Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dasar Hukum Penyelenggaraan Haji Plus

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Dasar Hukum Penyelenggaraan Haji Plus

Dasar Hukum Penyelenggaraan Haji Plus
Vidya Nuchaliza, S.H.Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Bacaan 10 Menit
Dasar Hukum Penyelenggaraan Haji Plus

PERTANYAAN

Dari info yang saya dapat, ternyata ada program haji plus yang jumlah antriannya lebih pendek dari haji biasa. Apakah haji plus tersebut diperbolehkan dan punya dasar hukum? Karena terlihat agak tidak adil bagi orang-orang yang antri puluhan tahun.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Ibadah haji adalah rukun Islam kelima bagi orang Islam yang mampu untuk melaksanakan serangkaian ibadah tertentu di baitullah, masyair, serta tempat, waktu dan syarat tertentu.[1] Perintah tersebut terkandung dalam Al-Quran Surat Ali-Imran ayat 97, yang artinya:
     
    …Dan (di antara) kewajiban manusia terhadap Allah adalah melaksanakan ibadah haji ke Baitullah, yaitu bagi orang-orang yang mampu mengadakan perjalanan ke sana…
     
    Selanjutnya, berkenaan dengan pertanyaan Anda, UU 8/2019 mengatur mengenai 2 (dua) jenis penyelenggaraan ibadah haji di Indonesia, yakni:
    1. Penyelenggaraan ibadah haji reguler, yaitu penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh menteri dengan pengelolaan, pembiayaan dan pelayanan yang bersifat umum;[2]
    2. Penyelenggaraan ibadah haji khusus, yaitu penyelenggaraan ibadah haji yang dilaksanakan oleh penyelenggara ibadah haji khusus (“PIHK”) yang merupakan badan hukum yang memiliki izin dari menteri dengan pengelolaan, pembiayaan, dan pelayanan yang bersifat khusus.[3]
     
    Jamaah haji khusus yang akan melaksanakan penyelenggaran ibadah haji khusus membayar biaya yang disebut Biaya Perjalanan Ibadah Haji Khusus (“Bipih Khusus”).[4] Bipih Khusus jumlahnya lebih besar dari Bipih untuk ibadah haji reguler,[5] bahkan PIHK dibolehkan memungut biaya di atas setoran Bipih Khusus sesuai dengan pelayanan tambahan yang diberikan kepada jamaah haji khusus.[6]
     
    Kuota haji khusus setiap tahunnya ditentukan oleh menteri yakni sebesar 8% dari kuota haji Indonesia, yang merupakan kuota haji aktual hasil dari keputusan pemerintah Kerajaan Arab Saudi dan pemerintah. Pengisian kuota haji khusus tersebut dilakukan berdasarkan urutan pendaftaran secara nasional.[7]
     
    Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan haji plus dalam peraturan perundang-undangan dikenal dengan istilah penyelenggaraan ibadah haji khusus, yang memang dimungkinkan berdasarkan UU 8/2019.  
     
    Namun, dalam mengerjakan ibadah haji, baik melalui jalur ibadah haji reguler maupun ibadah haji khusus, ada syarat, rukun dan wajib haji yang harus dipenuhi oleh jamaah haji.
     
    Syarat-syarat wajib ibadah haji adalah:[8]
    1. Islam;
    2. Baligh;
    3. Berakal;
    4. Mampu;
    5. Ada muhrim dan tidak dalam keadaan iddah (bagi jamaah perempuan).
     
    Sedangkan rukun haji antara lain:[9]
    1. Ihram, yaitu menetapkan niat untuk mengerjakan ibadah haji dengan memakai pakaian ihram dan dimulai dari suatu tempat dan waktu yang telah ditentukan, yang diistilahkan dengan miqat;
    2. Wukuf di Arafah pada tanggal 9 saat tergelincir matahari sampai terbit fajar tanggal 10 Zulhijjah;
    3. Tawaf, yaitu mengelilingi Ka’bah sebanyak tujuh kali;
    4. Sa’i, yaitu berlari-lari kecil antara bukit Safa dan Marwah;
    5. Tahalul, yaitu menggunting atau mencukur rambut sekurang-kurangnya tiga helai rambut.
     
    Selain rukun haji ada juga wajib haji. Apabila salah satu wajib haji ditinggalkan, maka hajinya sah, akan tetapi jamaah tersebut wajib membayar dam (denda). Adapun yang termasuk wajib haji adalah sebagai berikut:[10]
    1. Ihram haji dari miqat;
    2. Mabit (bermalam) di Muzdalifah;
    3. Mabit (bermalam) di Mina;
    4. Melempar Jumrah;
    5. Menghindari perbuatan yang terlarang;
    6. Thawaf wada’ jika akan meninggalkan Makkah.
    Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan juga bahwa ibadah haji khusus boleh dilaksanakan karena sah atau tidaknya haji ditentukan dari apakah jamaah tersebut sudah memenuhi syarat dan mengerjakan rukun serta wajib haji. Perbedaan jalur yang digunakan baik haji reguler atau haji khusus tidak menggugurkan kewajiban haji dan tidak berpengaruh terhadap keabsahan ibadah haji yang dilaksanakan.
     
    Demikian jawaban dari kami, terima kasih.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah;
     
    Referensi:
    1. Andi Intan Cahyani,  Pelaksanaan Haji Melalui Penerapan Formal dalam Peraturan Haji di Indonesia, El-Iqtishady, Volume 1 Nomor 2, Desember 2019;
    2. Muhammad Noor, Haji dan Umrah, Jurnal Humaniora dan Teknologi, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2018.
     

    [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah (“UU 8/2019”)
    [2] Pasal 1 angka 8 UU 8/2019
    [3] Pasal 1 angka 10 jo. angka 11 UU 8/2019
    [4] Pasal 1 angka 16 UU 8/2019
    [5] Lihat Keputusan Presiden Nomor 6 Tahun 2020 tentang Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Tahun 1441H/2020M yang Bersumber dari Biaya Perjalanan Ibadah Haji, Nilai Manfaat, dan Dana Efisiensi dan Keputusan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah Nomor 143 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembayaran Pelunasan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji Khusus dan Pengurusan Dokumen Haji Khusus Tahun 1441H/2020M
    [6] Pasal 68 ayat (3) UU 8/2019
    [7] Pasal 64 UU 8/2019
    [8] Andi Intan Cahyani,  Pelaksanaan Haji Melalui Penerapan Formal dalam Peraturan Haji di Indonesia, El-Iqtishady, Volume 1 Nomor 2, Desember 2019, hal. 107-108
    [9] Andi Intan Cahyani,  Pelaksanaan Haji Melalui Penerapan Formal dalam Peraturan Haji di Indonesia, El-Iqtishady, Volume 1 Nomor 2, Desember 2019, hal. 109
    [10] Muhammad Noor, Haji dan Umrah, Jurnal Humaniora dan Teknologi, Volume 4, Nomor 1, Oktober 2018, hal. 41

    Tags

    kemenag
    haji

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!