Bagaimana pandangan hukum terhadap saksi korban anak dalam perkara pidana (penganiayaan, pencabulan, dan lain-lain)? Apakah saksi korban anak harus melakukan sendiri untuk BAP kepolisian?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu tindak pidana yang ia tidak selalu dengar sendiri, lihat sendiri, dan/atau alami sendiri. Lalu bagaimana hukumnya jika korban yang masih berusia anak akan memberikan kesaksian?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Kedudukan Saksi Korban Anak yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H.dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 17 Mei 2010.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalanselengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Keterangan Saksi sebagai Alat Bukti
Proses pembuktian dalam perkara pidana termasuk penting karena hasil dari pembuktian akan digunakan sebagai dasar pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara. Dalam melakukan pembuktian terdapat beberapa alat bukti yang dapat digunakan, hal ini diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP yang menyebutkan bahwa alat bukti yang sah adalah:[1]
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk;
Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti yang sah dan keterlibatan seorang saksi mutlak diperlukan dalam keseluruhan tingkatan pemeriksaan perkara pidana.[2] Namun hal yang perlu diperhatikan adalah dalam proses pembuktian perkara pidana, berlaku asas unus testis nullus testis yang artinya satu saksi bukan saksi.
Berdasarkan KUHAP, saksi digolongkan menjadi dua yaitu saksi yang memberatkan dan meringankan terdakwa. Namun demikian, berdasarkan klasifikasi sebagaimana disarikan dari Jenis-Jenis Saksi dari Memberatkan hingga Meringankan sebenarnya terdapat 8 jenis saksi, yaitu (hal. 2):
Saksi a charge, saksi yang memberatkan terdakwa;
Saksi a de charge, saksi yang meringankan terdakwa;
Saksi ahli, saksi yang memiliki pengetahuan dan keahlian khusus;
Saksi korban, korban yang disebut sebagai saksi karena korban mendengar, melihat, atau mengalami sendiri peristiwa tersebut;
Saksi de auditu, saksi yang hanya mendengar dari orang lain;
Saksi mahkota, saksi yang berasal dari salah seorang tersangka atau terdakwa lain yang bersama melakukan perbuatan pidana (saksi kunci);
Saksi pelapor, saksi yang melaporkan dugaan tindak pidana;
Justice collaborator, saksi yang merupakan pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dengan memberikan informasi dan memberikan kesaksian.
Korban adalah pihak yang kepentingan hukumnya telah dilanggar oleh pelaku kejahatan dan rasa keadilannya telah dicederai, sehingga negara memiliki kewajiban untuk memberikan perlindungan terhadap korban. Korban dalam suatu tindak pidana dapat disebut sebagai saksi karena ia mendengar, melihat, atau mengalami sendiri suatu peristiwa pidana.
Keterangan saksi korban adalah salah satu alat bukti yang sah dalam proses pembuktian demi menemukan kebenaran atas suatu tindak pidana. Namun, keterangan saksi hanya dapat dianggap sah jika memenuhi syarat formil yang diatur dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP yaitu sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji menurut cara agamanya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Keterangan saksi yang tidak disumpah bukan merupakan alat bukti yang sah dan hanya merupakan keterangan yang dapat menguatkan keyakinan hakim.[3]
Dalam suatu peristiwa pidana yang melibatkan seorang anak sebagai korbannya, ia dapat menjadi saksi untuk memberikan keterangan sesuai dengan apa yang dilihat, didengar, atau dialaminya. Pasal 1 angka 5 UU 11/2012 menyebutkan sebagai berikut:
Anak yang Menjadi Saksi Tindak Pidana yang selanjutnya disebut Anak Saksi adalah orang yang belum berumur 18 tahun yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang didengar, dilihat, dan/atau dialaminya sendiri.
Kemudian perlu Anda ketahui, Pasal 171 KUHAP menyebutkan bahwa anak yang umurnya belum cukup 15 tahun dan belum pernah kawin boleh diperiksa untuk memberi keterangan, tapi tidak boleh disumpah. Sehingga, saksi anak yang usianya di bawah 15 tahun dan belum kawin, anak tersebut tidak disumpah, dan keterangannya tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, melainkan hanya jadi petunjuk saja.[4] Kecuali saksi korban anak telah berusia 15 tahun ke atas, keterangannya baru bisa disumpah dan menjadi alat bukti yang sah.
Selanjutnya dalam menjalani proses pemeriksaan, anak saksi tidaklah sendiri melainkan wajib didampingi oleh orang tua dan/atau orang yang dipercaya anak saksi. Demikian bunyi Pasal 23 ayat (2) UU 11/2012.
Selain itu, anak saksi berhak atas perlindungan dan hak antara lain upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial, baik di dalam lembaga maupun di luar lembaga, jaminan keselamatan, baik fisik, mental, maupun sosial, dan kemudahan dalam mendapatkan informasi mengenai perkembangan perkara.[5]