Saya punya satu anak perempuan. karena suami selingkuh, kami pisah ranjang. Saya pulang ke rumah orang tua dan anak saya dikuasai dan diasuh oleh mertua karena suami bekerja sebagai PNS. Saya tidak boleh menemui anak dan selalu diusir serta berebut dengan suami dan mertua. Saya juga sering dicaci dengan kalimat kasar oleh suami dan mertua. Apakah saya bisa menuntut mertua secara pidana sesuai Pasal 330 KUHP? Terima kasih.
Daftar Isi
INTISARI JAWABAN
Anda mempunyai hak untuk mengasuh anak Anda dan anak Anda juga mempunyai hak untuk diasuh oleh Anda sebagai orang tuanya. Namun hal tersebut dapat dikecualikan jika mertua Anda dapat membuktikan bahwa memisahkan Anda dengan anak Anda adalah hal yang terbaik bagi perkembangan anak Anda.
Akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jadi, sebaiknya Anda membicarakan baik-baik secara kekeluargaan mengenai hal ini dengan suami Anda serta mertua Anda.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Menuntut Mertua yang Melarang Menemui Anak Sendiriyang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 26 November 2013.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Mertua yang Melarang Menemui Anak Sendiri
Sebelumnya, kami luruskan bahwa istilah “menuntut” merupakan tugas dan wewenang kejaksaan di bidang pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 30 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Oleh karena itu, kami asumsikan maksud Anda adalah melaporkan pidana mertua Anda kepada pihak berwajib atas perbuatannya yang melarang Anda untuk menemui anak sendiri.
Setiap anak juga mempunyai hak untuk dibesarkan dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Mengenai hal ini ada pengecualian, yaitu jika ada alasan bahwa orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang si anak, atau anak dalam keadaan terlantar, maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau atau anak angkat oleh orang lain.[1]
Hal serupa juga disebutkan dalam Pasal 14 ayat (1) UU 35/2014 bahwa setiap anak berhak untuk diasuh oleh orang tuanya sendiri, kecuali jika ada alasan dan/atau aturan hukum yang sah menunjukkan bahwa pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir.
Namun perlu dipahami bahwa pemisahan ini antara lain pemisahan akibat perceraian dan situasi lainnya dengan tidak menghilangkan hubungan anak dengan kedua orang tuanya, seperti anak yang ditinggal orang tuanya ke luar negeri untuk bekerja, anak yang orang tuanya ditahan atau dipenjara.[2]
Dalam hal terjadi pemisahan, anak tetap berhak:[3]
bertemu langsung dan berhubungan pribadi secara tetap dengan kedua orang tuanya;
mendapatkan pengasuhan, pemeliharaan, pendidikan dan perlindungan untuk proses tumbuh kembang dari kedua orang tuanya sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya;
memperoleh pembiayaan hidup dari kedua orang tuanya; dan
memperoleh hak anak lainnya.
Sehingga berdasarkan hal-hal di atas, Anda mempunyai hak untuk mengasuh anak Anda dan anak Anda juga mempunyai hak untuk diasuh oleh Anda sebagai orang tuanya. Namun hal tersebut dapat dikecualikan jika mertua Anda dapat membuktikan bahwa memisahkan Anda dengan anak Anda adalah hal yang terbaik bagi perkembangan anak Anda.
Melaporkan Pidana Mertua yang Melarang Menemui Anak Sendiri
Mengenai tindakan melaporkan pidana mertua Anda berdasarkan Pasal 330 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana(“KUHP”), sebelumnya kami akan menjabarkan terlebih dahulu isi pasal tersebut:
Barang siapa dengan sengaja menarik seorang yang belum cukup umur dari kekuasaan yang menurut undang-undang ditentukan atas dirinya, atau dari pengawasan orang yang berwenang untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
Bilamana dalam hal ini dilakukan tipu muslihat, kekerasan atau ancaman kekerasan, atau bilamana anaknya belum berumur dua belas tahun, dijatuhkan pidana penjara paling lama sembilan tahun.
R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 235), menjelaskan mengenai pasal ini, bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini adalah orang yang dengan sengaja mencabut (melarikan) orang yang belum dewasa dari kekuasaan orang yang berhak. Orang yang belum dewasa adalah orang yang belum berumur 21 (dua puluh satu) tahun atau belum pernah kawin, baik laki-laki maupun perempuan.
Masih dari sumber yang sama, R. Soesilo mengatakan bahwa dalam hal ini harus dapat dibuktikan bahwa pelaku yang mencabut (melarikan) itu, bukan anaknya sendiri (dengan kemauan sendiri) yang melepaskan (lari) dari orang tuanya. Karena menurut arrest Hoge Raad 2 November 1903, jika anak yang belum dewasa dengan kemauannya sendiri melepaskan dirinya dari kekuasaan wali dan sebagainya, dan lalu lari dan pergi meminta perlindungan kepada seseorang lain dan orang itu menolak untuk menyerahkan kembali anak itu kepada walinya dan sebagainya, maka penolakan dari perlindungannya yang terakhir ini tidak dapat dinamakan perbuatan “mencabut anak belum dewasa dari kekuasaan wali dan sebagainya”.
Terkait batasan usia dewasa dalam Pasal 330 KUHP, S.R. Sianturi dalam bukunya yang berjudul Tindak Pidana di KUHP Berikut Uraiannya merujuk kepada UU Perkawinan yang menentukan: “Perkawinan hanya diijinkan jika ………………. pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun.” S.R. Sianturi berpendapat bahwa yang belum dewasa adalah di bawah umur 16 tahun.
Mengenai batasan usia dewasa dalam konteks ini, kami cenderung merujuk pada ketentuan dalam Pasal 1 angka 1 UU 35/2014 yaitu anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Jadi, yang dikategorikan belum dewasa adalah mereka yang belum berusia 18 tahun.
Jadi selama Anda dapat membuktikan bahwa mertua Anda membawa anak Anda bukan dengan kemauan anak Anda, Anda dapat melaporkannya ke pihak berwajib dengan Pasal 330 KUHP.
Akan tetapi sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum pidana merupakan ultimum remedium (upaya terakhir). Jadi, sebaiknya Anda membicarakan baik-baik secara kekeluargaan mengenai hal ini dengan suami Anda serta mertua Anda. Simak juga artikel Arti Ultimum Remedium.