Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Frans Sopater Hutapea, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan pertama kali dipublikasikan pada Kamis, 22 Juli 2021.
Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.
klinik Terkait:
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian Prostitusi
Prostitusi di Indonesia dianggap sebagai kejahatan terhadap kesusilan, bersifat ilegal, serta bertentangan dengan Hak Asasi Manusia (“HAM”). Praktek prostitusi adalah sebuah kegiatan yang patut dihentikan atau dilarang karena dianggap bertentangan dengan nilai agama dan kesusilaan. Selain itu, prostitusi juga bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan dalam hubungannya dengan etika dan moral.[1]
Hariana Eka Dewi dalam bukunya Memahami Perkembangan Fisik Remaja (hal. 81) mendefinisikan prostitusi sebagai melakukan hubungan seksual dengan berganti-ganti pasangan yang bukan istri atau suaminya, yang dilakukan di tempat-tempat tertentu (lokalisasi, hotel, tempat rekreasi dan lain-lain), yang pada umumnya mereka mendapatkan uang setelah melakukan hubungan badan. Kemudian, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (“KBBI”), prostitusi adalah pertukaran hubungan seksual dengan uang atau hadiah sebagai suatu transaksi perdagangan, dan dikenal dengan istilah pelacuran.
Larangan Prostitusi Anak
Indonesia tidak hanya menghadapi bahaya prostitusi yang dilakukan oleh orang dewasa, tapi juga prostitusi yang korbannya anak-anak.[2] Praktik prostitusi anak di bawah umur di Indonesia sangat memprihatinkan, terutama dengan banyaknya kasus eksploitasi anak, baik atas kemauannya sendiri maupun atas paksaan dari oknum-oknum tertentu.[3]
berita Terkait:
Adapun yang dimaksud dengan anak menurut Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak dikenal istilah prostitusi, melainkan yang dikenal adalah istilah “eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual” yang definisinya tertulis dalam Penjelasan Pasal 66 UU 35/2014, yaitu:
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara ekonomi” adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan Anak yang menjadi korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan Anak oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan materiil.
Yang dimaksud dengan “dieksploitasi secara seksual” adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari Anak untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan prostitusi anak merupakan bentuk eksploitasi secara ekonomi maupun seksual yang dilarang.
Ketentuan Pidana Pengguna Jasa Prostitusi Anak
Ketentuan mengenai larangan ekploitasi anak secara seksual, dalam hal ini prostitusi anak, telah diatur dalam ketentuan yang umum yaitu KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[4] yakni pada tahun 2026 yaitu:
KUHP | UU 1/2023 |
Pasal 290 angka 2 dan 3 Diancam dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun:
2. barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seorang padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umumnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;
3. barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain. | Pasal 415 huruf b Dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun, Setiap Orang yang:
b. melakukan perbuatan cabul dengan seseorang yang diketahui atau patut diduga anak. |
Pasal 295 Diancam:
| Pasal 419
|
Pasal 297 Perdagangan wanita dan perdagangan anak laki-laki yang belum dewasa, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun. | Pasal 422
|
Selain KUHP dan UU 1/2023, terdapat ketentuan lebih khusus (lex specialis) yang mengatur mengenai larangan adanya praktek prostitusi anak, yang dimuat dalam pasal-pasal berikut:
Pasal 76I jo. Pasal 88 UU 35/2014
Pasal 76I
Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual terhadap Anak.
Pasal 88
Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp200 juta.
Selain itu, UU 35/2014 juga memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang terjerat dalam kegiatan prostitusi, karena berdasarkan undang-undang tersebut, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual.[5]
Perlindungan khusus tersebut dilakukan melalui:[6]
- penyebarluasan dan/atau sosialisasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perlindungan anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
- pemantauan, pelaporan, dan pemberian sanksi; dan
- pelibatan berbagai perusahaan, serikat pekerja, lembaga swadaya masyarakat, dan masyarakat dalam penghapusan eksploitasi terhadap anak secara ekonomi dan/atau seksual.
Dengan demikian, menurut pendapat kami dapat diartikan bahwa pihak-pihak yang terlibat sebagai penyelenggara, perantara maupun pengguna jasa prostitusi anak yang merupakan bentuk eksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual, dapat dijerat dengan pasal a quo dan ditindak melalui proses hukum acara pidana sebagaimana diatur dalam KUHAP jika dilakukan oleh orang dewasa. Namun, apabila pelaku pengguna jasa prostitusi anak adalah seorang anak juga, maka pelaku ditindak dalam proses hukum acara pidana yang khusus sebagaimana diatur dalam UU SPPA.
Baca juga: Hal-Hal Penting yang Diatur dalam UU Sistem Peradilan Pidana Anak
Penjelasan lebih lanjut mengenai perlindungan khusus terhadap anak dari adanya kegiatan prostitusi, dapat Anda simak dalam artikel Langkah Pemerintah Menanggulangi Prostitusi Anak.
Contoh Kasus
Sebagai contoh, Anda dapat lihat dalam Putusan PN Bengkulu 327/Pid.Sus/2020/PN BGL. Pada kasus ini, terdakwa adalah pemilik panti pijat yang mempekerjakan 3 (tiga) orang perempuan, yang salah satunya berusia 16 (enam belas) tahun. Di panti pijat tersebut, saksi korban tidak hanya memijit pelanggan, namun juga melakukan hubungan badan dengan imbalan sebesar Rp. 250.000,- hingga Rp. 300.000,-. Setelah saksi korban melakukan pijit dan persetubuhan dengan tamu atau pelanggan, uang yang diterima langsung disetorkan kepada terdakwa.
Karena semua unsur dalam Pasal 76I jo. Pasal 88 UU 35/2014 terpenuhi, maka Majelis Hakim menetapkan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana eksploitasi anak secara seksual. Oleh karena perbuatannya, terdakwa dipidana penjara selama 3 (tiga) tahun dan dipidana denda sebesar Rp200.000.000 (dua ratus juta rupiah), dengan apabila denda tidak dibayar, maka denda diganti dengan pidana penjara selama 3 (tiga) bulan.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana;
- Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak;
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Putusan:
Putusan PN Bengkulu 327/Pid.Sus/2020/PN BGL.
Referensi:
- Heriana Eka Dewi. Memahami Perkembangan Fisik Remaja. Yogyakarta: Gosyen Publishing, 2012;
- Oksidelfa Yanto. Prostitusi Sebagai Kejahatan Terhadap Eksploitasi Anak yang bersifat Ilegal dan Melawan Hak Asasi Manusia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 4, 2018;
- Supriyadi Widodo Eddyono (et.al). Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia & Tantangannya. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017;
- Zeti Utami dan Hadibah Zachra Wadjo. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Seks Komersil Anak Di Kabupaten Kepulauan Aru. Jurnal Kreativitas Mahasiswa Hukum SANISA, Vol. 1, No. 1, 2021;
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 04 Maret 2023, pukul 17.20 WIB.
[1] Oksidelfa Yanto. Prostitusi Sebagai Kejahatan Terhadap Eksploitasi Anak yang bersifat Ilegal dan Melawan Hak Asasi Manusia. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 12, No. 4, 2018, hal. 4-5.
[2] Supriyadi Widodo Eddyono (et.al). Melawan Praktik Prostitusi Anak di Indonesia & Tantangannya. Jakarta: Institute for Criminal Justice Reform, 2017, hal. 4.
[3] Zeti Utami dan Hadibah Zachra Wadjo. Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Seks Komersil Anak Di Kabupaten Kepulauan Aru. Jurnal Kreativitas Mahasiswa Hukum SANISA, Vol. 1, No. 1, 2021, hal. 29.
[4] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).
[5] Pasal 59 ayat (1) dan (2) huruf d Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”).
[6] Pasal 66 UU 35/2014.