Harta Gono-Gini Setelah Bercerai
Keluarga

Harta Gono-Gini Setelah Bercerai

Bacaan 3 Menit

Pertanyaan

Apakah definisi harta gono gini dan apakah mencakup seluruh harta yang dimiliki setelah perkawinan atau tertentu menurut hukum?

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Gana-gini atau yang kerap dikenal dengan sebutan harta gono-gini adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri, atau istilah hukumnya dikenal dengan harta bersama.

Harta gono-gini atau harta bersama tidak selalu mencakup seluruh harta yang dimiliki selama perkawinan, tetapi hanya terbatas harta yang diperoleh atas usaha/pencaharian suami atau istri selama perkawinan. Harta bersama tidak mencakup hadiah atau warisan yang diperoleh suami atau istri, oleh karena itu, hadiah atau warisan merupakan harta milik masing-masing suami atau istri.

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 

Apakah itu Harta Gono-Gini?

Gana-gini atau yang kerap dikenal dengan sebutan harta gono-gini adalah harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga sehingga menjadi hak berdua suami dan istri, demikian menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia.

Istilah ‘harta gono-gini’ ini tidak dikenal dalam hukum. Namun, jika merujuk pada definisi di atas, harta yang berhasil dikumpulkan selama berumah tangga dikenal dalam hukum dengan istilah harta bersama, sebagaimana diatur dalam Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan:

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama.

Dalam praktiknya, harta gono gini dibahas dalam hal terjadi perceraian. Merujuk pada Penjelasan Pasal 35 UU Perkawinan, mengatur apabila perkawinan putus, maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing ialah hukum agama, hukum adat dan hukum-hukum lainnya.[1]

 

Harta Gono-Gini Setelah Bercerai

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, apakah harta gono-gini mencakup seluruh harta yang dimiliki setelah perkawinan?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu diketahui terlebih dahulu ragam harta yang dikenal dalam perkawinan menurut UU Perkawinan:

  1. Harta bersama: harta yang diperoleh selama perkawinan, yang dikenal pula dengan istilah harta gono-gini;
  2. Harta bawaan masing-masing suami istri: meliputi harta yang diperoleh sebelum menikah atau dalam pernikahan yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, contohnya, hadiah atau warisan.

Sedangkan mengenai harta gono-gini dalam Islam, dilihat dari asal-usulnya, Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 83), membedakan harta suami-istri menjadi:

  1. Harta bawaan, yaitu harta suami istri yang telah dimiliki sebelum kawin, baik berasal dari warisan, hibah, atau usaha mereka sendiri-sendiri.
  2. Harta masing-masing suami istri yang dimiliki setelah perkawinan, yaitu yang diperoleh dari hibah, wasiat, atau warisan untuk masing-masing, bukan atas usaha mereka.
  3. Harta pencaharian, yakni harta yang diperoleh sesudah mereka berada dalam hubungan perkawinan atas usaha mereka berdua atau usaha salah seorang dari mereka.

Jika merujuk dari penjelasan tersebut di atas, yang termasuk ke dalam harta bersama adalah harta yang diperoleh selama perkawinan, tetapi tidak termasuk harta yang diperoleh masing-masing sebagai harta pribadi, seperti misalnya hadiah dan warisan.

Sehingga, dalam hal suami atau istri memperoleh hadiah dan warisan selama perkawinan berlangsung, maka itu bukan termasuk harta bersama, melainkan harta pribadi masing-masing suami atau istri.

Jadi, harta gono-gini atau harta bersama tidak selalu mencakup seluruh harta yang dimiliki selama perkawinan, melainkan hanya terbatas pada harta yang diperoleh atas usaha/pencaharian suami atau istri selama perkawinan, tidak termasuk hadiah atau warisan yang diperoleh masing-masing.

Namun demikian, perlu diperhatikan bahwa ketentuan harta gono-gini ini tidak berlaku dalam hal suami dan istri telah memperjanjikan pisah harta dalam sebuah perjanjian perkawinan.

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

 

Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

 

Dasar Hukum:

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

 

Referensi:

  1. Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 2014;
  2. Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 21 Januari 2022, pukul 15.45 WIB.

[1] Penjelasan Pasal 37 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

Tags: