Mengapa dalam hukum pidana dikenal daluwarsa penuntutan? Jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, bagaimana hukum melindungi korban?
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Hal ini dilakukan dengan mempertimbangkan ingatan akan kejadian yang telah hilang karena sudah terjadi lama, termasuk semakin sulitnya menemukan alat bukti yang bahkan telah lenyap seiring berlalunya waktu.
Jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu.
Menjawab pokok pertanyaan Anda, daluwarsa penuntutan diatur dalam hukum pidana dengan dasar atau alasan-alasan sebagai berikut:
Dengan berlalunya waktu yang agak lama, ingatan akan kejadian yang ada telah hilang, sehingga kemungkinan pembuktiannya menjadi rumit bahkan bukti kemungkinan telah lenyap.[1]
Semakin kaburnya kebutuhan untuk terus menerus mengejar/menuntut tersangka karena telah terlalu lamanya berlalu kejadian/delik itu dan ingatan manusia terhadapnya juga semakin menipis.[2]
Semakin sukarnya menemukan alat pembuktian terhadap delik.[3]
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Adapun ketentuan mengenai daluwarsa penuntutan diatur dalam Pasal 78 s.d Pasal 80 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) sebagai berikut:
Pasal 78 KUHP
Kewenangan menuntut pidana hapus karena daluwarsa:
terhadap semua pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan dengan percetakan, sesudah satu tahun;
terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana denda, pidana kurungan, atau pidana penjara paling lama tiga tahun, sesudah enam tahun;
terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana penjara lebih dari tiga tahun, sesudah dua belas tahun;
terhadap kejahatan yang diancam dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup, sesudah delapan belas tahun.
Bagi orang yang pada saat melakukan perbuatan umurnya belum delapan belas tahun, masing-masing tenggang daluwarsa di atas dikurangi menjadi sepertiga.
Pasal 79 KUHP
Tenggang daluwarsa mulai berlaku pada hari sesudah perbuatan dilakukan, kecuali dalam hal-hal berikut:
terhadap pemalsuan atau perusakan mata uang, tenggang daluwarsa itu mulai berlaku pada hari sesudah barang yang dipalsukan atau mata uang yangdirusak digunakan;
terhadap kejahatan dalam pasal 328, 329, 330, dan 333, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah orang yang langsung terkena oleh kejahatan dibebaskan atau meninggal dunia;
terhadap pelanggaran dalam pasal 556 sampai dengaii pasal 558a, tenggang daluwarsa itu dimulai pada hari sesudah daftar-daftar yang memuat pelanggaran-pelanggaran itu dipindah ke kantor panitera suatu pengadilan, menurut aturan-aturan umum yang menentukan bahwa register-register catatan sipil harus dipindah ke kantor tersebut.
Pasal 80 KUHP
Setiap tindakan penuntutan menghentikan daluwarsa, asal tindakan itu diketahui oleh orang yang dituntut, atau telah diberitahukan kepadanya menurut cara yang ditentukan dalam aturan-aturan umum.
Sesudah dihentikan, dimulai lagi tenggang daluwarsa yang baru.
Jadi jika pelaku baru ditemukan setelah masa daluwarsa berakhir, maka ia memang tidak dapat lagi dituntut ke hadapan pengadilan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidananya yang dilakukan pada masa lalu. Hal ini tentu akan dirasakan adanya ketidakadilan bagi korban, namun tetap perlu diatur demi tercapainya kepastian hukum dalam proses penuntutan. Bagi tersangka sendiri, tidaklah mudah juga untuk menjalani hidup dan melarikan diri selama bertahun-tahun dengan perasaan takut tertangkap. Sehingga hal ini sudah dianggap sebagai hukuman dan penderitaan tersendiri bagi tersangka selama dalam masa pelariannya.
Perlindungan Hukum Bagi Korban
Namun di sisi lain, terhadap korban, negara tetap memberikan perlindungan hukum dengan mengatur adanya hak-hak korban, walaupun memang tidak banyak ditentukan dalam peraturan perundang-undangan. Namun setidaknya aturan yang menjadi dasar perlindungan hukum bagi korban antara lain terdapat dalam ketentuan sebagai berikut:
Mengatur adanya hak korban untuk mengajukan keberatan dalam bentuk upaya hukum praperadilan terhadap tindakan penghentian penyidikan atau penuntutan.[4]
Mengatur adanya hak keluarga korban untuk menolak dilakukannya otopsi atau penggalian kubur.[5]
Hak untuk menuntut ganti kerugian atas terjadinya tindak pidana.[6]
Namun hak-hak ini tentu gugur dengan sendirinya jika masa penuntutan terhadap tindak pidana tersebut telah daluwarsa sebagaimana diatur dalam Pasal 78 KUHP.
memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu Perlindungan berakhir; dan/atau
mendapat nasihat hukum;
memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;
mendapat tempat kediaman baru;
mendapat tempat kediaman sementara;
mendapat identitas baru;
dirahasiakan identitasnya;
mendapat informasi dalam hal terpidana dibebaskan;
mendapat informasi mengenai putusan pengadilan;
mendapat informasi mengenai perkembangan kasus;
bebas dari pertanyaan yang menjerat;
mendapat penerjemah;
memberikan keterangan tanpa tekanan;
ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, Keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan Keputusan LPSK.
Berdasarkan penjelasan Pasal 5 ayat (2) UU 31/2014, yang dimaksud dengan "tindak pidana dalam kasus tertentu" antara lain tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia yang berat, tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana narkotika, tindak pidana psikotropika, tindak pidana seksual terhadap anak, dan tindak pidana lain yang mengakibatkan posisi saksi dan/atau korban dihadapkan pada situasi yang sangat membahayakan jiwanya.
Menurut Arif Gosita, hak-hak korban yang dapat diberikan setidaknya mencakup:[7]
Korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisipasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, dengan linkuensi dan penyimpangan tersebut.
Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya).
Berhak mendapat kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut.
Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
Berhak mendapat kembali hak miliknya.
Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor dan menjadi saksi.
Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
Berhak mempergunakan upaya hukum (recht middelen).
Selanjutnya menurut J.E Sahetapy, hak-hak korban juga meliputi hal-hal sebagai berikut:[8]
mendapat pelayanan (bantuan, restitusi, kompensasi).
menolak pelayanan untuk ahli warisnya.
mendapat kembali hak miliknya.
menolak menjadi saksi apabila tidak ada perlindungan terhadap dirinya.
mendapat perlindungan terhadap ancaman pihak pelaku apabila pelapor menjadi saksi.
mendapat informasi mengenai permasalahan yang dihadapinya.
dapat melangsungkan pekerjaannya.
mendapat pelayanan yang layak sewaktu sebelum persidangan, selama persidangan, dan setelah persidangan.
mendapat bantuan penasihat hukum.
menggunakan upaya hukum.
Sehingga demi tercapainya keadilan sekaligus kepastian hukum, sangat penting bagi korban untuk mengetahui adanya masa daluwarsa penuntutan sambil tetap mempertahankan dipenuhinya hak-haknya sebagai korban.