Outsourcing atau Alih Daya
Perlu diketahui, sebelum terbit UU Cipta Kerja, outsourcing diartikan sebagai penyerahan sebagian pekerjaan kepada perusahaan lain yang dilakukan melalui dua mekanisme yaitu perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh.
Kini istilah outsourcing dikenal dengan alih daya dalam Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 66 UU Ketenagakerjaan, di mana hubungan kerja perusahaan alih daya atau outsourcing dengan karyawan outsourcing didasarkan pada perjanjian kerja tertulis, baik itu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) maupun perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT).[1]
klinik Terkait :
Adapun menurut Pasal 1 angka 14 PP 35/2021 disebutkan:
Perusahaan Alih Daya adalah badan usaha berbentuk badan hukum yang memenuhi syarat untuk melaksanakan pekerjaan tertentu berdasarkan perjanjian yang disepakati dengan Perusahaan pemberi pekerjaan.
Perusahaan alih daya harus berbentuk badan hukum dan wajib memenuhi perizinan berusaha yang diterbitkan oleh pemerintah pusat.[2] Apabila perusahaan alih daya tidak memenuhi perizinan, maka dikenakan sanksi administratif oleh pemerintah pusat.[3]
Sehingga, singkatnya dalam outsourcing terdapat tiga pihak yaitu mencakup karyawan outsourcing, perusahaan alih daya, dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Perjanjian Kerja Outsourcing
Menyambung pertanyaan Anda, disebutkan bahwa kontrak atau perjanjian outsourcing tidak kunjung diberikan sehingga hak dan kewajiban karyawan outsourcing tidak jelas dan bahkan diminta bekerja di luar kompetensi.
Rekomendasi Berita :
Sebagaimana telah disampaikan di awal, hubungan kerja dalam outsourcing dilakukan antara perusahaan alih daya dengan karyawan outsourcing yang didasarkan pada perjanjian kerja tertulis.
Suatu perjanjian memang dapat lebih mudah, jelas, dan bisa menjadi pegangan para pihak apabila dibuat perjanjian tertulis. Sedangkan perjanjian yang dibuat secara lisan memiliki risiko hukum jika di kemudian hari terjadi perselisihan, akan menjadi sulit dalam hal pembuktian.
Oleh karena itu, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah BUMN yang Anda maksud merupakan perusahaan alih daya atau perusahaan pemberi kerja. Sebab, perjanjian kerja yang menimbulkan hubungan kerja dilakukan antara perusahaan alih daya dengan karyawan outsourcing.
Jadi, perjanjian kerja yang tidak kunjung Anda terima itu menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya, dan bukan perusahaan pemberi kerja. Hal ini sehubungan pula dengan bunyi Pasal 18 ayat (3) PP 35/2021:
Pelindungan Pekerja/Buruh, Upah, kesejahteraan, syarat kerja, dan perselisihan yang timbul dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan menjadi tanggung jawab Perusahaan Alih Daya.
Baca juga: Apakah Pekerja Outsourcing Berhak Dapat Kompensasi?
Hukumonline Bagi-Bagi THR! Buat ucapan Selamat Lebaran dengan menggunakan dua istilah hukum di kolom comment instagram Hukumonline selama periode 20 - 25 April 2022. Ada total hadiah Rp1,5jt untuk para pemenang dengan ucapan yg paling menarik dan kreatif. Yuk segera ikutan di sini!
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
- Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta kerja;
- Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
[1] Pasal 81 angka 20 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 66 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”)
[2] Pasal 81 angka 20 UU Cipta Kerja yang mengubah 66 ayat (4) UU Ketenagakerjaan jo. Pasal 20 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja
[3] Pasal 81 angka 67 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 190 UU Ketenagakerjaan