Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dinikahi Secara Siri dan Diumbar Janji, Bisakah Pihak Istri Minta Suaminya Bertanggung Jawab?

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Dinikahi Secara Siri dan Diumbar Janji, Bisakah Pihak Istri Minta Suaminya Bertanggung Jawab?

Dinikahi Secara Siri dan Diumbar Janji, Bisakah Pihak Istri Minta Suaminya Bertanggung Jawab?
Erni Agustin S.H., LL.MPusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Pusat Kajian Hukum Bisnis FH Unair
Bacaan 10 Menit
Dinikahi Secara Siri dan Diumbar Janji, Bisakah Pihak Istri Minta Suaminya Bertanggung Jawab?

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, jadi kronologinya pihak laki-laki meminta pihak perempuan agar mau dinikahi secara siri. Ada jangka waktu yang cukup lama setelah permintaan tersebut, di mana akhirnya pihak perempuan menyetujui karena beberapa alasan. Setelah berlangsungnya pernikahan tersebut dengan memberikan beberapa syarat, pihak laki-laki berjanji tidak akan meninggalkan dan berjanji bertanggung jawab. Sehingga setelah pihak laki-laki mengatakan janji tersebut pihak perempuan berinisiatif melakukan perjanjian hitam di atas putih dengan bermeterai antara kedua belah pihak, mengingat status hukum pernikahan siri yang begitu lemah. Tibalah di kemudian hari pihak perempuan mengetahui hubungan suaminya dengan perempuan lain yang mengakibatkan percekcokan, dan membuat pihak laki-laki meninggalkan pihak perempuan dan tidak bertanggung jawab. Bisakah pihak perempuan tersebut menuntut kepada pihak laki-laki jika laki-laki tersebut tidak mau mempertanggungjawabkan tindakannya tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perjanjian yang dibuat antara laki-laki dan perempuan tersebut dalam rangka nikah siri, menurut hemat kami, dapat dikategorikan sebagai janji-janji untuk kawin jika memang bentuk pertanggungjawaban yang dimaksud adalah untuk menikahinya secara sah sesuai hukum yang berlaku.

    Perlu diketahui, janji-janji untuk kawin bukanlah merupakan ruang lingkup dari perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

    Janji-janji untuk kawin pun juga tidak tunduk dalam ruang lingkup perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).

    Sehingga, jika perempuan tersebut ingin menuntut laki-laki terkait pertanggungjawaban perkawinannya, maka posisinya sangat lemah di mata hukum.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Kewajiban Pencatatan Perkawinan

    Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan(“ UU Perkawinan”) perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan juga harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

    KLINIK TERKAIT

    Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah

    Langkah dan Prosedur Permohonan Itsbat Nikah

    Bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, pencatatan dilakukan di Kantor Urusan Agama (KUA) sesuai dengan ketentuan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP 9/1975”) jo. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-UndangTtanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura. Oleh karena itu, suatu perkawinan dianggap sah apabila telah memenuhi ketentuan baik menurut peraturan perundang-undangan maupun hukum agama dan kepercayaannya.

    Status Hukum Nikah Siri

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dalam keterangan yang diberikan, seorang perempuan melakukan nikah siri dengan seorang laki-laki, artinya perkawinan tersebut tidak dicatatkan di lembaga pencatat perkawinan sebagaimana disebutkan di atas. Perkawinan yang demikian dianggap tidak ada di mata hukum oleh karenanya tidak menimbulkan hubungan keperdataan sebagai pasangan suami istri menurut UU Perkawinan.

    Lebih lanjut, bagi yang beragama Islam, maka berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) diatur bahwa setiap perkawinan dilangsungkan dihadapan dan di bawah pengawasan pegawai pencatat nikah. Lalu, pada Pasal 6 ayat (2) KHI ditegaskan bahwa perkawinan yang dilakukan di luar pegawai pencatat nikah tidak mempunyai kekuatan hukum.

    Untuk bukti adanya perkawinan pun, dalam Pasal 7 ayat (1) KHI diatur bahwa perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan akta nikah yang dibuat oleh pegawai pencatat nikah. Untuk itu perkawinan/nikah siri ini tentunya sangat merugikan pihak perempuan/ wanita, karena tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak dapat dibuktikan dengan akta nikah.

    Status Perjanjian dalam Rangka Nikah Siri

    Terkait dengan pertanyaan yang diajukan mengenai apakah pihak perempuan dapat menuntut si laki-laki berdasarkan perjanjian yang dibuat tersebut, perlu diketahui bahwa perjanjian yang dibuat antara laki-laki dan perempuan tersebut dalam rangka nikah siri, menurut hemat kami, dapat dikategorikan sebagai janji-janji untuk kawin yang bukanlah merupakan ruang lingkup dari perjanjian kawin sebagaimana diatur dalam Pasal 29 UU Perkawinan jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

    Janji-janji untuk kawin pun juga tidak tunduk dalam ruang lingkup perjanjian pada umumnya sebagaimana diatur dalam Pasal 1313 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Lebih lanjut penegasan mengenai hal ini terdapat dalam Pasal 58 KUH Perdata yang menyatakan:

    Janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di muka Hakim berlangsungnya perkawinan, juga tidak menimbulkan hak untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, akibat tidak dipenuhinya janji itu, semua persetujuan untuk ganti rugi dalam hal ini adalah batal.

    Kesimpulannya, perkawinan yang tidak dicatatkan atau pernikahan siri antara perempuan/ wanita dan laki-laki itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Sehingga, jika perempuan tersebut ingin menuntut laki-laki terkait pertanggungjawaban perkawinannya, maka posisinya sangat lemah di mata hukum.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954 tentang Penetapan Berlakunya Undang-Undang Tanggal 21 Nopember 1946 Nomor 22 Tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk di Seluruh Daerah Luar Jawa dan Madura;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    4. Kompilasi Hukum Islam;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015.

    Tags

    hukumonline
    khi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    12 Apr 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!