Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jika Penelitian Tidak Mengaburkan Identitas Korban Asusila

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Jika Penelitian Tidak Mengaburkan Identitas Korban Asusila

Jika Penelitian Tidak Mengaburkan Identitas Korban Asusila
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jika Penelitian Tidak Mengaburkan Identitas Korban Asusila

PERTANYAAN

Di tahun 2012, saya pernah menjadi korban dalam kasus asusila. Tanpa saya ketahui, ternyata detil kronologi kasus dipublikasi lewat situs resmi Mahkamah Agung. Kasus yang saya alami tersebut kemudian dijadikan bahan kajian oleh Mahasiswa/i, serta kembali dipublikasi lewat situs pepustakaan online kampus yang bersangkutan. Di sini saya tidak menyalahkan, namun merasa sangat keberatan atas mudahnya oknum luar mendapatkan informasi mengenai suatu hal yang saya anggap sangat privat, karena sudah menyangkut identitas pribadi yang tidak disamarkan, alamat, dan sebagainya. Pertanyaan saya, apakah saya berhak untuk meminta pihak universitas menghapus konten yang berkaitan dengan kasus saya? Terlebih perkara yang saya alami tersebut telah selesai, dan saya merasa tidak nyaman dengan adanya jejak digital yang mudah diakses banyak orang.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Publikasi putusan pengadilan melalui sistem elektronik harus memperhatikan beberapa hal. Salah satunya adalah mengenai pengaburan informasi identitas saksi korban untuk putusan yang memuat perkara asusila sebagaimana yang Anda alami. Sehingga di sini kami beranggapan terjadi kelalaian Mahkamah Agung dalam mengelola putusan terkait kasus Anda dalam sistem elektronik miliknya.
     
    Di sisi lain, Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor B/565/N.B1/HK.01.01/2019 tentang Sarana Publikasi Karya Ilmiah Mahasiswa mewajibkan setiap karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa harus dipublikasikan melalui sarana-sarana yang telah ditentukan. Hal inilah yang menyebabkan penelitian yang mengkaji suatu kasus asusila dapat diakses publik.
     
    Namun, ada jalan yang dapat ditempuh oleh korban tindak pidana asusila untuk menghapuskan jejak digital yang tersebar pada beberapa situs tersebut. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengaburan Identitas Korban dalam Perkara Kesusilaan
    Pertama-tama, kami hendak menyampaikan keprihatinan atas keseluruhan peristiwa yang Anda alami.
     
    Kami mengasumsikan kronologis kasus asusila yang Anda alami dipublikasikan oleh Mahkamah Agung melalui putusan. Sehigga di sini perlu kami jelaskan lebih dulu mengenai dasar hukum publikasi putusan oleh Mahkamah Agung melalui situs Direktori Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia.
     
    Salinan putusan dapat dikategorikan sebagai informasi publik. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (“UU 14/2008”), mendefinisikan informasi publik:
     
    Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
     
    Badan publik yang dimaksud salah satunya adalah lembaga yudikatif, yang dalam Bagian C Lampiran I Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik, disebutkan terdiri dari Mahkamah Agung beserta keempat lembaga peradilan di bawahnya (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara) dan Mahkamah Konstitusi. Atas ketentuan tersebut, Mahkamah Agung kemudian menerbitkan Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 1-144/KMA/SK/I/2011 Tahun 2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan (“Keputusan KMA 1-144/2011”).
     
    Menyambung pernyataan Anda mengenai informasi identitas yang tidak disamarkan dalam putusan, Keputusan KMA 1-144/2011 pada dasarnya telah mengatur mengenai prosedur pengaburan sebagian informasi tertentu dalam informasi yang wajib diumumkan dan informasi yang dapat diakses publik. Pada Angka 1 huruf a Romawi VI Lampiran I Keputusan KMA 1-144/2011 telah diuraikan secara jelas bahwa:
     
    Sebelum memberikan salinan informasi kepada Pemohon atau memasukkannya dalam situs, Petugas Informasi wajib mengaburkan informasi yang dapat mengungkap identitas pihak-pihak di bawah ini dalam putusan atau penetapan hakim dalam perkara-perkara sebagai berikut:
    1. Mengaburkan nomor perkara dan identitas saksi korban dalam perkara-perkara:
    1. Tindak pidana kesusilaan;
    2. Tindak pidana yang berhubungan dengan kekerasan dalarn rumah tangga;
    3. Tindak pidana yang menurut undang-undang tentang perlindungan saksi dan korban identitas saksi dan korbannya harus dilindungi; dan
    4. Tindak pidana lain yang menurut hukum persidangannya dilakukan secara tertutup.
     
    Selain telah disebutkan di atas secara eksplisit, perlu diketahui pula bahwa sidang perkara tindak pidana asusila sendiri juga dilangsungkan secara tertutup. Hal ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yang berbunyi:
     
    Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.
     
    Dengan demikian, identitas Anda dalam putusan atas tindak pidana kesusilaan memenuhi dua syarat untuk dikaburkan. Sebagai korban, hak Anda atas kerahasiaan identitas juga dijamin dalam Pasal 5 ayat (1) huruf i Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
     
    Sehingga berdasarkan ketentuan-ketentuan di atas, menurut hemat kami, sudah menjadi kewajiban petugas informasi di lingkungan Mahkamah Agung untuk mengaburkan identitas Anda dalam putusan tindak pidana asusila tersebut. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab adalah Kepala Subbagian Data dan Pelayanan Informasi.[1]
     
    Publikasi Penelitian Mahasiswa
    Berbicara mengenai penelitian di lingkungan perguruan tinggi, kami akan berpedoman pada Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (“Permenristekdikti 44/2015”) yang telah diubah dengan Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 50 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Nomor 44 Tahun 2015 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi (“Permenristekdikti 50/2018”).
     
    Dikarenakan Anda tidak menyebutkan secara spesifik mengenai bentuk penelitian yang dimaksud, kami mengasumsikan bahwa mahasiswa yang bersangkutan melaksanakannya dalam rangka menyusun tugas akhir, skripsi, tesis, atau disertasi. Pada Pasal 46 ayat (2), (3), dan (4) Permenristekdikti 44/2015, diuraikan bahwa:
     
    1. Kegiatan penelitian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kegiatan yang memenuhi kaidah dan metode ilmiah secara sistematis sesuai dengan otonomi keilmuan dan budaya akademik. 
    2. Kegiatan penelitian harus mempertimbangkan standar mutu, keselamatan kerja, kesehatan, kenyamanan, serta keamanan peneliti, masyarakat, dan lingkungan. 
    3. Kegiatan penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa dalam rangka melaksanakan tugas akhir, skripsi, tesis, atau disertasi harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3), capaian pembelajaran lulusan, dan ketentuan peraturan di perguruan tinggi.
     
    Publikasi penelitian mahasiswa di suatu situs perpustakaan online milik kampus sendiri telah sesuai dengan Surat Edaran Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Nomor B/565/B.B1/HK.01.01/2019 tentang Sarana Publikasi Karya Ilmiah Mahasiswa (“SE Ditjenbelmawa B/565/2019”).
     
    SE Ditjenbelmawa B/565/2019 tersebut pada pokoknya menjelaskan bahwa setiap karya ilmiah yang dihasilkan oleh mahasiswa wajib dipublikasikan melalui sarana-sarana yang telah ditentukan. Sebagai contoh untuk program pendidikan sarjana, skripsi atau laporan tugas akhir diunggah di repositori perguruan tinggi yang diintegrasikan pada portal Repositori Tugas Akhir Mahasiswa Kemenristekdikti. Namun apabila skripsi dan laporan tugas akhir tersebut dipublikasikan di jurnal nasional, maka diunggah di Portal Garuda.
      
    Dengan demikian, menurut hemat kami, penggunaan putusan yang notabene merupakan informasi publik sebagai bahan penelitian/karya ilmiah oleh mahasiswa seharusnya sudah melalui proses dan ketentuan sebagaimana yang ditetapkan oleh kampus yang bersangkutan.
     
    Hak untuk Dilupakan (Right to be Forgotten)
    Akan tetapi, sebagaimana dijelaskan dalam artikel Right to be Forgotten dalam UU ITE, Pasal 26 ayat (3) dan (4) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) memuat ketentuan mengenai right to be forgotten. Pasal tersebut berbunyi:
     
    1. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menghapus Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang tidak relevan yang berada di bawah kendalinya atas permintaan Orang yang bersangkutan berdasarkan penetapan pengadilan.
    2. Setiap Penyelenggara Sistem Elektronik wajib menyediakan mekanisme penghapusan Informasi dan/atau Dokumen Elektronik yang sudah tidak relevan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Penyelenggara sistem elektronik sendiri adalah setiap orang, penyelenggara negara, badan usaha, dan masyarakat yang menyediakan, mengelola, dan/atau mengoperasikan sistem elektronik, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama kepada pengguna sistem elektronik untuk keperluan dirinya dan/atau keperluan pihak lain.[2]
     
    Sepanjang penelusuran kami, memang tidak diatur secara khusus mengenai prosedur untuk penghapusan penelitian mahasiswa yang telah diunggah. Dengan demikian menurut hemat kami, Anda dapat menghubungi penanggungjawab situs Mahkamah Agung terkait putusan yang mencantumkan nama Anda untuk dilakukan pengaburan informasi identitas. Dalam hal ini, yang bertanggung jawab adalah Kepala Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung.[3] Kami beranggapan, telah terjadi kelalaian dari pihak Mahkamah Agung dalam mengaburkan identitas Anda dalam putusan.
     
    Selain itu, dikarenakan penelitian mahasiswa yang menggunakan putusan tersebut sudah terlanjur dipublikasikan di situs perpustakaan online milik kampus, kami sarankan kepada Anda untuk mengkomunikasikannya kepada pengelola situs repositori kampus yang bersangkutan atau pihak pengelola repositori Kemenristekdikti, untuk mengingatkan adanya jaminan kerahasiaan identitas Anda sebagai korban tindak pidana kesusilaan sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.  
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;
     

    [1] Huruf B angka 4 Romawi III Lampiran I SK KMA 1-144/2011
    [2] Pasal 1 angka 6a UU 19/2016
    [3] Romawi IV Angka 5 Lampiran I SK KMA 1-144/2011

    Tags

    hukumonline
    pengadilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!