perjanjian
Salah satu syarat sahnya sebuah perjanjian berdasarkan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu adanya kesepakatan kehendak (consensus, agreement). Kedua belah pihak harus sepakat tentang apa yang diatur oleh perjanjian tersebut agar suatu perjanjian dianggap sah oleh hukum. Kesepakatan kehendak tersebut dianggap tidak pernah terjadi apabila perjanjian diadakan atas paksaan (dwang), penipuan (bedrog), atau kesilapan (dwaling).
Mengenai paksaan (dwang), Pasal 1323 KUH Perdata mengatur sebagai berikut :
Paksaan yang dilakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.
Pasal 1323 KUH Perdata tersebut menyatakan bahwa paksaan tidak harus datang langsung dari pihak lawan perjanjian, tetapi dapat juga datang dari siapa saja. Termasuk jika lawan perjanjiannya tidak tahu tentang adanya ancaman itu, atau bahkan tidak pernah menyuruh orang lain untuk melakukan ancaman.
Subekti dalam bukunya Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 99), menyatakan bahwa paksaan terjadi jika seseorang memberikan persetujuannya karena ia takut pada suatu ancaman. Misalnya ia akan dianiaya atau akan dibuka rahasianya jika ia tidak menyetujui suatu perjanjian. Yang diancamkan harus mengenai suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang. Jikalau yang diancamkan itu suatu perbuatan yang memang diizinkan oleh undang-undang, misalnya ancaman akan menggugat yang bersangkutan di depan hakim dengan penyitaan barang, itu tidak dapat dikatakan suatu paksaan.
Sebagai akibat hukum dari dilanggarnya syarat sah perjanjian berupa ‘kesepakatan’, maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan (voidable). Jika pembatalan tidak dimintakan oleh pihak yang berkepentingan, maka perjanjian tersebut tetap berlaku.
Dikaitkan dengan pertanyaan yang Anda ajukan, jika Anda mengadakan perjanjian atas dasar paksaan, maka perjanjian tersebut tidak memenuhi syarat sah perjanjian berupa ‘kesepakatan’. Anda dapat meminta pembatalan perjanjian ke pengadilan.
Terlebih lagi dalam menandatangani kesepakatan tersebut Anda tidak mendapatkan kuasa yang sah dari para karyawan. Sehingga segala perbuatan hukum yang Anda lakukan dengan mengatasnamakan karyawan menjadi tidak sah pula.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa. 2003.