Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran kedua dari artikel dengan judul Jabatan Dinaikkan Tapi Gaji Tetap yang dibuat oleh Tri Jata Ayu Pramesti, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 12 Maret 2015, kemudian dimutakhirkan pertama kali pada Kamis, 31 Agustus 2017.
Dasar Hubungan Kerja
klinik Terkait:
Pada dasarnya, hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha merupakan domain dari masing-masing pihak yang dituangkan dalam perjanjian kerja (“PK”), peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama. Hal ini sesuai dengan pengertian dari hubungan kerja dalam Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”):
Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja/buruh berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah, dan perintah.
PK sendiri dibuat atas dasar kesepakatan antara pengusaha dan pekerja,[1] dan tidak dapat diubah kecuali atas persetujuan kedua belah pihak.[2]
Dengan demikian, apabila seorang karyawan dipaksa menduduki jabatan yang tidak setujuinya dalam PK, atau dipaksa melakukan pekerjaan di luar dari yang telah disepakati dalam PK, maka pada dasarnya pemaksaan tersebut tidak berdasar dan menurut hemat kami pekerja yang bersangkutan tidak wajib melaksanakannya karena memang tidak disepakati dalam PK.
Di sisi lain, akibat paksaan itu maka kenaikan jabatan yang tertuang dalam PK menjadi dapat dibatalkan sesuai prinsip hukum perjanjian dalam Pasal 1323 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata:
Paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu.
berita Terkait:
Namun perlu digarisbawahi, tidak adanya kesepakatan dalam PK berarti perjanjian itu dapat dibatalkan.[3] Dalam artian dikutip dari Pembatalan Perjanjian yang Batal demi Hukum, dapat dibatalkan artinya salah satu pihak dapat memintakan pembatalan itu. Perjanjiannya sendiri tetap mengikat kedua belah pihak, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi (pihak yang tidak cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas).
Jika Kenaikan Jabatan Tidak Diikuti Kenaikan Gaji
Anda mengatakan bahwa upah/gaji yang diberikan kepada pekerja yang jabatannya dipaksa dinaikkan itu “tidak sesuai”. Di sini kami asumsikan bahwa maksudnya adalah kenaikan jabatan tidak diimbangi dengan kenaikan upah/gaji.
Pada dasarnya, UU Ketenagakerjaan tidak mengatur secara tegas soal kenaikan gaji. Namun, Pasal 81 angka 30 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 92 UU Ketenagakerjaan mengamanatkan pengusaha untuk menyusun struktur dan skala upah sebagai salah satu pedoman pengupahan:
- Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.
- Struktur dan skala upah digunakan sebagai pedoman pengusaha dalam menetapkan upah.
- Ketentuan lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Lebih lanjut mengenai struktur dan skala upah tertuang dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah (“Permenaker 1/2017”).
Struktur dan Skala Upah adalah susunan tingkat upah dari yang terendah sampai dengan yang tertinggi atau dari yang tertinggi sampai dengan yang terendah yang memuat kisaran nilai nominal upah dari yang terkecil sampai dengan yang terbesar untuk setiap golongan jabatan.[4]
Struktur dan skala upah wajib disusun oleh pengusaha dengan memperhatikan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.[5] Pengusaha juga melakukan peninjauan upah secara berkala dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas.[6]
Penyusunan struktur dan skala upah dapat menggunakan tahapan:[7]
- analisa jabatan;
- evaluasi jabatan; dan
- penentuan struktur dan skala upah.
Penentuan struktur dan skala upah dilakukan oleh pengusaha berdasarkan kemampuan perusahaan dan harus memperhatikan upah minimum yang berlaku.[8]
Penjelasan lebih lanjut soal kenaikan gaji dapat Anda simak dalam Aturan Kenaikan Gaji Menurut UU Cipta Kerja.
Ini artinya, kenaikan upah didasarkan tidak hanya pada jabatan pekerja, tetapi juga dengan memperhatikan kemampuan perusahaan. Meski demikian, pada dasarnya struktur dan skala upah wajib diberitahukan kepada seluruh pekerja secara perorangan,[9] dan yang diberitahukan sekurang-kurangnya struktur dan skala upah pada golongan jabatan sesuai dengan jabatan pekerja yang bersangkutan.[10] Sehingga, apabila seseorang dinaikkan jabatannya, maka perusahaan wajib memberitahukan struktur dan skala upah dalam golongan jabatan tersebut.
Permohonan PHK dan Perselisihan Hak
Bilamana pengusaha memaksa menaikkan jabatan pekerjanya, dalam arti tanpa persetujuan pekerja, maka menurut hemat kami, hal tersebut dapat diartikan pengusaha telah memerintahkan karyawan untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan, sementara karyawan hanya bersedia bekerja sesuai dengan isi perjanjian kerja sebelumnya (saat ia tidak dipaksa naik jabatan). Konsekuensinya adalah pekerja berhak untuk mengajukan permohonan PHK.[11] Apabila PHK terjadi, dalam hal ini pekerja berhak atas 1 kali uang pesangon, 1 kali uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak.[12]
Namun bilamana karyawan tetap bertahan pada pendiriannya bekerja di jabatan yang lama, maka dapat menjadi perselisihan hak. Soal langkah hukum, pekerja dapat menempuh upaya bipartit, yaitu membicarakan secara musyawarah terlebih dahulu mengenai masalah ini antara pengusaha dan pekerja, sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”).
Perundingan ini harus dilaksanakan paling lambat 30 hari.[13] Apabila perundingan bipartit ini gagal atau pengusaha menolak berunding, maka penyelesaian kemudian ditempuh dengan mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.[14] Setelah itu, akan dilakukan upaya penyelesaian perselisihan dengan mediasi.[15]
Mediasi Hubungan Industrial adalah penyelesaian perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan PHK, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.[16]
Dalam hal penyelesaian melalui mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.[17]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 1 Tahun 2017 tentang Struktur dan Skala Upah.
[1] Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 55 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 52 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 1 angka 3 Permenaker 1/2017
[5] Pasal 2 ayat (1) Permenaker 1/2017
[6] Pasal 92 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 4 ayat (1) Permenaker 1/2017
[8] Pasal 4 ayat (4) Permenaker 1/2017
[9] Pasal 21 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)
[10] Pasal 21 ayat (3) PP Pengupahan
[11] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf g angka 5 UU Ketenagakerjaan
[12] Pasal 36 huruf g angka 5 jo. Pasal 48 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”)
[13] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI
[14] Pasal 4 ayat (1) UU PPHI
[15] Penjelasan Umum angka 6 UU PPHI
[16] Pasal 1 angka 11 UU PPHI
[17] Pasal 5 UU PPHI