Belum lama ini hangat dibicarakan dokter yang mengunggah konten di media sosial dan membuat gaduh dunia maya. Yang ingin saya tanyakan, adakah aturan mengenai kode etik seorang dokter dalam membuat konten di media sosial?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Di era digitalisasi saat ini, setiap pengguna media sosial dituntut untuk bijak dan memperhatikan etika dalam membuat konten, termasuk kalangan profesi dokter. Ketentuan mengenai etika dokter dalam bermedia sosial terdapat dalam fatwa etik dokter yang dimuat dalam SK MKEK 29/2021. Bagaimana bunyi ketentuannya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Ketentuan Hukum dalam Menggunakan Media Sosial
Di era digitalisasi, setiap pengguna media sosial (“medsos”) harus bijak dan beretika dalam menggunakan dan membuat konten di media sosial.
Dalam pertanyaan Anda, tidak disebutkan secara jelas jenis konten yang dibuat oleh dokter di media sosial hingga membuat gaduh. Namun demikian, secara umum, setiap orang yang membuat konten di media sosial perlu memperhatikan batasan-batasan baik yang ditetapkan oleh norma yang hidup di masyarakat maupun norma hukum.
Ketentuan hukum yang mengatur mengenai konten media sosial dapat ditemukan di dalam Pasal 27, Pasal 28 dan Pasal 29 UU ITE. Pasal 27 UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan, mentransmisikan, dan/atau membuat dapat diaksesnya konten (informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik) yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, perjudian, penghinaan dan/atau pencemaran nama baik, dan pemerasan dan/atau pengancaman.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Sementara, dalam Pasal 28 UU ITE melarang setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang merugikan konsumen dalam transaksi elektronik dan menyebarkan informasi yang bertujuan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan SARA.
Pasal 29 UU ITE melarangsetiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mengirimkan konten (informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik) yang berisi ancaman kekerasan atau menakut-nakuti yang ditujukan secara pribadi.
Apabila dokter yang Anda maksud membuat konten di media sosial yang memenuhi unsur Pasal 27, Pasal 28, ataupun Pasal 29 UU ITE, maka ia dapat dijerat dengan pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 45, Pasal 45A, dan Pasal 45B UU 19/2016.
Etika Dokter dalam Membuat Konten Media Sosial
Sementara, dalam menjalankan profesinya, seorang dokter hendaknya mematuhi kode etik dokter maupun fatwa etik baik di lingkungan kerja maupun ketika membuat konten medsos. Hal ini sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 angka 11 UU Praktik Kedokteran yang menyatakan profesi kedokteran atau kedokteran gigi adalah suatu pekerjaan kedokteran atau kedokteran gigi yang dilaksanakan berdasarkan suatu keilmuan, kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan yang berjenjang, dan kode etik yang bersifat melayani masyarakat.
Menjawab pertanyaan Anda, mengenai etika dokter dalam membuat konten di medsos, diatur dalam fatwa etik yang dimuat dalam SK MKEK 29/2021 sebagai berikut.
Dokter harus sepenuhnya menyadari sisi positif dan negatif aktivitas media sosial dalam keseluruhan upaya kesehatan dan harus menaati peraturan perundangan yang berlaku.
Dokter selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada aktivitasnya di media sosial.
Penggunaan media sosial sebagai upaya kesehatan promotif dan preventif bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku.
Penggunaan media sosial untuk memberantas hoax atau informasi keliru terkait kesehatan/kedokteran merupakan tindakan mulia selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku. Dalam upaya tersebut, dokter harus menyadari potensi berdebat dengan masyarakat. Dalam berdebat di media sosial, dokter perlu mengendalikan diri, tidak membalas dengan keburukan, serta menjaga marwah luhur profesi kedokteran. Apabila terdapat pernyataan yang merendahkan sosok dokter, tenaga kesehatan, maupun profesi/organisasi profesi dokter/kesehatan, dokter harus melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur yang disediakan dan langkah lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Pada penggunaan media sosial, dokter harus menjaga diri dari promosi diri berlebihan dan praktiknya serta mengiklankan suatu produk dan jasa.
Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan dokter lainnya, dokter harus menggunakan jenis dan fitur media sosial khusus yang terenkripsi end-to-end dan tingkat keamanan baik, dan memakai jalur pribadi kepada dokter yang dikonsultasikan tersebut atau pada grup khusus yang hanya berisikan dokter.
Pada penggunaan media sosial termasuk dalam hal memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang dimuat tidak boleh membuka secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan penunjang pasien untuk tujuan pendidikan, hanya boleh dilakukan atas persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin 6.
Pada penggunaan media sosial dengan tujuan memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, maka dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran.
Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan yang terbatas pada dokter dan/atau tenaga kesehatan, hendaknya menggunakan akun terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.
Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan peraturan perundangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik.
Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebaiknya dokter menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke publik menggunakan akun media sosial dokter sebagai tindakan memuji diri secara berlebihan.
Pada kondisi di mana dokter memandang aktivitas media sosial sejawatnya terdapat kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi. Apabila dokter tersebut tidak bersedia diingatkan dan memperbaiki perilaku aktivitasnya di media sosial, maka dokter dapat melaporkan kepada MKEK.
Jika Terjadi Pelanggaran Etika Dokter
Apabila terjadi pelanggaran ketentuan fatwa etik dokter dalam membuat konten di medsos sebagaimana disebutkan di atas, maka berdasarkan SK MKEK 29/2021 menyatakan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (“MKEK”) berwenang melakukan klarifikasi terhadap suatu informasi dugaan pelanggaran etik, pembinaan, dan atau proses kemahkamahan pada dokter yang tidak sesuai dengan isi fatwa.
MKEK Pusat melakukan pengumpulan semua data dan informasi tentang pengaduan etika, konflik etik dan atau sengketa medik yang diperoleh dan diselesaikan oleh segenap lembaga di jajaran dan perangkat IDI yang setingkat dan data dari MKEK Wilayah, dan Dewan Etik PDSp. Sedangkan MKEK Wilayah dari segenap lembaga di jajaran dan perangkat IDI yang setingkat dan data dari MKEK Cabang.
MKEK juga melakukan kewenangan lain dalam pembinaan etika kedokteran yang ditetapkan kemudian oleh PB IDI bersama dengan MKEK pusat.[1]
Dalam konteks dokter yang membuat konten di medsos, jika ada dugaan pelanggaran etik, maka MKEK akan menerima pengaduan, kemudian melakukan penelaahan, persidangan, hingga putusan.[2] Putusan MKEK menetapkan bersalah atau tidak bersalah dokter teradu dengan menyatakan melanggar atau tidak melanggar butir sumpah dokter dan pasal-pasal kode etik kedokteran Indonesia beserta pasal cakupannya, atau fatwa etik kedokteran.[3]
Putusan bersalah akan diikuti dengan pemberian sanksi dan pembinaan etik.[4] Adapun jenis sanksi yang dapat diberikan MKEK terhadap pelanggaran etik yang dilakukan oleh dokter, menurut Pasal 29 angka 1 Pedoman MKEK 2018 terbagi dalam empat kategori, yaitu:
Kategori 1, bersifat murni pembinaan;
Kategori 2, bersifat penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan;
Kategori 3, bersifat penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara;
Kategori 4, bersifat pemberhentian keanggotaan tetap.