Untuk memperjelas permasalahan dan mempermudah dalam menjawab, kami asumsikan bahwa yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah soal boleh atau tidaknya para pihak membuat adendum yang memperpanjang waktu pelaksanaan pekerjaan yang tadinya 100 hari menjadi lebih panjang, yang mana adendum tersebut baru dibuat setelah lewatnya 100 hari waktu pelaksanaan dan sudah memasuki 50 hari masa pengenaan denda.
Asas Kebebasan Berkontrak
Dalam hukum perjanjian dikenal asas kebebasan berkontrak, yang dapat disimpulkan salah satunya dari Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang berbunyi:
Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Rahayu Hartini yang mengutip pendapat Peter MZ dalam artikel UUK dan PKPU No 37 Th 2004 Mengesampingkan Berlakunya Asas Pacta Sunt Servanda dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan yang dimuat dalam Yustisia Law Journal menjelaskan bahwa asas kebebasan berkontrak merupakan konsekuensi dari dua asas lainnya dalam perjanjian, yaitu konsensualisme dan kekuatan mengikat perjanjian yang lazim disebut pacta sunt servanda. Konsensualisme berhubungan dengan terjadinya perjanjian yaitu terikatnya para pihak yang mengadakan perjanjian, sedangkan kebebasan berkontrak menyangkut isi perjanjian (hal. 302).
Prinsip kekuatan mengikatnya perjanjian diartikan bahwa para pihak harus memenuhi apa yang mereka sepakati dalam perjanjian yang mereka buat. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 1338 KUH Perdata (hal. 302).
Menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian, kebebasan berkontrak dipahami dalam arti masyarakat diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa dan berisi apa saja (atau tentang apa saja) dan perjanjian itu akan mengikat mereka yang membuatnya seperti suatu undang-undang (hal. 14).
Akan tetapi kebebasan berkontrak itu juga harus memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, yaitu:[1]
- kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
- kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
- suatu pokok persoalan tertentu;
- suatu sebab yang tidak terlarang.
Baca juga: Addendum atau Perpanjangan Kontrak?
Adendum Perjanjian
Menyambung pertanyaan Anda, adendum sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan jilid tambahan (pada buku); lampiran; ketentuan atau pasal tambahan, misalnya dalam akta.
Sebagaimana diterangkan dalam artikel Perlukah Adendum Perjanjian dalam Penarikan Kredit Revolving?, istilah adendum digunakan saat ada tambahan atau lampiran pada perjanjian pokok yang merupakan satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Meskipun jangka waktu perjanjian tersebut belum berakhir, para pihak dapat menambahkan adendum sepanjang disepakati oleh kedua belah pihak.
Lebih lanjut, Nur Fitriani dalam artikel Addendum Akad Murabahah Berdasar Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Studi di BRI Syariah Kantor Cabang Malang) yang dimuat dalam jurnal Jurisdictie menjelaskan bahwa adendum tidak bisa lepas dari perjanjian pokok. Adendum sangat menguntungkan kedua belah pihak karena meminimalisir akan adanya wanprestasi, namun jika adendum dilakukan berulang kali maka akan timbul ketidakpastian hukum dari kontrak yang dibuat (hal. 144).
Sebagai penambahan aturan baru dari kontrak yang menguntungkan kedua belah pihak, pelaksanaan adendum harus tetap mengandung unsur hukum. Adendum bisa merubah hukum ketetapan awal sebagaimana dalam asas pacta sunt servanda, sehingga adendum sangat berpengaruh dan menimbulkan akibat hukum yang besar bagi kedua belah pihak (hal. 145).
Patut diperhatikan, seperti dijelaskan dalam Surat Perjanjian Kerja dengan Banyak Addendum yang mengutip pendapat Surya Tjandra selaku Direktur Eksekutif Trade Union Rights Center (TURC), apabila hal-hal yang diatur dalam adendum tidak terkait dengan obyek perjanjian pokoknya, sebaiknya dibuat perjanjian baru dan bukan dalam bentuk adendum. Sebab adendum hanya bersifat melengkapi perjanjian pokoknya.
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan pejelasan yang kami sampaikan di atas, para pihak dalam perjanjian diperbolehkan membuat adendum perpanjangan waktu pelaksanaan pekerjaan pada periode pengenaan denda, karena pada dasarnya adendum adalah perjanjian yang didasarkan pada kesepakatan para pihak dan tetap dapat dilakukan meskipun jangka waktu perjanjian belum berakhir.
Kemudian perihal berlakunya penambahan waktu pelaksanaannya, apakah akan dihitung sejak berakhirnya 100 hari kalender waktu pelaksanaan sebelumnya, atau sejak tanggal dibuatnya adendum tersebut yaitu saat sudah memasuki periode pengenaan denda, hal ini juga dapat disepakati oleh para pihak. Para pihak nantinya dapat memperjelas dalam adendum perjanjian apakah penambahan waktu pelaksanaan dihitung setelah berakhirnya 100 hari waktu pelaksanaan awal, atau dihitung dari waktu penandatanganan/dibuatnya adendum. Saran kami, penjelasan tersebut sebaiknya diatur jelas dalam perjanjian agar tidak terjadi perbedaan penafsiran antara para pihak.
Selanjutnya, perihal kekosongan perikatan yang Anda singgung dalam pertanyaan, hal tersebut tidak akan terjadi, sebab adendum yang dibuat merupakan perjanjian tambahan yang menjadi satu kesatuan dengan perjanjian pokoknya. Selain itu, pada dasarnya pada saat adendum dilakukan di masa pengenaan denda, perikatan antara para pihak masih berlaku karena masa pengenaan denda juga masuk dalam masa berlakunya perjanjian. Adapun penentuan apakah jangka waktu mulai dari habisnya waktu pelaksanaan 100 hari hingga tanggal dibuatnya adendum akan dianggap sebagai masa pengenaan denda atau penambahan waktu pelaksanaan, hal ini dapat disepakati juga oleh para pihak sebagaimana yang kami jelaskan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
- Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT Intermasa, 2005;
- Rahayu Hartini. UUK dan PKPU No 37 Th 2004 Mengesampingkan Berlakunya Asas Pacta Sunt Servanda dalam Penyelesaian Sengketa Kepailitan. Universitas Sebelas Maret: Yustisia Law Journal, Vol. 4 No.2 Mei-Agustus, 2015;
- Nur Fitriani. Addendum Akad Murabahah Berdasar Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2008 tentang Restrukturisasi Pembiayaan Bagi Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah (Studi di BRI Syariah Kantor Cabang Malang). Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang: Jurisdictie, Vol. 8 No.2, 2017;
- Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses pada 16 Desember 2020, pukul 19.41 WIB.