Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ā
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Perceraian Agama Katolik yang dibuat oleh Dinna Sabriani dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 4 Januari 2010. Ā
Hakikat Perkawinan
Perkawinan pada prinsipnya ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
[1]Ā
Lebih lanjut untuk mewujudkan tujuan perkawinan membentuk
keluarga yang bahagia dan kekal, suami istri perlu saling membantu dan melengkapi satu sama lain, agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya membantu dan mencapai kesejahteraan spirituil dan materiil.
[2]Ā
Selain itu perlu dipahami, UU Perkawinan dan perubahannya menganut prinsip mempersukar terjadinya perceraian, yang mana harus ada alasan-alasan tertentu serta harus dilakukan di depan sidang pengadilan untuk melakukan perceraian.
[3]Ā
Perkawinan Katolik
Mengutip dari
Hukum Gereja Mengenai Pernikahan Katolik dalam laman
Keuskupan Agung Jakarta, disebutkan bahwa arti perkawian katolik adalah perjanjian (
foedus) antara seorang laki-laki dan seorang perempuan untuk membentuk kebersamaan hidup.
Ā
Masih dari laman yang sama, perkawinan mempunyai 3 tujuan yaitu kesejahteraan suami-istri, kelahiran anak, dan pendidikan anak. Perkawinan Katolik itu pada dasarnya berciri satu untuk selamanya dan tak terceraikan, bersifat monogam dan indissolubile.
Ā
Monogam berarti satu laki-laki dengan satu perempuan, sedangkan indissolubile artinya setelah terjadi perkawinan antara orang-orang yang dibaptis (ratum) secara sah dan disempurnakan dengan persetubuhan, maka perkawinan menjadi tak terceraikan, kecuali oleh kematian.
Ā
Perkawinan adalah perjanjian kasih antara suami-istri;
Perkawinan adalah kesepakatan untuk senasib sepenanggungan dalam semua aspek hidup;
Perkawinan bertujuan untuk kesejahteraan suami-istri;
Perkawinan terarah pada kelahiran dan pendidikan anak;
Perkawinan sah antara dua orang yang sudah dibaptis adalah sakramen.
Ā
Perceraian Menurut Agama Katolik
Menjawab pertanyaan Anda, seperti yang sudah diterangkan dalam
Perkawinan Katolik Tak Terceraikan, Begini Penjelasannya,
Romo Giovanni Mahendra Christi, MSF menegaskan bahwa dalam
Kitab Hukum Kanonik yang mengikat bagi umat Katolik, tidak dikenal adanya perceraian.
Sebab, dalamĀ Injil Matius 19:6 TBĀ ditegaskan:Ā
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu,Ā apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Ā
Ā
Kan. 1055 - § 1. Perjanjian (foedus) perkawinan, dengannya seorang laki-laki dan seorang perempuan membentuk antara mereka persekutuan (consortium) seluruh hidup, yang menurut ciri kodratinya terarah pada kesejahteraan suami-istri (bonum coniugum) serta kelahiran dan pendidikan anak, antara orang-orang yang dibaptis, oleh Kristus Tuhan diangkat ke martabat sakramen.
Ā
Kan. 1141Ā -Ā Perkawinan ratum dan consummatumĀ tidak dapat diputus oleh kuasa manusiawi manapun dan atas alasan apapun, selain oleh kematian.
Ā
Senada dengan hal di atas, Romo Andrianus Sulistyono, MSF menerangkan apabila terjadi perselisihan antara suami istri, sebaiknya bisa langsung berkonsultasi dalam hal ini diarahkan kepada, pertama Romo yang memberkati perkawinan, kedua Romo Paroki yang dekat dengan wilayah tempat tinggal, atau bisa juga diarahkan kepada Romo pendamping keluarga di masing-masing wilayah.
Ā
Romo Andrianus menambahkan, jika dilihat dari dasar teologis, perkawinana Katolik itu persekutuan atau ikatan seorang pria dan seorang wanita yang melambangkan ikatan Tuhan Yesus dengan umat dan gereja-Nya, di mana Ia tidak pernah berhenti mengasihi.
Sehingga perlu digarisbawahi, berdasarkan Kitab Hukum Kanonik, perkawinan Katolik tidak mengenal adanya perceraian, sebab apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia.
Ā
Perceraian Menurut Hukum Positif
Namun, jika merujuk pada hukum positif di Indonesia, menurut UU Perkawinan dan perubahannya, perkawinan dapat putus salah satunya karena perceraian, yang hanya bisa dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
[4]Ā
Ā
Sementara mengenai hak asuh anak, pasca perceraian menurut hukum sipil, baik ibu atau bapak tetap wajib memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata untuk kepentingan anak dan jika ada perselisihan penguasaan anak, pengadilan yang akan memberi keputusannya.
[5]Ā
Akan tetapi perlu dipahami, meskipun terjadi perceraian secara hukum sipil, ikatan perkawinan tersebut masihlah dipandang sah dalam hukum kanonik gereja Katolik.
Ā
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata ā mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.Ā
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Ā
Dasar Hukum:
Ā
Referensi:
Ā
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Romo Andrianus Sulistyono, MSF via telepon pada Rabu, 14 April 2021, pukul 15.45 WIB.
Ā
[2] Penjelasan Umum UU Perkawinan
[3] Penjelasan Umum UU Perkawinan
[4] Pasal 38 dan 39 ayat (1) UU Perkawinan
[5] Pasal 41 huruf a UU Perkawinan