Macam-macam Perjanjian dan Syarat Sahnya
Perdata

Macam-macam Perjanjian dan Syarat Sahnya

Bacaan 6 Menit

Pertanyaan

Apabila ada para pihak yang membuat suatu kontrak, di mana para pihak sama-sama WNI, namun para pihak menggunakan Bahasa Inggris dalam kontrak yang disepakati, dan dalam klausula kontrak tersebut, para pihak sepakat akan menggunakan Badan Arbitrase di luar wilayah Indonesia apabila terjadi sengketa, apakah ada dasar hukum yang dapat mempertegas kesepakatan dalam penggunaan bahasa tersebut? Mohon penjelasannya.

Intisari Jawaban

circle with chevron up

Kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu. Sebuah kontrak/perjanjian harus memenuhi 4 syarat sah perjanjian yang diatur dalam KUH Perdata.

Lalu, bagaimana dengan penggunaan bahasa dalam perjanjian?

Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Hukum Perjanjian yang dibuat oleh Shanti Rachmadsyah, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 3 Agustus 2010.

Sebelum menjawab inti pertanyaan Anda, ada baiknya kami jelaskan terlebih dahulu mengenai definisi, syarat sah, dan macam-macam perjanjian.

Definisi dan Syarat Sah Perjanjian

Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis menyatakan bahwa kontrak merupakan bagian dari pengertian perjanjian. Perjanjian sebagai suatu kontrak merupakan perikatan yang mempunyai konsekuensi hukum yang mengikat para pihak yang pelaksanaannya akan berhubungan dengan hukum kekayaan dari masing-masing pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut.[1]

Pasal 1338 KUH Perdata mengatur mengenai asas kebebasan berkontrak yang berbunyi:

Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Melalui hal ini dapat dilihat bahwa para pihak dalam kontrak bebas untuk membuat perjanjian, apapun isinya dan bagaimanapun bentuknya atau dengan kata lain semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku bagi undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Pada intinya, kontrak adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang melahirkan suatu kewajiban, baik untuk berbuat maupun tidak berbuat sesuatu.

Penjelasan lebih lanjut tentang asas-asas utama dalam kontrak perdata dapat Anda simak dalam Asas-asas Hukum Kontrak Perdata yang Harus Kamu Tahu.

Syarat Sah Perjanjian

Meskipun demikian, asas kebebasan berkontrak bukan berarti bebas tanpa batas (mutlak). Setiap pihak yang membuat perjanjian harus memenuhi syarat sah perjanjian.

Pasal 1320 KUH Perdata mengatur 4 syarat sah perjanjian yaitu:

  1. Kesepakatan para pihak

Kesepakatan berarti ada persesuaian kehendak yang bebas antara para pihak mengenai hal-hal pokok yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal ini, antara para pihak harus mempunyai kemauan yang bebas (sukarela) untuk mengikatkan diri, di mana kesepakatan itu dapat dinyatakan secara tegas maupun diam-diam. Bebas di sini artinya adalah bebas dari kekhilafan, paksaan, dan penipuan. Secara a contrario, berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, perjanjian menjadi tidak sah, apabila kesepakatan terjadi karena adanya unsur-unsur kekhilafan, paksaan, atau penipuan.

  1. Kecakapan para pihak

Menurut Pasal 1329 KUH Perdata, pada dasarnya semua orang cakap dalam membuat perjanjian, kecuali ditentukan tidak cakap menurut undang-undang.

  1. Mengenai suatu hal tertentu

Hal tertentu artinya adalah apa yang diperjanjikan hak-hak dan kewajiban kedua belah pihak, yang paling tidak barang yang dimaksudkan dalam perjanjian ditentukan jenisnya dan merupakan barang-barang yang dapat diperdagangkan.[2]

  1. Sebab yang halal

Sebab yang halal adalah isi perjanjian itu sendiri, yang menggambarkan tujuan yang akan dicapai oleh para pihak. Isi dari perjanjian itu tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, maupun dengan ketertiban umum.[3]

Macam-Macam Perjanjian

Perjanjian dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu perjanjian obligatoir dan perjanjian non obligatoir.[4] 

Perjanjian obligatoir adalah perjanjian yang mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu.[5] Terdapat 4 macam perjanjian obligatoir:[6]

  1. Perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik

Perjanjian sepihak adalah perjanjian yang membebankan prestasi kepada satu pihak. Sedangkan perjanjian timbal balik adalah perjanjian yang membebankan prestasi antara kedua belah pihak.

  1. Perjanjian cuma-cuma dan perjanjian atas beban

Perjanjian cuma-cuma adalah perjanjian di mana pihak yang satu memberikan suatu keuntungan kepada pihak yang lain tanpa menerima suatu manfaat bagi dirinya. Sementara perjanjian atas beban adalah perjanjian yang mewajibkan masing-masing pihak memberikan prestasi.

  1. Perjanjian konsensuil, perjanjian riil dan perjanjian formil

Perjanjian konsensuil, yaitu perjanjian yang mengikat sejak detik tercapainya kata sepakat dari kedua belah pihak. Sedangkan perjanjian riil adalah perjanjian yang tidak hanya mensyaratkan kesepakatan, namun juga mensyaratkan penyerahan objek perjanjian atau bendanya. Adapun perjanjian formil adalah perjanjian yang terikat dengan formalitas tertentu, dalam hal ini sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.

  1. Perjanjian bernama, perjanjian tak bernama dan perjanjian campuran

Perjanjian bernama adalah perjanjian yang secara khusus diatur di dalam undang-undang. Perjanjian tak bernama adalah perjanjian yang tidak diatur secara khusus di dalam undang-undang. Sedangkan perjanjian campuran adalah perjanjian yang merupakan kombinasi dari dua atau lebih perjanjian bernama.

Sedangkan perjanjian non obligatoir merupakan perjanjian yang tidak mewajibkan seseorang untuk menyerahkan atau membayar sesuatu,[7] yang terbagi menjadi 4:[8]

  1. Zakelijk overeenkomst, yaitu perjanjian yang menetapkan dipidindahkannya suatu hak dari seseorang kepada orang lain.
  2. Bevifs overeenkomst, yaitu perjanjian untuk membuktikan sesuatu.
  3. Liberatoir overeenkomst, yaitu perjanjian ketika seseorang membebaskan pihak lain dari suatu kewajiban.
  4. Vaststelling overenkomst, yaitu perjanjian untuk mengakhiri perselisihan yang ada di muka pengadilan.

Baca juga: Cara Menafsirkan Perjanjian Menurut KUH Perdata

Penggunaan Bahasa dalam Perjanjian

Berangkat dari pemaparan di atas, dapat dilihat bahwa suatu perjanjian tidak boleh melanggar undang-undang.

Selanjutnya, menjawab pertanyaan Anda, Pasal 31 UU 24/2009 menyatakan secara gamblang bahwa:

Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.

Melalui ketentuan ini jelas bahwa untuk kontrak yang para pihaknya adalah warga negara Indonesia wajib untuk menggunakan Bahasa Indonesia.

Hal serupa juga dinyatakan oleh Rosa Agustina sebagaimana dijelaskan dalam artikel Kewajiban Kontrak Berbahasa Indonesia Resahkan Advokat, bahwa Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tidak bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang berlaku di hukum perdata. Rosa menjelaskan asas kebebasan berkontrak tetap memiliki batasan, salah satunya undang-undang (lihat Pasal 1337 KUH Perdata). Dia juga memandang rumusan pasal tersebut dapat meminimalisir selisih paham mengenai penafsiran serta istilah-istilah dalam perjanjian.

Tidak dipenuhinya ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 bisa menjadi alasan bagi salah satu pihak untuk menuntut batal demi hukum perjanjian yang tidak menggunakan Bahasa Indonesia tersebut. Alasannya, kontrak tidak memenuhi unsur ‘sebab atau kausa yang halal’ sebagaimana disyaratkan Pasal 1320 jo. Pasal 1337 KUH Perdata.

Baca juga: Waspada Kontrak Batal Demi Hukum Gara-Gara Bahasa Indonesia

Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

Demikian jawaban kami. Semoga bermanfaat.

Dasar Hukum:

  1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
  2. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan.

Referensi:

  1. Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002;
  2. Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Pub), 2011.

[1] Ricardo Simanjuntak, Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Pub), 2011, hal. 30-32

[2] Pasal 1332 dan 1333 KUH Perdata

[3] Pasal 1337 KUH Perdata

[4] Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002, hal. 169.

[5] Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002, hal. 169.

[6] Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002, hal. 171.

[7] Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002, hal. 171.

[8] Komariah, Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang), 2002, hal. 171.

Tags: