Homologasi
Istilah “homologasi” berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan adalah pengesahan oleh hakim atas persetujuan antara debitor dan kreditor untuk mengakhiri kepailitan.
Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU)
Sutan Remy Sjahdeini dalam bukunya Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan mengutip Fred B.G. Tumbuan yang menjelaskan bahwa pada hakikatnya, PKPU berbeda dari kepailitan. Penundaan dimaksud tidak berdasarkan pada keadaan di mana debitor tidak membayar utangnya atau insolven dan juga tidak bertujuan dilakukannya pemberesan ataupun hanya untuk kepentingan debitor saja, melainkan juga untuk kepentingan para kreditor, khususnya kreditor konkuren (hal 412 – 413).
Oleh karenanya, debitor diberi waktu dan kesempatan untuk reorganisasi usahanya dan/atau restrukturisasi utang-utangnya, sehingga dapat melanjutkan usahanya dan dengan demikian membayar lunas utang-utangnya (hal. 413).
Masih bersumber pada buku yang sama yang mengutip Kartini Muljadi dalam buku Penyelesaian Utang Piutang: Melalui Pailit atau Penundan Kewajiban Pembayaran Utang, debitor selama PKPU tidak kehilangan penguasaan dan hak (beheer en beschikking) atas kekayaannya, tetapi hanya kehilangan kebebasannya dalam menguasai kekayaannya.
Dalam PKPU, debitor dan pengurus merupakan dwi tunggal karena salah satu antara mereka tidak dapat bertindak dengan sah tanpa yang lain (hal. 413).
Menurut Pasal 222 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”), pengajuan permohonan PKPU dapat dilakukan oleh debitor yang mempunyai lebih dari 1 kreditor maupun diajukan oleh kreditor itu sendiri.
Bagi debitor, untuk mengajukan PKPU berlaku ketentuan Pasal 222 ayat (2) UU 37/2004 yang menerangkan bahwa bagi debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Sedangkan syarat bagi kreditor untuk mengajukan PKPU, menurut Pasal 222 ayat (3) UU 37/2004, yaitu jika kreditor memperkirakan bahwa debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih untuk memungkinkan diajukannya rencana perdamaian oleh debitor yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada kreditor.
Berakhirnya PKPU karena Dihomologasinya Perjanjian Perdamaian
Dalam suatu proses PKPU, debitor akan mengajukan proposal perdamaian yang berisikan tentang tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada para kreditor yang kemudian dalam proses rapat-rapat kreditor akan dilakukan pembahasan atas isi dari proposal perdamaian tersebut. Perdamaian tersebut juga sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 265 UU 37/2004 yang berbunyi:
Debitor berhak pada waktu mengajukan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang atau setelah itu menawarkan suatu perdamaian kepada Kreditor.
Pemungutan suara (voting) atas proposal perdamaian tersebut digunakan dengan mekanisme sebagaimana diuraikan dalam Pasal 281 ayat (1) huruf a UU 37/2004 di mana proposal perdamaian dapat diterima jika mendapatkan persetujuan lebih dari 1/2 jumlah kreditor (konkuren dan separatis) yang hadir dalam rapat kreditor, di mana kreditor tersebut mewakili paling sedikit 2/3 bagian dari seluruh tagihan yang diakui atau sementara diakui dari kreditor konkuren atau kuasanya yang hadir dalam rapat tersebut.
Jika telah mendapatkan persetujuan mayoritas dari kreditor (separatis dan konkuren) terhadap proposal perdamaian yang diajukan oleh debitor, maka pengadilan niaga “dapat” mengesahakan proposal perdamaian (homologasi).[1] Meskipun demikian, jika pengadilan niaga menilai bahwa ketentuan dalam Pasal 285 ayat (2) UU 37/2004 terpenuhi, maka pengadilan niaga wajib menolak mengesahkan perdamaian. Pasal tersebut selengkapnya berbunyi:
Pengadilan wajib menolak untuk mengesahkan perdamaian, apabila:
- harta Debitor, termasuk benda untuk mana dilaksanakan hak untuk menahan benda, jauh lebih besar daripada jumlah yang disetujui dalam perdamaian;
- pelaksanaan perdamaian tidak cukup terjamin;
- perdamaian itu dicapai karena penipuan, atau persekongkolan dengan satu atau lebih Kreditor, atau karena pemakaian upaya lain yang tidak jujur dan tanpa menghiraukan apakah Debitor atau pihak lain bekerja sama untuk mencapai hal ini; dan/atau
- imbalan jasa dan biaya yang dikeluarkan oleh ahli dan pengurus belum dibayar atau tidak diberikan jaminan untuk pembayarannya
Dalam hal diputuskan pengesahan perdamaian oleh Pengadilan, maka ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 UU 37/2004 berlaku mengikat terhadap seluruh kreditor.
Pasal 286 UU 37/2004
Perdamaian yang telah disahkan mengikat semua kreditor kecuali kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian sebagaiman dimaksud dalam pasal 281 ayat (2)
Pengecualian yang dimaksud adalah terhadap kreditor yang tidak menyetujui rencana perdamaian terkait piutang yang melibatkan gadai, jaminan fidusia, hak tanggungan, hipotek, atau hak agunan atas kebendaan lainnya, sehinga diberikan kompensasi sebesar nilai terendah di antara nilai jaminan atau nilai aktual pinjaman yang secara langsung dijamin dengan hak agunan atas kebendaan.[2]
PKPU berakhir pada saat putusan pengesahan perdamaian memperoleh kekuatan hukum tetap dan pengurus wajib mengumumkan pengakhiran ini dalam Berita Negara Republik Indonesia dan paling sedikit 2 (dua) surat kabar harian.[3]
Jika PKPU Diajukan Kedua Kalinya Setelah Homologasi
Dengan mengacu pada Pasal 286 UU 37/2004, debitor dan kreditor telah menundukkan diri terhadap perjanjian perdamaian yang telah dihomologasi pengadilan niaga.
Maka dari itu, secara hukum karena sudah diadakannya homologasi atau pengesahan perjanjian perdamaian oleh pengadilan niaga, maka PKPU tidak boleh diajukan kedua kalinya setelah homologasi dilaksanakan.
Pada praktiknya, seringkali pada saat debitor tidak dapat memenuhi janjinya sebagaimana tercantum dalam perjanjian perdamaian yang telah disahkan biasanya debitor mengajukan permohonan PKPU untuk kedua kalinya, namun hukum tidak memperbolehkan hal tersebut baik pengajuan tersebut dilakukan oleh debitor maupun kreditor.
Jadi dalam hal debitor tidak dapat melaksanakan atau lalai memenuhi isi perdamaian tersebut, kreditor dapat menuntut untuk dilakukannya pembatalan perjanjian perdamaian yang telah disahkan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 291 jo. Pasal 170 jo. Pasal 171 UU 37/2004 dan berdasarkan Pasal 291 ayat (2) UU 37/2004, pada putusan pengadilan yang membatalkan perdamaian, debitor juga harus dinyatakan pailit.
Perlu diketahui bahwa sebelum putusan yang membatalkan perdamaian, pengadilan niaga berwenang memberikan kelonggaran kepada debitor untuk memenuhi kewajibannya paling lama 30 hari setelah putusan pemberian kelonggaran diucapkan. Kelonggaran hanya dapat diberikan 1 (satu) kali dalam seluruh proses. Apabila setelah jangka waktu lewat debitor tetap tidak dapat memenuhi isi perjanjian, maka pengadilan niaga akan membatalkan perdamaian dan mengakibatkan debitor dinyatakan pailit.[4]
Selain itu, dalam suatu putusan pernyataan pailit yang diputuskan berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286 atau Pasal 291, tidak dapat ditawarkan suatu perdamaian.[5] Ketentuan dalam pasal ini berarti bahwa putusan pernyataan pailit mengakibatkan harta pailit debitor langsung berada dalam keadaan insolvensi.[6]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
- Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016;
- Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 6 November 2019, pukul 13.54.