Untuk pembagian warisan, menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”), pada prinsipnya semua ahli waris berhak atas warisan untuk bagian yang sama besarnya, tanpa membedakan jenis kelamin (laki-laki atau perempuan), maupun kewarganegaraan dari ahli waris. Dasar hukumnya:
“…….dengan tiada perbedaan antara laki atau perempuan dan tiada perbedaan berdasarkan kelahiran lebih dulu.”
“Mereka mewarisi bagian-bagian yang sama besarnya kepala demi kepala…”
Menurut KUHPerdata, prinsip dari pewarisan adalah:
1. Harta Waris baru terbuka (dapat diwariskan kepada pihak lain) apabila terjadinya suatu kematian (Pasal 830)
2. Adanya hubungan darah di antara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau isteri dari pewaris (Pasal 832), dengan ketentuan mereka masih terikat dalam perkawinan ketika pewaris meninggal dunia.
Dengan demikian, jika menurut KUHPerdata, maka bagian dari masing-masing anak (dengan catatan sudah tidak ada ibu atau isteri dari Pewaris), besarnya adalah sama, yaitu: 1/3 bagian yang sama besarnya jika tidak ada wasiat.
Satu hal yang perlu ditekankan di sini, bahwa larangan pemilikan tanah oleh warga negara asing (“WNA”) bukan menyebabkan hak waris dari si WNA tersebut gugur. Biasanya solusinya adalah ahli waris yang WNA tersebut memperoleh ganti dalam bentuk uang tunai atau hasil penjualan atas tanah dan bangunan dimaksud (jika dijual).
Bagian 1/3 tersebut dengan catatan tidak ada wasiat. Dengan asumsi ada wasiat, dan wasiat tersebut memang benar, maka ahli waris yang tidak mendapat warisan tersebut termasuk sebagai ahli waris yang dikesampingkan (onterfd). Namun demikian, ahli waris yang sudah dikesampingkan tersebut tetap berhak untuk menuntut hak mutlak yang harusnya diperoleh menurut undang-undang (legitieme portie-nya).
Menurut Pasal 913 KUHPerdata yang dimaksud dengan legitime portie (“LP”) adalah sesuatu bagian dari harta peninggalan yang harus diberikan kepada waris, garis lurus menurut ketentuan undang-undang, terhadap mana si yang meninggal tak diperbolehkan menetapkan sesuatu, baik selaku pemberian antara yang masih hidup, maupun selaku wasiat. Jadi, pewaris boleh saja membuat suatu wasiat atau memberikan hibah kepada seseorang, namun demikian pemberian tersebut tidak bolehmelanggar hak mutlak (yang harus dimiliki) dari ahli waris berdasarkan Undang-Undang tersebut. Dalam kasus Anda, LP anda sebagai ahli waris menurut Undang-Undang adalah sebesar ¾ x 1/3 bagian. Namun LP tersebut harus dituntut, baru dapat diberikan.
Jika ternyata wasiatnya dipalsukan, harus dibuktikan dulu secara hukum. Kalau sudah dapat dibuktikan secara hukum, bahwa mereka memang terbukti telah memalsukan wasiat dari pewaris, maka berdasarkan pasal 838 KUHPerdata, mereka dipecat sebagai ahli waris (on wardig). Orang yang onwardig tidak berhak mendapat warisan dari pewaris.
Catatan: Jawaban pertanyaan tersebut ada pula penjelasannya di buku Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam Memahami HUKUM WARIS – karya: Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. (Kaifa, Desember 2012).