Saya ingin mengetahui seputar eksekusi putusan perdata. Apakah eksekusi oleh pengadilan bisa dilakukan kepada terhukum terhadap aset milik terhukum yang tidak disebutkan di dalam putusan?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Eksekusi merupakan tindakan paksa untuk menjalankan putusan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila pihak yang kalah tidak bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela.
Lantas bolehkah melakukan eksekusi terhadap aset milik pihak yang kalah yang tidak disebutkan atau di luar putusan pengadilan dalam kasus perdata?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Eksekusi Putusan Pengadilan dalam Kasus Perdata
Berdasarkan Pedoman Eksekusi pada Pengadilan Negeri yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Mahkamah Agung tahun 2019, eksekusi adalah menjalankan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap (res judicata/inkracht van gewijsde) yang bersifat penghukuman (condemnatoir), yang dilakukan secara paksa, jika perlu dengan bantuan kekuatan umum (hal. 1).
Lebih lanjut, ciri putusan pengadilan yang bersifat penghukuman atau condemnatoir, dirumuskan sebagai berikut (hal. 6):
Menghukum atau memerintahkan “menyerahkan” suatu barang;
Menghukum atau memerintahkan “pengosongan” sebidang tanah atau rumah;
Menghukum atau memerintahkan “membongkar” suatu bangunan;
Menghukum atau memerintahkan “melakukan” suatu perbuatan tertentu (contoh: pembagian warisan);
Menghukum atau memerintahkan “penghentian” suatu perbuatan atau keadaan;
Menghukum atau memerintahkan melakukan “pembayaran” sejumlah uang.
Lantas, bagaimana melaksanakan putusan perdata? Sesuai dengan ketentuan Pasal 196 HIR dan Pasal 207 RBg, ada dua cara pelaksanaan putusan, antara lain:
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
secara sukarela yaitu dalam hal pihak yang kalah dengan sukarela melaksanakan putusan tersebut; dan
secara paksa yakni melalui proses eksekusi oleh pengadilan.
M. Yahya Harahap dalam buku Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata menyatakan pada prinsipnya eksekusi sebagai tindakan paksa menjalankan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, sebagai pilihan hukum apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankan atau memenuhi isi putusan secara sukarela (hal. 11).
Jika pihak yang kalah bersedia menaati dan memenuhi putusan secara sukarela, tindakan eksekusi harus disingkirkan. Oleh karena itu, harus dibedakan antara menjalankan putusan secara sukarela dan menjalankan putusan secara eksekusi (hal. 11).
Dalam praktik peradilan dikenal dua macam eksekusi yaitu:
Eksekusi riil atau nyata
Eksekusi nyata atau eksekusi riil adalah meliputi penyerahan, pengosongan, pembongkaran, pembagian, dan melakukan sesuatu.[1]
Eksekusi pembayaran sejumlah uang
Eksekusi ini dilakukan melalui lelang atau executorial verkoop. Eksekusi ini dilakukan dengan menjual lelang barang-barang debitur.[2]
Perlu dipahami bahwa sesuai dengan Pasal 195 ayat (1) HIR, kewenangan eksekusi hanya ada pada pengadilan tingkat pertama atau Pengadilan Negeri.
Dapatkah Eksekusi Dilakukan Terhadap Aset di Luar Putusan?
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, apakah eksekusi dapat dilakukan terhadap aset milik pihak yang kalah, yang tidak disebutkan dalam putusan, maka jawabannya adalah tidak bisa.
Hal ini disebabkan dalam putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde) berlaku asas res judicata pro veritate habetur. Asas ini bermakna bahwa setiap putusan pengadilan dianggap benar dan harus dihormati.
Menurut Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej dalam bukunya Dasar-Dasar Ilmu Hukum (hlm. 169), asas res judicata pro veritate habetur berkaitan dengan tiga postulat lainnya yakni:
judicia sunt tanquam juris dicta, et pro veritate accipiuntur (putusan merupakan penerapan hukum dan diterima sebagai suatu kebenaran);
judiciis posterioribus fides est adhibenda (putusan akhir patutnya dipercaya); dan
judicium semper pro veritate accipitur (putusan selalu diterima sebagai suatu kebenaran).
Selain itu, menurut Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso dalam buku Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia, hakikatnya eksekusi atau pelaksanaan putusan hakim mengandung arti realisasi dari kewajiban pihak yang bersangkutan yakni pihak yang kalah beperkara, untuk memenuhi prestasi yang tercantum dalam putusan (hal. 260).
Berdasarkan pendapat M. Yahya Harahap yang dikutip dalam artikel Syarat Agar Eksekusi Putusan Dapat Dijalankan kepada Pihak Ketiga yang Menguasai Barang Terperkara, eksekusi pada dasarnya merujuk pada amar atau diktum putusan pengadilan. Eksekusi yang akan dijalankan pengadilan tidak boleh menyimpang dari amar putusan. Asas ini merupakan patokan yang wajib ditaati, agar eksekusi yang dijalankan tidak melampaui batas kewenangan.
Dengan demikian, tidak dibenarkan melakukan eksekusi aset milik pihak yang kalah yang tidak disebutkan atau berada di luar amar putusan. Hal ini merujuk pada arti eksekusi yakni menjalankan putusan pengadilan dan mengacu pada larangan eksekusi yakni tidak boleh menyimpangi amar putusan.
Sri Wardah dan Bambang Sutiyoso. Hukum Acara Perdata dan Perkembangannya di Indonesia. Yogyakarta: Gama Media, 2007;
Yahya Harahap. Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata. Edisi Kedua. Cetakan kelima. Jakarta: Sinar Grafika, 2010;
Zainal Arifin Mochtar dan Eddy O.S. Hiariej. Dasar-Dasar Ilmu Hukum: Memahami Kaidah, Teori, Asas, dan Filsafat Hukum. Jakarta: Red and White Publishing, 2021;