Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Di-PHK karena Menolak Perintah Atasan yang Melanggar Hukum

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Di-PHK karena Menolak Perintah Atasan yang Melanggar Hukum

Di-PHK karena Menolak Perintah Atasan yang Melanggar Hukum
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Di-PHK karena Menolak Perintah Atasan yang Melanggar Hukum

PERTANYAAN

Saya bekerja di perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan. Selama beberapa tahun perusahaan tersebut membayar upah karyawan non staff di bawah upah minimum, yang baru saya ketahui saat bergabung di perusahaan. Saya pernah mendapat instruksi dari pemilik perusahaan untuk membuat kontrak kerja yang isinya bertentangan dengan UU. Ia memaksa dan berkata, “Jangan takut karena ada rekan Bupati, Gubernur, dan kepala Disnaker setempat.” Jadi, ia mengutarakan tidak akan ada masalah jika membayar dengan upah di bawah upah minimum. Saya menolak lalu saya di-PHK tanpa pesangon. Bisakah saya menuntut secara hukum atau melapor polisi atas tindakan pemilik perusahaan? Saya memiliki rekaman sebagai bukti instruksi itu.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Menolak perintah kerja biasanya dapat dikategorikan sebagai perbuatan yang melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja atau perjanjian kerja bersama, dan dapat dijadikan sebagai alasan pemutusan hubungan kerja (“PHK”), dengan tetap melalui prosedur yang ditetapkan undang-undang.
     
    Namun, jika terjadi ketidaksesuaian pendapat mengenai PHK, langkah yang bisa Anda tempuh adalah dengan penyelesaian perselisihan PHK. Kemudian, perbuatan pengusaha yang membayar upah di bawah standar minimum juga dapat dilaporkan ke Kepolisian dengan ancaman pidana penjara minimal 1 tahun dan maksimal 4 tahun dan/atau denda minimal Rp100 juta dan maksimal Rp400 juta.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Dipecat karena Menolak Perintah Atasan untuk Melanggar Hukum
    Patut dicatat, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja (“PHK”) menurut Pasal 151 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
     
    Namun sepanjang penelusuran kami, tidak ada ketentuan spesifik yang membahas mengenai berwenang atau tidaknya perusahaan untuk melakukan PHK apabila karyawan menolak perintah atasan dengan alasan perintah tersebut melanggar hukum.
     
    Disarikan dari artikel Dalil PHK yang Mengada-ada, tidak menjalankan perintah atasan tidak dikenal sebagai salah satu alasan PHK dalam UU Ketenagakerjaan. Namun, biasanya ketentuan yang mewajibkan seorang karyawan untuk menjalankan perintah atasannya dimuat dalam peraturan perusahaan, perjanjian kerja, dan/atau perjanjian kerja bersama. Sehingga jika karyawan tidak menjalankan perintah atasan, maka kemungkinan ia telah melanggar peraturan perusahaan, perjanjian kerja dan/atau perjanjian kerja bersama, yang atas dasar hal tersebut, pengusaha dapat melakukan PHK, setelah karyawan yang bersangkutan diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.[1]
     
    Bila terjadi PHK dengan alasan yang demikian, pengusaha wajib membayar uang pesangon sebesar 1 kali, uang penghargaan masa kerja sebesar 1 kali dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.[2]
     
    Perhitungan uang pesangon paling sedikit sebagai berikut:[3]
    1. masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
    2. masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
    3. masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
    4. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
    5. masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
    6. masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
    7. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah.
    8. masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
    9. masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
     
    Sedangkan perhitungan uang penghargaan masa kerja ditetapkan sebagai berikut:[4]
    1. masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
    2. masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
    3. masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
    4. masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
    5. masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
    6. masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
    7. masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
    8. masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
     
    Menyambung pertanyaan Anda, sayangnya tidak disebutkan sudah berapa lama Anda bekerja, namun Anda tetap dapat membuat perhitungan sendiri berdasarkan penjelasan di atas, ditambah dengan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.   Sehingga bila Anda tidak mendapatkan pesangon, kami menyarankan Anda untuk menuntut hak pesangon melalui tahapan penyelesaian dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
     
    Perselisihan di atas termasuk perselisihan PHK yakni terjadi ketika tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.[5]
     
    Jadi menurut hemat kami, untuk menyelesaikan masalah PHK ini, Anda dapat menempuh melalui tahapan penyelesaian perselisihan PHK yang dimulai dari perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.[6]
     
    Baca juga: Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing
     
    Pengusaha Membayar Upah di Bawah Minimum
    Sebagaimana telah diulas dalam artikel Langkah Hukum Jika Upah di Bawah Standar Minimum, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum berdasarkan wilayah provinsi atau kabupaten/kota dan sektor pada wilayah provinsi atau kabupaten/kota.[7]
     
    Masih dari artikel yang sama, langkah hukum yang dapat dilakukan untuk menyelesaikan permasalahan upah di bawah minimum, yaitu:
    1. Mengadakan perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat;[8]
    2. Apabila dalam waktu 30 hari, perundingan tidak mencapai kesepakatan, salah satu atau para pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Selain itu, perlu diajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan;[9]
    3. Instansi yang bertanggung jawab akan menawarkan kepada para pihak untuk menyelesaikan perselisihan melalui konsiliasi atau arbitrase. Jika tidak menetapkan pilihan, maka akan diselesaikan melalui mediasi;[10]
    4. Apabila konsiliasi atau mediasi tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial;[11]
    5. Sementara itu, putusan arbitrase mempunyai kekuatan hukum yang mengikat para pihak yang berselisih dan merupakan putusan yang bersifat akhir dan tetap serta tidak dapat lagi diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[12]
     
    Untuk menempuh jalur pidana, pengusaha yang membayar upah pekerjanya di bawah upah minimum dapat dilaporkan ke Kepolisian, dan diancam dengan penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 4 tahun dan/atau denda paling sedikit Rp100 juta dan paling banyak Rp400 juta.[13]
     
    Adapun rekaman yang hendak Anda jadikan sebagai bukti tersebut, sebagaimana yang dijelaskan dalam artikel Bisakah Rekaman Diam-Diam Percakapan Telepon Dijadikan Alat Bukti?, apabila bukan merupakan hasil penyadapan, maka dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
     

    [1] Pasal 161 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [2] Pasal 156 ayat (1) jo. Pasal 161 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
    [3] Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
    [5] Pasal 1 angka 4 UU PPHI
    [6] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU PPHI
    [7] Pasal 90 ayat (1) jo. Pasal 89 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
    [8] Pasal 3 ayat (1) jo. Pasal 1 angka 10 UU PPHI
    [9] Pasal 3 ayat (2) dan (3) jo. Pasal 4 ayat (1) UU PPHI
    [10] Pasal 4 ayat (3), (4), (5), dan (6) UU PPHI
    [11] Pasal 5 UU PPHI
    [12] Pasal 51 UU PPHI
    [13] Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan

    Tags

    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!