KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat

Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat

PERTANYAAN

Bagaimana hubungan pengadilan adat dengan pengadilan negeri? Apakah hakim pengadilan negeri wajib mematuhi keputusan pengadilan adat?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Secara formal, pengadilan adat tidak termasuk dalam kekuasaan kehakiman di Indonesia. Namun, keputusan pengadilan adat berfungsi sebagai sumber hukum bagi hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam hal ini sekalipun, hakim tidak sepenuhnya terikat kepada putusan pengadilan adat tersebut dan dapat mengenyampingkannya.
     
    Penjelasan lebih lanjut silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengakuan negara atas masyarakat hukum adat diakui melalui Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
     
    Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
     
    Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Di dalam UU Desa, wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara melalui Pasal 103 huruf d dan e UU Desa sebagai berikut:
     
    Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
    1. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
    2. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
    3. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
    4. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
    5. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    6. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
    7. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
     
    Di luar UU Desa, posisi keputusan-keputusan dari proses penyelesaian sengketa adat pun diakui sebagai salah satu sumber hukum bagi hakim. Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.[1]
     
    Lebih jauh, putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.[2]
     
    Baca juga: Kedudukan Hukum Peradilan Desa Adat.
     
    Adapun secara struktural, pengadilan adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan peradilan formal di Indonesia. UU 48/2009 tidak mengakui pengadilan adat sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 adalah:
     
    Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
     
    Pasal 18 UU 48/2009 kemudian membatasi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
     
    Dalam hal ini, posisi peradilan adat dapat dipersamakan sebagai salah satu bentuk lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.[3]
     
    Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat
    Karena sejak semula berfungsi sebagai sumber hukum dan tidak terikat hubungan struktural, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi seorang hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat. Hal ini sebagaimana diuraikan Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya dalam jurnal Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berjudul Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat terhadap Sistem Peradilan Perdata Indonesia (hal. 65), keduanya menjelaskan bahwa terdapat hubungan fungsional tak mengikat antara pengadilan negara dengan keputusan peradilan adat, yang mana dalam hal ini pengadilan negara mengakui kewenangan yang dimiliki peradilan adat/desa dalam menjatuhkan keputusan perdamaian meskipun keputusan itu tidak memiliki sifat yang mengikat bagi hakim.
     
    Salah satu putusan yang dirujuk oleh penelitian tersebut adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 436K/Sip/1970. Putusan tersebut melahirkan kaidah bahwa keputusan perdamaian melalui mekanisme adat tidak mengikat hakim pengadilan negeri dan hanya menjadi pedoman. Apabila terdapat alasan hukum yang kuat, hakim pengadilan negeri dapat menyimpangi keputusan perdamaian adat tersebut.
     
    Dalam konteks hukum acara perdata, keputusan tertulis pengadilan adat dapat diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti guna menyokong pertimbangan hakim. Pasal 164 Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) menyebut bahwa alat bukti di dalam peradilan perdata terdiri atas:
    1. Surat;
    2. Saksi;
    3. Persangkaan-persangkaan;
    4. Pengakuan; dan
    5. Sumpah.
     
    Dengan demikian, keputusan yang dituangkan secara tertulis tersebut dapat dipersamakan dengan surat. Surat berdasarkan Pasal 165 HIR adalah:
     
    Suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu.
     
    Selain sebagai alat bukti, terdapat pendapat ahli yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan adat hanya perlu diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapat pengakuan negara. Elfi Marzuni, sebagaimana dikutip Utama dan Aristya, dalam jurnal dengan judul sama seperti di atas (hal. 65) menyebut bahwa keputusan peradilan adat yang dituangkan dalam akta perdamaian dapat dikuatkan dengan putusan pengadilan, sehingga berkekuatan hukum tetap.
     
    Dalam ranah pidana, terdapat preseden yang juga mengakui pidana adat sebagai sumber hukum. Sebagai contoh, dalam Putusan Pengadilan Tinggi Makassar Nomor 427/Pid/2008 sebagaimana digambarkan dalam artikel Putusan-putusan yang Menghargai Pidana Adat, hakim menghukum seseorang karena melakukan persetubuhan di luar perkawinan. Mengingat perilaku tersebut pada dasarnya tidak dilarang oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”), hakim kemudian menautkan putusannya kepada hukum adat setempat.
     
    Untuk menjawab pertanyaan kedua Anda, dapat disimpulkan bahwa hakim dapat mengesampingkan keputusan pengadilan adat sepanjang terdapat alasan hukum yang kuat untuk mendukung putusannya.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 436K/Sip/1970;
     
    Referensi:
    Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya. Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat terhadap Sistem Peradilan Perdata Indonesia. Jurnal Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Vol. 27, No. 1, 2015.

    [1] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009
    [2] Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009
    [3] Pasal 1 angka 10 UU 30/1999

    Tags

    hukumonline
    google

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!