KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah Menghadapi Istri yang Cekcok dengan Ibu Mertua dan Menghina Suami

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Langkah Menghadapi Istri yang Cekcok dengan Ibu Mertua dan Menghina Suami

Langkah Menghadapi Istri yang Cekcok dengan Ibu Mertua dan Menghina Suami
James Peter N. C. Paath, S.H. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
Langkah Menghadapi Istri yang Cekcok dengan Ibu Mertua dan Menghina Suami

PERTANYAAN

Saya sudah 2 tahun menikah dengan istri saya, dalam perjalanannya sering terjadi cekcok antara saya dengan istri, begitu juga antara istri dan ibu saya, salah satunya istri melarang saya mengunjungi ibu kandung saya. Terakhir saya mengunjungi ibu saya, istri saya marah dengan mengirim saya pesan melalui messenger di media sosial. Salah satu isi pesannya adalah menyuruh saya berhubungan badan dengan ibu saya. Menurut saya sangatlah tidak pantas seorang istri mengirimkan kalimat seperti itu kepada suami. Apakah saya sebagai suami dapat mengambil langkah hukum atas kalimat yang disampaikan istri saya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Dalam kasus ini, istri Anda dapat dikategorikan telah melakukan penghinaan ringan terhadap diri Anda, bukan ibu Anda sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
     
    Kendati penghinaan tersebut dilakukan dalam bentuk informasi elektronik, tidak dapat diterapkan ketentuan pidana Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya. Ketentuan pidana lain yang dapat diterapkan dalam perkara ini, yaitu tindak kekerasan psikis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Tetapi untuk dapat dipidana, perlu dilihat apakah terpenuhi unsur akibat dari kekerasan psikis dalam UU PKDRT.
     
    Meski demikian, penyelesaian masalah Anda tetap harus berpijak pada cara kekeluargaan terlebih dahulu, dengan mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan merupakan istri Anda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Dalam kasus ini, istri Anda dapat dikategorikan telah melakukan penghinaan ringan terhadap diri Anda, bukan ibu Anda sebagaimana diatur dalam Pasal 315 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
     
    Kendati penghinaan tersebut dilakukan dalam bentuk informasi elektronik, tidak dapat diterapkan ketentuan pidana Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dan perubahannya. Ketentuan pidana lain yang dapat diterapkan dalam perkara ini, yaitu tindak kekerasan psikis yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”). Tetapi untuk dapat dipidana, perlu dilihat apakah terpenuhi unsur akibat dari kekerasan psikis dalam UU PKDRT.
     
    Meski demikian, penyelesaian masalah Anda tetap harus berpijak pada cara kekeluargaan terlebih dahulu, dengan mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan merupakan istri Anda. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Sebelum mengambil langkah hukum, terlebih dahulu Anda harus memahami ketentuan pidana terhadap kronologis kasus yang telah Anda uraikan.
     
    Ketentuan Pidana Penghinaan Ringan
    Perbuatan yang dilakukan istri Anda terhadap Anda dapat dikatakan sebagai sebuah penghinaan ringan. Delik pidana mengenai penghinaan dirumuskan dalam beberapa pasal pada BAB XVI Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”). Selengkapnya mengenai bentuk-bentuk penghinaan yang ada dalam KUHP dapat dilihat pada artikel Perbuatan-perbuatan yang Termasuk Pencemaran Nama Baik.
     
    Dihubungkan dengan perkara ini, perkataan istri Anda kepada Anda dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan sesuai Pasal 315 KUHP yang berbunyi:
     
    Tiap-tiap penghinaan dengan sengaja yang tidak bersifat pencemaran atau pencemaran tertulis, yang dilakukan terhadap seorang, baik di muka umum dengan lisan atau tulisan, maupun di muka orang itu sendiri dengan lisan atau perbuatan, atau dengan surat yang dikirimkan atau diterimakan kepadanya, diancam karena penghinaan ringan, dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.[1]
     
    Menurut R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 228), dikatakan bahwa jika penghinaan itu dilakukan dengan jalan lain selain “menuduh suatu perbuatan”, misalnya dengan mengatakan “anjing”, “asu”, “sundel”, “bajingan” dan sebagainya, masuk Pasal 315 KUHP dan dinamakan “penghinaan ringan”.
     
    Agar dapat dihukum, kata-kata penghinaan itu baik lisan maupun tulisan harus dilakukan di tempat umum (yang dihina tidak perlu berada di situ). Apabila penghinaan itu tidak dilakukan di tempat umum, maka supaya dapat dihukum:
    1. dengan lisan atau perbuatan, maka orang yang dihina itu harus ada di situ melihat dan mendengar sendiri;
    2. bila dengan surat (tulisan), maka surat itu harus dialamatkan (disampaikan) kepada yang dihina.
     
    Lebih lanjut R. Soesilo menjelaskan penghinaan ringan ini juga dapat dilakukan dengan perbuatan. Menurut R. Soesilo, penghinaan yang dilakukan dengan perbuatan seperti meludahi di mukanya, memegang kepala orang Indonesia, mendorong melepas peci atau ikat kepala orang Indonesia. Demikian pula suatu sodokan, dorongan, tempelengan, dorongan yang sebenarnya merupakan penganiayaan, tetapi bila dilakukan tidak seberapa keras, dapat menimbulkan pula penghinaan.
     
    Mengapa perbuatan istri Anda dapat dikategorikan sebagai penghinaan ringan? Karena menurut R. Soesilo (hal. 225-228) penghinaan dilakukan tanpa menuduh Anda telah melakukan perbuatan tertentu dengan maksud tuduhan itu akan diketahui orang banyak, melainkan merupakan perkataan kasar yang ditujukan kepada Anda. Perlu Kami luruskan dalam perkara ini Pasal 315 KUHP hanya dapat diterapkan atas perkataan istri Anda kepada Anda sendiri sebagai orang yang dihina secara langsung dan bukan terhadap ibu Anda. Hal ini dikarenakan penghinaan tersebut tidak dilakukan di tempat umum (melainkan melalui messenger yang bersifat privat) dan tidak langsung ditujukan kepada ibu Anda.
     
    Penghinaan Ringan Melalui Messenger Tidak Termasuk Penghinaan Dalam UU ITE
    Oleh karena penghinaan terhadap Anda dilakukan dalam bentuk informasi elektronik (messenger), tentu muncul pertanyaan apakah Pasal 27 ayat (3) jo. Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU ITE”) sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”) juga dapat digunakan dalam hal penghinaan ringan Pasal 315 KUHP tetapi berbentuk informasi elektronik? Pertanyaan ini telah menjadi perdebatan dalam praktik penegakan hukum perkara yang serupa.
     
    UU ITE dan perubahannya sendiri tidak memberikan definisi yang lengkap dan jelas mengenai unsur penghinaan. Lebih lanjut Penjelasan Pasal 27 ayat (3) UU 19/2016 mengatur bahwa ketentuan pada ayat ini mengacu pada ketentuan pencemaran nama baik dan/atau fitnah yang diatur dalam KUHP.
     
    Menjawab permasalahan tersebut, Mahkamah Konstitusi melalui pertimbangan [3.17] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 50/PUU-VI/2008 menyatakan
     
    Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak dapat dipisahkan dari norma hukum pokok dalam Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP sebagai genus delict.
     
    Tafsir tersebut telah memberi limitasi pemenuhan unsur penghinaan dalam UU ITE dan perubahannya yang terbatas pada Pasal 310 dan Pasal 311 KUHP, tidak termasuk Pasal 315 KUHP. Oleh karena itu, meskipun dalam perkara ini Anda mendapatkan penghinaan dalam bentuk informasi elektronik (messenger), pasal yang dapat diterapkan tetap mengacu pada penghinaan ringan Pasal 315 KUHP.
     
    Melengkapi wawasan mengenai hal tersebut, baca juga penjelasan Ketua Umum Indonesia Cyber Law Community (ICLC), Teguh Arifiyadi, S.H., M.H., CEH., CHFI. serta ahli lainnya dalam artikel Benarkah Body Shaming Melanggar UU ITE? Simak Pendapat Para Ahli.
     
    Praktik penerapan ketentuan tersebut dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara Nomor 121/Pid.C/2017/PN.Jkt.Utr, bahwa dalam perkara ini terdakwa terbukti bersalah memberikan kata-kata penghinaan terhadap korban melalui percakapan telepon, penghinaan melalui telepon tersebut dapat dikategorikan informasi elektronik berupa suara. Namun, penegakan hukumnya sejak penyidikan hingga putusan tetap menggunakan ketentuan penghinaan ringan Pasal 315 KUHP dengan hukum acara cepat. Majelis hakim menjatuhkan pidana terhadap terdakwa dengan pidana kurungan selama 7 (tujuh) hari, dan menetapkan pidana penjara tersebut tidak perlu dijalani kecuali apabila dikemudian hari ada perintah hakim karena terdakwa melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum dalam masa percobaan selama 1 (satu) bulan.
     
    Jika Penghinaan Menimbulkan Akibat Psikis
    Anda dan istri masuk ke dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (“UU PKDRT”).
     
    Menurut UU PKDRT, tindakan istri terhadap Anda dapat dikatakan sebagai sebuah kekerasan psikis. Pasal 5 huruf b UU PKDRT melarang setiap orang dalam lingkup rumah tangga melakukan kekerasan psikis, setiap orang yang melakukannya (dalam hal ini istri terhadap suami) diancam dengan pidana paling lama 4 (empat) tahun atau denda paling banyak Rp 3 juta sesuai Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT.
     
    Namun, untuk melihat apakah telah terjadi kekerasan psikis atau tidak, dalam perkara ini harus dibuktikan bagaimana akibat yang ditimbulkan dari perkataan istri terhadap Anda, kita harus memahami dulu pengertian kekerasan psikis, sebagaimana diuraikan Pasal 7 UU PKDRT yaitu:
     
    Kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang.
     
    Sebagai contoh perbandingan penerapan kekerasan psikis UU PKDRT dengan penghinaan KUHP, dapat kita lihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 4435/Pid.B/2008/PN.Sby. Terdakwa telah terbukti secara sah dan menyakinkan telah melakukan kekerasan psikis terhadap istrinya. Dengan mengatakan kata “sebagai istri kamu kok tega mengambil uang perusahaan, kalau begitu apa bedanya kamu dengan maling”. Akibat perbuatannya, terdakwa dihukum pidana penjara selama 6 (enam) bulan dan menetapkan bahwa hukuman itu tidak dijalankan olehnya, kecuali dengan putusan Hakim bahwa Terdakwa sebelum berakhir masa percobaan selama 1 (satu) tahun berdasarkan Pasal 5 huruf b jo. Pasal 45 UU PKDRT.
     
    Langkah Hukum yang dapat Dilakukan
    Setelah memahami ketentuan pemidanaan terkait dalam kasus Anda, langkah hukum yang dapat Anda lakukan yakni membuat pengaduan kepada kepolisian bahwa Anda menjadi korban tindak pidana penghinaan ringan berdasarkan Pasal 315 KUHP atau tindak pidana kekerasan psikis dalam rumah tangga berdasarkan Pasal 5 huruf b jo. Pasal 7 jo. Pasal 45 ayat (2) UU PKDRT. Oleh karena kedua pasal tersebut merupakan delik aduan,[2] maka pengaduan harus dilakukan oleh Anda Anda sendiri, dengan mengikuti ketentuan pengaduan Pasal 72 – Pasal 75 KUHP. Mengenai tata cara pengaduan di kepolisian simak artikel berikut: Prosedur Melaporkan Peristiwa Pidana ke Kantor Polisi.
     
    Hal terakhir yang penting untuk Anda ketahui yaitu Anda memiliki hak untuk membuat pengaduan, hal ini sehubungan dengan hak yang disebutkan dalam Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) yang menyatakan:
     
    Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan hak miliknya.
     
    Namun, penyelesaian masalah Anda tetap harus berpijak pada salah satu dasar aliran modern dalam tujuan hukum pidana sebagaimana dikemukan oleh Eddy O.S dalam bukunya Prinsip-Prinsip Hukum Pidana (hal. 32) yaitu “hukum pidana merupakan ultimum remedium” yang berarti hukum pidana merupakan sarana terakhir untuk menyelesaikan permasalahan jika cara lain sudah tidak dapat digunakan. Oleh karena itu hendaknya permasalahan ini diselesaikan secara kekeluargaan terlebih dahulu, dengan mempertimbangkan bahwa yang bersangkutan merupakan istri Anda.
     
    Demikian jawaban kami semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
    1. Putusan Pengadilan Negeri Surabaya Nomor 4435/Pid.B/2008/PN.Sby;
     
    Referensi:
    1. R.Soesilo.2013. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentarnya Pasal Demi Pasal, Bogor : Politeia;
    2. Hiariej, Eddy O.S., 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Yogyakarta : Cahaya Atma Pusaka.
     

    [1] Pasal 3 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 2012 tentang Penyesuaian Batasan Tindak Pidana Ringan Dan Jumlah Denda Dalam KUHP mengatur tentang jumlah denda dilipatgandakan menjadi 1.000 (seribu) kali
    [2] Pasal 52 UU PKDRT

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Catat! Ini 3 Aspek Hukum untuk Mendirikan Startup

    9 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!