Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua

Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua
Diana Kusumasari, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukum Bagi Menantu yang Tinggal di Rumah Mertua

PERTANYAAN

Bung pokrol, saya mohon bantuan, untuk sahabat saya yang sedang bingung. Sahabat saya sudah 15 tahun berkeluarga, tinggal bersama mertua di Pondok Mertua Indah. Setelah selama 15 tahun menghuni rumah mertua, tentu rumah telah direnovasi dan diperindah sesuai kebutuhan dan pertumbuhan ekonomi sahabat saya yang adalah seorang dosen teknik di sebuah perguruan tinggi swasta. Sekarang keluarga istrinya menghendaki sahabat saya bersama keluarganya untuk keluar dari rumah tersebut. Mereka semua dari keluarga Batak. Istri sahabat saya itu sampai hampir tiap hari bertengkar dengan ibunya. Sahabat saya ingin tahu, bagaimana dengan biaya membangun rumah yang sudah dia keluarkan selama ini dengan biaya maintenance selama 15 tahun rumah mertuanya. Adakah bekal untuk dia mendapatkan rumah pengganti? Upaya kekeluargaan serasa sudah gagal ditempuh. Terima kasih bung pokrol atas kesempatan yang diberikan pada saya.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Menurut hukum Indonesia, suami istri diharuskan untuk mempunyai tempat kediaman yang tetap yang ditentukan oleh suami istri bersama (lihat Pasal 32 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo Pasal 78 Kompilasi Hukum Islam). Terutama bagi masyarakat yang beragama Islam, berlaku Kompilasi Hukum Islam yang menentukan bahwa suami wajib menyediakan tempat kediaman bagi istri di mana tempat kediaman ini adalah tempat tinggal yang layak untuk melindungi istri dan anak-anaknya dari gangguan pihak lain, sehingga mereka merasa aman dan tentram. Diwajibkan pula bagi suami untuk melengkapi tempat kediaman sesuai dengan kemampuannya serta disesuaikan dengan keadaan lingkungan tempat tinggalnya, baik berupa alat perlengkapan rumah tangga maupun sarana penunjang lainnya (lihat Pasal 81 KHI).

     

    Idealnya, pasangan suami istri setelah menikah meninggalkan rumah orang tua untuk membangun rumah tangganya sendiri. Akan tetapi, dalam praktiknya, banyak alasan maupun kendala yang kemudian mengharuskan pasangan tersebut untuk tetap tinggal di rumah orang tua atau di rumah mertua (yang Anda sebut sebagai “Pondok Mertua Indah”). Seperti halnya yang dialami oleh sahabat Anda yang kebetulan menumpang di rumah mertuanya (orang tua istri).

    KLINIK TERKAIT

    Bisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang?

    Bisakah Minta Pengampuan atas Orang yang Sering Utang?

     

    Sebenarnya, selain hukum negara, di Indonesia masih berlaku juga hukum adat, termasuk adat Batak. Pada dasarnya, perkawinan menurut hukum adat Batak adalah “harga mempelai perempuan”. Perempuan dilepaskan dari kelompoknya, tidak sekedar dari lingkungan tempat dia dilahirkan, dengan pembayaran sejumlah uang yang disetujui bersama, atau dengan penyerahan benda berharga. Dengan cara ini perempuan dikeluarkan dari kekuasaan kerabat lelakinya yang terdekat (misal: ayahnya). Sehingga perempuan yang dinikahi akan keluar dari rumah orang tuanya untuk tinggal di rumah suaminya. Namun, memang tidak menutup kemungkinan, pihak suami yang pada akhirnya setelah menikah menumpang di rumah mertua yakni orang tua istri.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Menurut hukum adat Batak menumpang pada mertua ini disebut Marsonduk Hela. J.C. Vergouwen dalam bukunya “Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba” (hal. 283) menjelaskan bahwa dalam bentuk perkawinan yang menumpang pada mertua ini, seorang menantu tinggal di rumah mertuanya dan menantu ini disonduk (diberi makan). Bentuk perkawinan seperti ini boleh dikatakan jarang terjadi. Apa yang menjadi penyebab terkadang adalah bapak si pemuda itu miskin dan tidak memiliki cukup syarat untuk melaksanakan pembayaran perkawinan yang lazim.

     

    Selain itu Vergouwen juga menyebutkan bahwa ada kalanya menantu seperti itu (menumpang pada mertua) hanya dikehendaki jika keluarga memerlukan tenaga bantuan, misalnya karena banyak anak kecil yang masih terlalu muda untuk bisa menyumbang dalam pekerjaan. Namun, lebih jauh Vergouwen mengatakan, motif dari hubungan menumpang seperti ini tidak selalu karena salah satu pihak tergolong orang tidak punya, juga bukan karena tidak memerlukan tenaga orang lain, tetapi mungkin karena kasih sayang seorang ayah yang terlalu dalam kepada puteri satu-satunya dan tidak ingin berpisah darinya; dalam kasus seperti ini si pemuda pada umumnya berharap akan mendapatkan harta bawaan yang lumayan. Oleh karena itu, keadaan hidup menumpang tidak akan berjalan lama karena ia akan selalu diremehkan orang.

     

    Terkait dengan sahabat Anda bersama keluarganya yang dikehendaki oleh mertuanya untuk keluar dari rumah mertua namun sahabat Anda berkeinginan untuk memperoleh kembali biaya pembangunan maupun biaya renovasi rumah mertua yang telah dikeluarkannya, menurut hemat kami, upaya yang dapat dilakukan memang melalui upaya-upaya kekeluargaan.

     

    Apabila pihak suami (menantu) ingin mendapatkan sesuatu sebagai bentuk modal atau bekal untuk mendapatkan rumah pengganti, hendaknya hal tersebut kembali dikomunikasikan secara baik-baik. Mengingat, sahabat Anda juga telah menumpang selama 15 (lima belas) tahun di rumah mertua dan mungkin sudah saatnya untuk sahabat Anda dan keluarganya untuk hidup mandiri terlepas dari mertua. Dari ranah hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang mewajibkan mertua untuk mengembalikan biaya pembangunan rumah tersebut.

     

    Di sisi lain, jika memang keadaan memungkinkan, sahabat Anda dapat meminjam modal dari orang tuanya sendiri atau mertuanya dengan mekanisme pengembalian yang lunak sebelum sahabat Anda benar-benar mandiri. Walaupun memang, perlu digarisbawahi bahwa pinjaman ini akan memiliki akibat hukum di kemudian hari jika tidak dilunasi.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

    2.      Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No.1 Tahun 1991)

     

    Setiap artikel jawaban Klinik Hukum dapat Anda simak juga melalui twitter @klinikhukum, atau facebook Klinik Hukumonline 

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!