Kedudukan Fatwa DSN-MUI dan PERMA 2/2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Sebagaimana yang telah dikutip dalam artikel Kedudukan Fatwa MUI Dalam Hukum Indonesia, fatwa adalah keputusan atau pendapat yang diberikan oleh mufti tentang suatu masalah.
Adapun Dewan Syariah Nasional–Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), berdasarkan informasi dari laman DSN-MUI, adalah lembaga yang dibentuk oleh Mejelis Ulama Indonesia (MUI) yang salah satu tugasnya adalah menetapkan fatwa atas sistem, kegiatan, produk, dan jasa lembaga keuangan syariah.
Sementara itu, kedudukan fatwa DSN-MUI berkaitan dengan gadai syariah sebagaimana yang Anda tanyakan, Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Usaha Pergadaian (“POJK 31/2016”) menegaskan bahwa pelaksanaan kegiatan usaha pergadaian berdasarkan prinsip syariah wajib menggunakan akad yang tidak bertentangan dengan ketentuan hukum Islam berdasarkan fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah dari DSN-MUI.[1]
Sedangkan mengenai kedudukan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (“KHES”) sebagaimana yang telah dijelaskan dalam artikel Kekuatan Hukum Produk-produk Hukum MA (Perma, SEMA, Fatwa, SK KMA), merupakan peraturan yang ditetapkan oleh Mahkamah Agung diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau dibentuk berdasarkan kewenangan.[2]
Peraturan Mahkamah Agung (Perma) dibentuk berdasarkan kewenangan Mahkamah Agung (MA) dalam Pasal 79 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung. Akan tetapi, pasal tersebut juga membatasi bahwa peraturan yang dibuat oleh MA adalah mengenai hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran penyelenggaraan peradilan.
Sejalan dengan ketentuan tersebut, Pratiwi dan Ahmad Rifai dalam artikel Urgensi Pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Ekonomi Syariah Indonesia yang dimuat dalam Jurnal Syariah 4 (Juli 2016) menyatakan bahwa KHES hanya berfungsi sebagai pedoman
Hakim Pengadilan Agama dalam memutus perkara ekonomi syariah. KHES tidak memiliki kekuatan mengikat keluar serta tidak dapat memberikan sanksi atas suatu pelanggaran terhadap ketentuan yang terdapat di dalamnya. (Hal. 95)
Pelaksanaan Gadai Syariah
Menjawab pertanyaan Anda, berdasarkan penjelasan di atas, maka PT. Pegadaian (Persero) dalam melaksanakan usaha perdadaian syariah juga wajib tunduk kepada ketentuan fatwa DSN-MUI mengenai gadai syariah.
Di antara fatwa dari DSN-MUI mengenai pelaksanaan gadai syariah adalah Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 25/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn dan Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor 26/DSN-MUI/III/2002 tentang Rahn Emas.
Selain fatwa DSN-MUI, lembaga keuangan yang melaksanakan usaha gadai syariah juga sebaiknya mematuhi ketentuan dalam KHES, mengingat apabila nantinya terjadi sengketa di pengadilan, Hakim akan merujuk kepada KHES.
Berdasarkan KHES gadai syariah atau rahn adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.[3] Rahn atau gadai syariah diatur dalam Buku II Bab XIV KHES mulai dari Pasal 373 sampai dengan Pasal 413.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Mahkamah Agung sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan diubah untuk kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung;
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 31/POJK.05/2016 Tahun 2016 tentang Usaha Pergadaian sebagaimana telah dicabut sebagian oleh Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 30/POJK.05/2020 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 11/POJK.05/2014 tentang Pemeriksaan Langsung Lembaga Jasa Keuangan Nonbank;
Referensi:
- Pratiwi, Ahmad Rifai. Urgensi Pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Ekonomi Syariah Indonesia. Jurnal Syariah 4 (Juli 2016);
- Laman DSN-MUI, diakses pada 24 September 2020 pada pukul 17.33 WIB.
[1] Pasal 13 ayat (1), (3), dan (4) huruf c POJK 31/206
[2] Pasal 8 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
[3] Pasal 20 angka 14 KHES