Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H. yang pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 9 Oktober 2018 dan dimutakhirkan pertama kali pada Rabu, 4 November 2020.
Perlu diketahui bahwa sebelum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”) diundangkan, penyelesaian pemutusan hubungan kerja (“PHK”), penetapan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja serta ganti rugi diatur dalam Keputusan Menteri Tenaga Kerja Nomor KEP-150/MEN/2000 Tahun 2000 tentang Penyelesaian Pemutusan Hubungan Kerja dan Penetapan Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Ganti Kerugian di Perusahaan berikut aturan perubahannya, namun akhirnya dibatalkan karena hal yang sama diatur secara berbeda oleh UU Ketenagakerjaan. Jadi, kami luruskan bahwa yang menjadi acuan adalah UU Ketenagakerjaan.[1]
klinik Terkait:
Namun, beberapa ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”).
Hak Pekerja yang Terkena PHK
Pada prinsipnya, jika terjadi PHK, pengusaha wajib membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja (“UPMK”) dan uang penggantian hak (“UPH”) yang seharusnya diterima.[2]
Secara umum, besaran uang pesangon yang diberikan sebagai berikut:[3]
berita Terkait:
- masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 bulan upah;
- masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun, 2 bulan upah;
- masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun, 3 bulan upah;
- masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, 4 bulan upah;
- masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, 5 bulan upah;
- masa kerja 5 tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 tahun, 6 bulan upah;
- masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, 7 bulan upah;
- masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, 8 bulan upah;
- masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 bulan upah.
Kemudian besaran UPMK yang diberikan sebagai berikut:[4]
- masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, 2 bulan upah;
- masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, 3 bulan upah;
- masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, 4 bulan upah;
- masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, 5 bulan upah;
- masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, 6 bulan upah;
- masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 tahun, 7 bulan upah;
- masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, 8 bulan upah;
- masa kerja 24 tahun atau lebih, 10 bulan upah.
Sedangkan ketentuan UPH yang seharusnya diterima meliputi:[5]
- cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
- biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat pekerja diterima bekerja;
- hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Namun, patut diperhatikan bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”) membedakan hak-hak pekerja yang di-PHK berdasarkan alasannya, di antaranya:
1. Pekerja berhak atas uang pesangon 1 kali ketentuan uang pesangon, UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila di-PHK dengan alasan:
- Perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan perusahaan dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja atau pengusaha tidak bersedia menerima pekerja.[6]
- Pengambilalihan perusahaan[7]
- Perusahaan melakukan efisiensi untuk mencegah kerugian.[8]
- Perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian.[9]
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang bukan karena mengalami kerugian.[10]
- adanya permohonan PHK yang diajukan oleh pekerja dengan alasan Pengusaha melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g PP 35/2021.[11]
2. Pekerja berhak atas uang pesangon 0,5 kali ketentuan uang pesangon, UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila di-PHK dengan alasan:
- Pengambilalihan perusahaan yang mengakibatkan terjadinya perubahan syarat kerja dan pekerja tidak bersedia melanjutkan hubungan kerja.[12]
- Perusahaan melakukan efisiensi yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.[13]
- Perusahaan tutup akibat mengalami kerugian secara terus menerus selama 2 tahun atau tidak secara terus menerus selama 2 tahun.[14]
- Perusahaan tutup disebabkan keadaan memaksa (“force majeure”).[15]
- Perusahaan dalam keadaan penundaan kewajiban pembayaran utang yang disebabkan perusahaan mengalami kerugian.[16]
- Perusahaan pailit.[17]
- Pekerja melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan ("PP"), atau Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”) dan sebelumnya telah diberikan surat peringatan pertama, kedua, dan ketiga secara berturut-turut.[18]
3. Pekerja berhak atas uang pesangon 0,75 kali ketentuan uang pesangon, UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila perusahaan mengalami keadaan memaksa (“force majeure”) yang tidak menyebabkan perusahaan tutup.[19]
4. Pekerja berhak atas uang pesangon 1,75 kali ketentuan uang pesangon, UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila memasuki usia pensiun.[20]
5. Pekerja berhak atas uang pesangon 2 kali ketentuan uang pesangon, UPMK 1 kali ketentuan UPMK, dan UPH, apabila:
- Pekerja meninggal dunia.[21]
- Pekerja sakit berkepanjangan atau cacat akibat kecelakaan kerja dan tidak dapat melakukan pekerjaannya setelah melampaui batas 12 bulan.[22]
6. Pekerja berhak atas UPH dan uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB apabila di-PHK dengan alasan:
- Adanya putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang menyatakan pengusaha tidak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 huruf g PP 35/51 terhadap permohonan yang diajukan oleh pekerja.[23]
- Mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan memenuhi syarat.[24]
- Pekerja mangkir selama 5 hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis yang dilengkapi dengan bukti yang sah dan telah dipanggil oleh Pengusaha 2 kali secara patut dan tertulis.[25]
- Pekerja melakukan pelanggaran bersifat mendesak yang diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB.[26]
- Pekerja tidak dapat melakukan pekerjaan selama 6 bulan akibat ditahan pihak yang berwajib karena diduga melakukan tindak pidana.[27]
- Pekerja dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan putusan pengadilan.[28]
Hak Pekerja yang Mengundurkan Diri
Pekerja mengundurkan diri atas kemauan sendiri harus memenuhi syarat:[29]
- mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri;
- tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
- tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, pekerja yang mengalami PHK akibat mengundurkan diri atas kemauan sendiri berhak atas uang pisah dan UPH yang seharusnya diterima.
Sehingga, pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri setelah bekerja selama 3 tahun berhak mendapatkan:
- uang pisah yang besarannya diatur dalam perjanjian kerja, PP, atau PKB di perusahaan tempat ia bekerja; dan
- UPH yang diatur menurut Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan.
Patut diperhatikan, pengusaha yang mengikutsertakan pekerja dalam program pensiun sesuai ketentuan di bidang dana pensiun, iuran yang dibayar oleh pengusaha dapat diperhitungkan sebagai bagian dari pemenuhan kewajiban Pengusaha atas uang pesangon dan UPH serta uang pisah.[30]
Jika perhitungan manfaat dari program pensiun tersebut lebih kecil daripada uang pesangon, UPMK, serta uang pisah, maka selisihnya dibayar oleh pengusaha.[31]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
[1] Pasal 191 UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 81 angka 44 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 156 UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 41 PP 35/2021
[7] Pasal 42 ayat (1) PP 35/2021
[8] Pasal 43 ayat (2) PP 35/2021
[9] Pasal 44 ayat (2) PP 35/2021
[10] Pasal 46 ayat (2) PP 35/2021
[11] Pasal 48 PP 35/2021
[12] Pasal 42 ayat (2) PP 35/2021
[13] Pasal 43 ayat (1) PP 35/2021
[14] Pasal 44 ayat (1) PP 35/2021
[15] Pasal 45 ayat (1) PP 35/2021
[16] Pasal 46 ayat (1) PP 35/2021
[17] Pasal 47 PP 35/2021
[18] Pasal 52 ayat (1) PP 35/2021
[19] Pasal 45 ayat (2) PP 35/2021
[20] Pasal 56 PP 35/2021
[21] Pasal 57 PP 35/2021
[22] Pasal 55 PP 35/2021
[23] Pasal 49 PP 35/2021
[24] Pasal 50 PP 35/2021
[25] Pasal 51 PP 35/2021
[26] Pasal 52 ayat (2) PP 35/2021
[27] Pasal 54 ayat (1) PP 35/2021
[28] Pasal 54 ayat (4) PP 35/2021
[29] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A UU Ketenagakerjaan
[30] Pasal 58 ayat (1) PP 35/2021
[31] Pasal 58 ayat (2) PP 35/2021