Cuti tahunan merupakan hak setiap pekerja/buruh yang wajib diberikan oleh pengusaha, sebagaimana dijamin dalam Pasal 81angka 23 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 79 ayat (3) Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ( “UU Ketenagakerjaan”). Hak atas cuti tahunan tersebut diberikan dengan ketentuan sebagai berikut:
- Pekerja/buruh yang bersangkutan telah bekerja selama 12 (dua belas) bulan secara terus menerus;[1]
- Diberikan paling sedikit 12 (dua belas) hari kerja;[2]
- Pekerja tetap mendapatkah upah penuh selama menjalankan hak cuti tahunan.[3]
Sedangkan mengenai teknis pelaksanaan cuti tahunan, Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 79 ayat (4) UU Ketenagakerjaan memberikan hak kepada pengusaha dan pekerja untuk mengaturnya dalam Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan (“PP”), ataupun Perjanjian Kerja Bersama (“PKB”), yang bunyi ketentuannya adalah sebagai berikut:
Pelaksanaan cuti tahunan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Menjawab pertanyaan Anda, dalam hal pengusaha ingin mengubah ketentuan pelaksanaan cuti tahunan yang telah termuat dalam PP atau PKB, maka perubahan tersebut harus berpedoman pada ketentuan dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama (“Permenaker 28/2014”), sebagai berikut:
- Perubahan PP tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dan dalam hal perubahan menjadi lebih rendah dari PP sebelumnya maka perubahan harus disepakati oleh serikat pekerja/buruh dan/atau wakil pekerja/buruh.[4]
- Perubahan PKB harus berdasarkan kesepakatan antara serikat pekerja/serikat buruh dengan pengusaha.[5]
Berdasarkan ketentuan di atas dapat disimpulkan bahwa perubahan ketentuan pelaksanaan cuti tahunan harus dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan pekerja/buruh dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Misalnya, pengusaha tidak dibenarkan untuk mengatur hak untuk menolak pengajuan cuti tahunan pekerja yang telah memenuhi syarat untuk mengajukannya.
klinik Terkait:
Perselisihan Kepentingan
Dalam hal tidak terdapat kesepakatan antara pekerja/buruh mengenai perubahan ketentuan cuti tahunan dalam PKB maupun PP, maka antara pekerja/buruh dan pengusaha telah terjadi perselisihan kepentingan[6] dan oleh karenanya berdasarkan UU PPHI dapat ditempuh upaya penyelesaian sebagai berikut:
- Pertama, melakukan perundingan secara bipartit dengan pengusaha secara musyawarah untuk mencapai mufakat selama 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya perundingan.[7]
- Kedua, dalam hal perundingan bipartit gagal maka selanjutnya ditempuh upaya tripartit dengan cara salah satu pihak mencatatkan perselisihannya ke instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat untuk diselesaikan dengan bantuan mediator atau konsiliator;[8]atau
Atas dasar kesepakatan para pihak, dapat ditempuh upaya penyelesaian melalu arbitrase,[9] yang jika perdamaian tercapai maka arbiter akan membuat akta perdamaian[10] sedangkan apabila upaya perdamaian gagal maka aribter melanjutkan sidang arbitrase[11] dengan ketentuan perselisihan hubungan industrial yang sedang atau telah diselesaikan melalui arbitrase tidak lagi dapat diajukan ke Pengadilan Hubungan Industrial.[12]
- Ketiga, dalam hal upaya hukum tripartit (mediasi dan konsiliasi) gagal maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan perselisihan kepentingan melalui Pengadilan Hubungan Industrial.[13]
Upaya Hukum Pidana
Selain upaya penyelesaian hubungan industrial di atas, pekerja/buruh juga dapat menempuh upaya hukum pidana jika tidak diberi hak cuti tahunan, mengingat tindakan menolak memberikan cuti tahunan tersebut tergolong sebagai tindak pidana pelanggaran yang diatur dalam Pasal 81 angka 65 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan sebagai berikut:
Barang siapa melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1), Pasal 67 ayat (1), Pasal 71 ayat (2), Pasal 76, Pasal 78 ayat(2), Pasal 79 ayat (1), ayat (2), atau ayat (3), Pasal 85 ayat (3), atau Pasal 144 dikenai sanksi pidana kurungan paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 12 (dua belas) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) dan paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
berita Terkait:
Meskipun secara hukum tindakan pengusaha dapat dijerat dengan pidana, namun kami menyarankan Anda untuk menempuh upaya penyelesaian hubungan industrial terlebih dahulu mengingat pidana merupakan upaya terakhir dalam penegakan hukum (ultimum remedium).
Baca juga: Arti Ultimum Remedium
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
- Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;
- Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan;
- Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 28 Tahun 2014 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
[1] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 81 angka 23 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 79 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 40 ayat (1) dan (2) huruf c Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2021 tentang Pengupahan (“PP Pengupahan”)
[4] Pasal 12 ayat (1) Permenaker 28/2014
[5] Pasal 27 ayat (1) Permenaker 28/2014
[6] Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU PPHI”)
[7] Pasal 3 ayat (2) UU PPHI
[8] Pasal 4 ayat (3) dan (4) UU PPHI
[9] Pasal 4 ayat (6) UU PPHI
[10] Pasal 44 ayat (2) UU PPHI
[11] Pasal 44 ayat (5) UU PPHI
[12] Pasal 53 UU PPHI
[13] Pasal 5 UU PPHI