KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ketentuan Pengusahaan Air Tanah oleh Depot Air Minum

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Ketentuan Pengusahaan Air Tanah oleh Depot Air Minum

Ketentuan Pengusahaan Air Tanah oleh Depot Air Minum
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Ketentuan Pengusahaan Air Tanah oleh Depot Air Minum

PERTANYAAN

Apakah usaha depot isi ulang air minum boleh menyedot langsung air tanah di lahan depot itu, sedangkan letak depot ada di perumahan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum menerangkan bahwa air tanah dapat diusahakan menjadi sumber bagi usaha depot air minum dengan memperoleh izin pengusahaan air tanah yang diberikan oleh bupati/walikota dengan batasan-batasan tertentu, salah satunya, yaitu dengan tetap menyediakan cadangan air tanah bagi masyarakat setempat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya.
     
    Penjelasan selengkapnya silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Ketentuan Pengelolaan Air Tanah
    Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah (“PP Air Tanah”) mengatur mengenai keberadaan dan pengelolaan air tanah. Air tanah sendiri didefinisikan sebagai air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di bawah permukaan tanah.[1]
     
    Pengelolaan air tanah sendiri adalah upaya merencanakan, melaksanakan, memantau, mengevaluasi penyelenggaraan konservasi air tanah, pendayagunaan air tanah, dan pengendalian daya rusak air tanah.[2] Pendayagunaan air tanah adalah upaya penatagunaan, penyediaan, penggunaan, pengembangan, dan pengusahaan air tanah secara optimal agar berhasil guna dan berdayaguna.[3]
     
    Pasal 57 ayat (1) PP Air Tanah lebih lanjut menerangkan bahwa pengusahaan air tanah merupakan kegiatan penggunaan air tanah bagi usaha yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan:
    1. bahan baku produksi;
    2. pemanfaatan potensi;
    3. media usaha; atau
    4. bahan pembantu atau proses produksi.
     
    Pengusahaan air tanah dapat dilakukan sepanjang penyediaan air tanah untuk kebutuhan pokok sehari-hari dan pertanian rakyat masyarakat setempat terpenuhi. Pengusahaan dapat berbentuk:[4]
    1. penggunaan air tanah pada suatu lokasi tertentu;
    2. penyadapan akuifer pada kedalaman tertentu; dan/atau
    3. pemanfaatan daya air tanah pada suatu lokasi tertentu.
     
    Pengusahaan air tanah wajib memperhatikan:[5]
    1. rencana pengelolaan air tanah;
    2. kelayakan teknis dan ekonomi;
    3. fungsi sosial air tanah;
    4. kelestarian kondisi dan lingkungan air tanah; dan
    5. ketentuan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Pengusahaan air tanah juga harus memperhatikan ketentuan dalam Pasal 58 PP Air Tanah, yang menyatakan bahwa:
     
    1. Pengusahaan air tanah dilakukan setelah memiliki hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah.
    2. Hak guna usaha air dari pemanfaatan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh melalui izin pengusahaan air tanah yang diberikan oleh bupati/walikota.
    3. Izin pengusahaan air tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha.
     
    Keberadaan Depot Air Minum
    Sebelum lebih jauh membahas legalitas penyedotan air tanah oleh depot air minum (“DAM”) yang menjadi pertanyaan Anda, ada perlunya kita membahas ketentuan hukum mengenai DAM itu sendiri. Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 43 Tahun 2014 tentang Higiene Sanitasi Depot Air Minum (“Permenkes 43/2014”) menerangkan bahwa:
     
    Depot Air Minum yang selanjutnya disingkat DAM adalah usaha yang melakukan proses pengolahan air baku menjadi air minum dalam bentuk curah dan menjual langsung kepada konsumen.
     
    Air minum adalah air yang melalui proses pengolahan atau tanpa proses pengolahan yang memenuhi syarat kesehatan dan dapat langsung diminum.[6] Selanjutnya, Pasal 2 ayat (1) Permenkes 43/2014 berbunyi:
     
    Setiap DAM wajib:
    1. menjamin Air Minum yang dihasilkan memenuhi standar baku mutu atau persyaratan kualitas Air Minum sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
    2. memenuhi persyaratan Higiene Sanitasi dalam pengelolaan Air Minum.
     
    Higiene sanitasi adalah upaya untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya kontaminasi yang berasal dari tempat, peralatan dan penjamah terhadap air minum agar aman dikonsumsi.[7] Persyaratan higiene sanitasi dalam pengelolaan air minum paling sedikit meliputi aspek tempat, peralatan, dan penjamah.[8] Penjamah sendiri adalah orang yang secara langsung menangani proses pengelolaan air minum pada DAM untuk melayani konsumen.[9]
     
    Untuk menerbitkan izin usaha DAM, pemerintah daerah kabupaten/kota harus mempersyaratkan adanya sertifikat laik higiene sanitasi.[10] Sertifikat laik higiene sanitasi adalah bukti tertulis yang dikeluarkan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota atau kantor kesehatan pelabuhan yang menerangkan bahwa DAM telah memenuhi standar baku mutu atau persyaratan kualitas air minum dan persyaratan higiene sanitasi.[11]
     
    Sertifikat laik higiene sanitasi dikeluarkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.[12] Sertifikat laik higiene sanitasi harus dipasang di tempat yang terlihat dan mudah dibaca oleh konsumen.[13]
     
    Selain itu, Pasal 15 Permenkes 43/2014 menerangkan bahwa:
     
    Setiap DAM wajib menyediakan informasi mengenai:
    1. alur pengolahan Air Minum;
    2. masa kadaluarsa alat desinfeksi;
    3. waktu penggantian dan/atau pembersihan filter; dan
    4. sumber dan kualitas air baku.
     
    Sanksi bagi Pengusaha Depot Air Minum yang “Nakal”
    Pasal 92 ayat (1) PP Air Tanah menjelaskan bahwa bupati/walikota mengenakan sanksi administratif kepada setiap pemegang izin yang melanggar:
    1. Ketentuan mengenai perolehan perizinan pengusahaan air tanah dan pengenaan retribusi perizinan;[14]
    2. Ketentuan mengenai eksplorasi air tanah;[15]
    3. Ketentuan mengenai lokasi penggalian air tanah;[16]
    4. Kewajiban pemegang izin pengusahaan air tanah;[17]dan
    5. Pembagian sebagian debit air tanah untuk masyarakat setempat.[18]
     
    Sanksi administratif berupa:[19]
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian sementara seluruh kegiatan; dan
    3. pencabutan izin.
     
    Selain itu, Permenkes 43/2014 juga memiliki mekanisme penjatuhan sanksi, selain yang tercantum dalam PP Air Tanah. Dalam rangka pengawasan, kepala dinas kesehatan kabupaten/kota atau kepala kantor kesehatan pelabuhan dapat memberikan sanksi administratif kepada DAM yang melanggar ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 Permenkes 43/2014.[20] Sanksi administratif dapat berupa:[21]
    1. teguran lisan;
    2. teguran tertulis; dan
    3. pencabutan sertifikat laik higiene sanitasi.
     
    Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat kami, pengusahaan air tanah oleh DAM diperbolehkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan memperhatikan beberapa batasan. Salah satunya yaitu terkait eksistensi cadangan air bagi masyarakat sekitar, agar DAM tidak menyedot seluruh cadangan air tanah di area tersebut. Selain itu, pengusaha DAM juga wajib memperhatikan higiene dari air yang digunakan, termasuk wajib untuk mendapatkan sertifikat laik higiene sanitasi serta memberikan informasi lain yang wajib mudah diakses oleh para konsumen.
     
    Baca juga: Ancaman Pidana Eksploitasi Air Tanah yang Berlebihan
     
    Perlindungan Konsumen
    Patut dipahami bahwa pengusahaan air dalam bentuk DAM juga diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”). Pasal 7 UU 8/1999 menerangkan bahwa:
     
    Kewajiban pelaku usaha adalah:
    1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
    2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
    3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
    4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
    5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
    6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
    7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
     
    Perbuatan yang dilarang untuk dilakukan pelaku usaha, antara lain:
    1. tidak memenuhi atau tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan;[22] dan
    2. memperdagangkan barang yang rusak, cacat atau bekas, dan tercemar tanpa memberikan informasi secara lengkap dan benar atas barang dimaksud.[23]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen;
     

    [1] Pasal 1 angka 1 PP Air Tanah
    [2] Pasal 1 angka 7 PP Air Tanah
    [3] Pasal 1 angka 10 PP Air Tanah
    [4] Pasal 57 ayat (2) dan (3) PP Air Tanah
    [5] Pasal 57 ayat (4) PP Air Tanah
    [6] Pasal 1 angka 2 Permenkes 43/2014
    [7] Pasal 1 angka 3 Permenkes 43/2014
    [8] Pasal 3 ayat (1) Permenkes 43/2014
    [9] Pasal 1 angka 5 Permenkes 43/2014
    [10] Pasal 4 ayat (2) Permenkes 43/2014
    [11] Pasal 1 angka 4 Permenkes 43/2014
    [12] Pasal 5 ayat (1) Permenkes 43/2014
    [13] Pasal 7 Permenkes 43/2014
    [14] Pasal 67 PP Air Tanah
    [15] Pasal 70 PP Air Tanah
    [16] Pasal 71 PP Air Tanah
    [17] Pasal 77 PP Air Tanah
    [18] Pasal 78 PP Air Tanah
    [19] Pasal 92 ayat (2) PP Air Tanah
    [20] Pasal 23 ayat (1) Permenkes 43/2014
    [21] Pasal 23 ayat (2) Permenkes 43/2014
    [22] Pasal 8 ayat (1) huruf a UU 8/1999
    [23] Pasal 8 ayat (2) UU 8/1999

    Tags

    tanah
    pertanahan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perancang Peraturan (Legislative Drafter) Harus Punya Skill Ini

    23 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!