Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kejahatan Perang: Pengertian, Jenis, dan Peradilannya

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Kejahatan Perang: Pengertian, Jenis, dan Peradilannya

Kejahatan Perang: Pengertian, Jenis, dan Peradilannya
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kejahatan Perang: Pengertian, Jenis, dan Peradilannya

PERTANYAAN

Apa yang dimaksud dengan kejahatan perang dan dimana pelaku kejahatan perang diadili?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pelanggaran berat hukum humaniter internasional adalah sebuah pelanggaran yang bersifat serius yang oleh karena itu dikategorikan sebagai kejahatan perang. Pelaku kejahatan perang diadili melalui peradilan pidana internasional ad hoc, maupun dapat juga diadili di International Court of Justice.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Konflik Bersenjata dalam Hukum Humaniter Internasional

    Istilah perang atau pertikaian bersenjata adalah hal yang sama. Kedua istilah tersebut sering digunakan secara bergantian untuk menggantikan satu dengan yang lainnya.[1] Henry Campbell Black mendefinisikan perang sebagai permusuhan (pertikaian) dengan menggunakan angkatan bersenjata yang terjadi antar bangsa, negara, atau penguasa, atau terjadi antara warga-warga dalam satu bangsa atau negara. Sedangkan menurut Pietri Verri, perang adalah permusuhan (pertikaian) bersenjata antara dua atau lebih negara yang melibatkan angkatan bersenjata masing-masing dan diatur oleh hukum internasional.[2]

    KLINIK TERKAIT

    Mengenal Perbedaan Civil Law dan Common Law

    Mengenal Perbedaan Civil Law dan Common Law

    Dari pemahaman tersebut, maka unsur esensial perang adalah:[3]

    1. Situasi permusuhan atau pertikaian yang menggunakan kekuatan bersenjata; dan
    2. Ada pihak yang bersengketa.

    Baca juga: Hukum Humaniter tidak Bicara tentang Legalitas Perang

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Kejahatan Perang sebagai Pelanggaran Berat terhadap Hukum Humaniter Internasional

    Pelanggaran berat hukum humaniter internasional (“HHI”) adalah sebuah pelanggaran yang bersifat serius yang dikategorikan sebagai kejahatan perang. Penggunaan terminologi pelanggaran berat mengacu pada Konvensi Jenewa 1949 yang dikenal dengan grave breaches. Sedangkan dalam hukum hak asasi manusia (“HAM”) dikenal dengan istilah gross violation. Namun, dalam perkembangannya, Statuta Roma 1998 lebih memperjelas bahwa yang dimaksud dengan pelanggaran berat HHI adalah kejahatan perang, dan dikenal dengan the most serious crimes.[4]

    Istilah kejahatan perang menjadi semakin dikenal sebagai akibat dari perang dunia dan upaya berikutnya untuk menuntut tanggung jawab pidana bagi pelaku kejahatan. Kejahatan perang adalah tindakan-tindakan keji yang dilakukan pada waktu perang, dan merupakan pelanggaran terhadap HHI, dan karenanya pelaku dapat dihukum.[5] Karena, pada dasarnya HHI memiliki aturan dasar berupa:[6]

    1. Ensure humane treatment to persons not taking part in hostilities;
    2. Do not kill or injure protected persons;
    3. Collect and care wounded and sick;
    4. Respect lives and dignity of captured combatant and detained civilians;
    5. Choice of means and methods of warfare is not unlimited.

    Berdasarkan Konvensi Jenewa 1949, kejahatan perang adalah pelanggaran berat terhadap keempat konvensi tersebut. Namun, dalam beberapa ketentuan HHI seperti Statuta Roma 1998, International Criminal Tribunal for Former Yugoslavia (“ICTY”), International Criminal Tribunal for Rwanda (“ICTR”), Sierra Leone and United Nations Transitional Administration in East Timor (“UNTAET”) Regulation No. 2000/15, kejahatan perang adalah pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan yang berlaku dalam pertikaian bersenjata.[7]

    Dari berbagai penjelasan di atas, maka terdapat beberapa unsur kejahatan perang, yaitu:[8]

    1. Terdapat perbuatan atau tindakan yang merupakan pelanggaran serius terhadap hukum dan kebiasaan perang;
    2. Tindakan dilakukan pada situasi atau dalam konteks pertikaian bersenjata. Unsur ini dimaksudkan untuk membedakan antara kejahatan perang dan tindakan kriminal biasa;
    3. Tindakan menimbulkan tanggung jawab pidana secara individual.

    Jenis-Jenis Kejahatan Perang

    Berikut adalah beberapa contoh kejahatan perang yang diatur dalam instrumen utama HHI baik International Armed Conflict (“IAC”) atau Non-International Armed Conflict (“NIAC”):[9]

    1. Pembunuhan disengaja;[10]
    2. Penganiayaan atau perlakuan yang tidak berperikemanusiaan termasuk percobaan biologis;[11]
    3. Deportasi atau pemindahan atau penahanan secara tidak sah terhadap seseorang yang dilindungi;[12]
    4. Sengaja melakukan serangan atau tindakan pembalasan terhadap objek sipil yang bukan sasaran militer.[13]

    Objek dan Orang yang dilindungi dari Kejahatan Perang

    Menurut Hans-Peter Gasser, objek yang dilindungi dari kejahatan perang adalah properti milik sipil, unit pelayanan medis, benda budaya, civil defense, dan organisasi kemanusiaan.[14]

    Sedangkan orang yang dilindungi dibagi menjadi beberapa kategori, yaitu anggota angkatan bersenjata dan penduduk sipil yang terluka dan sakit, korban kapal karam, tawanan perang, penduduk sipil yang diinternir, penduduk sipil di wilayah musuh, penduduk sipil di wilayah pendudukan.[15]

    Baca juga: Pembunuhan Wartawan di Medan Perang Merupakan Pelanggaran Hukum Humaniter

    Peradilan Pidana Internasional Ad Hoc

    Kejahatan perang adalah salah satu wujud tindak pidana internasional yang paling tua.[16] Berikut adalah beberapa peradilan pidana internasional ad hoc, yang mengadili pelaku kejahatan perang:

    1. International Military Tribunal Nürnberg

    Mengadili anggota utama dari kelompok pemimpin politik, militer, dan ekonomi dari NAZI Jerman. Rangkaian persidangan dilakukan pada tahun 1945-1946 di kota Nürnberg, Jerman. Sebanyak 200 tersangka kejahatan perang diadili di Nürnberg, dan 1.600 orang lainnya diadili di pengadilan militer biasa.[17]

    1. International Military Tribunal for the Far East

    Merupakan peradilan yang mengadili pelaku kejahatan perang oleh tentara Jepang ketika melakukan agresi ke negara Asia dan Pasifik.[18]

    1. ICTY

    Negara Federasi Yugoslavia pasca runtuhnya komunisme semakin menunjukkan perbedaan etnis, dan memutuskan untuk lepas dari Federasi Yugoslavia. Pemisahan diri tersebut membawa dampak yang menyebabkan peperangan di Yugoslavia. ICTY dibentuk dengan tujuan untuk memberikan kontribusi terhadap pemulihan perdamaian dengan meminta pertanggungjawaban dari orang yang bertanggungjawab atas kejahatan serius dalam HHI.[19]

    1. ICTR

    Rwanda adalah negara di Afrika Tengah yang komposisi penduduknya terdiri dari etnis Hutu (85%) dan Tutsi (15%). Kelompok minoritas Tutsi mendominasi pemerintahan Rwanda hingga etnis Hutu melakukan pemberontakan dan melakukan genosida terhadap etnis Tutsi. ICTR bertujuan untuk menuntut dan mengadili orang yang bertanggung jawab atas terjadinya genosida dan kejahatan berat lainnya yang melanggar HHI, khususnya yang dilakukan etnis Hutu.[20]

    Peradilan Pidana Internasional yang Bersifat Tetap

    Selain peradilan pidana internasional ad hoc tersebut, terdapat International Criminal Court (“ICC”). ICC adalah badan peradilan pidana internasional yang bersifat tetap, yang memiliki kekuasaan untuk melaksanakan yurisdiksinya atas seseorang yang telah melakukan kejahatan serius yang dikutuk oleh masyarakat internasional (the most serious crimes of concern to the international community as a whole).[21]

    Berdasarkan Pasal 5 Statuta Roma 1998, ICC memiliki yurisdiksi material terhadap 4 jenis tindak pidana, yaitu:

    1. Genosida;
    2. Kejahatan terhadap kemanusiaan;
    3. Kejahatan perang; dan
    4. Kejahatan agresi.

    Kesimpulannya, HHI memiliki aturan dasar yang salah satunya larangan untuk membunuh orang-orang yang dilindungi. Namun, pada kenyataannya ketika perang berlangsung, tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap HHI dapat terjadi. Pelanggaran tersebut dimaknai dengan kejahatan perang. Tindakan kejahatan perang dapat menimbulkan tanggung jawab pidana secara individual. Berdasarkan sejarah, terdapat beberapa peradilan pidana internasional ad hoc yang mengadili pelaku kejahatan perang, seperti International Military Tribunal Nürnberg, International Military Tribunal for the Far East, ICTY, dan ICTR. Selain itu, peradilan pidana internasional yang bersifat tetap adalah ICC yang salah satu yurisdiksi materialnya adalah kejahatan perang.

    Demikian jawaban kami tentang kejahatan perang, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. The Geneva Conventions of 12 August 1949 (Konvensi Jenewa 1949;
    2. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (Protokol Tambahan I 1997);
    3. Protocol Additional to the Geneva Conventions of 12 August 1949 (Protokol Tambahan II 1997)
    4. Rome Statute of the International Criminal Court (Statuta Roma 1998);
    5. Undang-Undang Nomor 59 Tahun 1958 tentang Ikut Serta Negara Republik Indonesia dalam Seluruh Konpensi Jenewa Tanggal 12 Agustus 1949.

    Referensi:

    1. Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009;
    2. Sri Setianingsih Suwardi, Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam Kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Vol. 33, 2003;
    3. Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014;
    4. Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013.

    [1] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 28.

    [2] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 26.

    [3] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 26.

    [4] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 47.

    [5] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 48.

    [6] Ambarwati (et.al), Hukum Humaniter Internasional dalam Studi Hubungan Internasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009, hal. xviii.

    [7] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 49.

    [8] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 49.

    [9] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 114-115.

    [10] Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 50 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, Pasal 8 Ayat (2) huruf a angka i Statuta Roma 1998.

    [11] Pasal 50 Konvensi Jenewa I, Pasal 51 Konvensi Jenewa II, Pasal 130 Konvensi Jenewa III, Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, Pasal 8 Ayat (2) huruf a angka ii Statuta Roma 1998.

    [12] Pasal 147 Konvensi Jenewa IV, Pasal 8 Ayat (2) huruf a angka vii Statuta Roma 1998.

    [13] Pasal 51 Ayat (1) Protokol Tambahan 1997 ke I, Pasal 8 Ayat (2) huruf b angka ii Statuta Roma 1998, dan lain-lain.

    [14] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 124.

    [15] Yustina Trihoni Nalesti Dewi, Kejahatan Perang dalam Hukum Internasional dan Hukum Nasional, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2013, hal. 124.

    [16] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 151.

    [17] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 154-155.

    [18] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 172.

    [19] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 188-189.

    [20] Tolib Effendi, Hukum Pidana Internasional, Yogyakarta: Penerbit Pustaka Yustisia, 2014, hal. 204-206.

    [21] Sri Setianingsih Suwardi, Beberapa Catatan Mahkamah Pidana Internasional (International Criminal Court) dalam Kaitannya dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Jurnal Hukum dan Pembangunan, No. 4, Vol. 33, 2003, hal. 447.

    Tags

    anak hukum
    fakultas hukum

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!