Mengenal Gugatan Lain-lain dalam Kepailitan
Perdata

Mengenal Gugatan Lain-lain dalam Kepailitan

Pertanyaan

Saya baru dengar istilah gugatan lain-lain, apakah maksudnya? Mohon penjelasannya tentang fungsi dan tata cara gugatan lain-lain ini. Terima kasih.

Intisari Jawaban

circle with chevron up
Gugatan lain-lain diatur dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang terdiri dari beberapa jenis gugatan.
 
Gugatan apa saja yang termasuk gugatan lain-lain dan bagaimana aturan prosedurnya?
 
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

Ulasan Lengkap

 
Gugatan
Gugatan menurut Sudikno Mertokusumo merupakan suatu tuntutan hak yang memiliki tujuan memperoleh perlindungan hak yang diberikan pengadilan agar dapat mencegah perbuatan main hakim sendiri (eignerichting).[1] Hukum acara perdata memberikan wadah bagi masyarakat untuk mendapatkan haknya yaitu melalui upaya pengajuan gugatan baik permohonan (gugatan voluntair) maupun gugatan kontentiosa.[2] Adapun secara singkatnya perbedaan dari permohonan dan gugatan adalah sebagai berikut:
  1. Permohonan[3]
  1. Permasalahan yang diajukan bersifat kepentingan sepihak;
  2. Permasalahan tanpa adanya sengketa;
  3. Tidak terdapat pihak lain atau pihak ketiga yang ditarik sebagai lawan;
  4. Para pihak terdiri dari Pemohon dan Termohon.
 
  1. Gugatan[4]
  1. Permasalahan yang diajukan mengandung sengketa;
  2. Sengketa yang terjadi terdapat paling kurang ada dua pihak;
  3. Terdapat pihak lain yang ditarik sebagai pihak lawan;
  4. Para pihak terdiri dari Penggugat dan Tergugat.
 
Gugatan Lain-lain
Kemudian, merujuk pada pertanyaan yang Anda ajukan, “gugatan lain-lain” merupakan suatu gugatan yang termasuk ke dalam ranah hukum acara perdata. Adapun gugatan lain-lain tersebut, setelah kami menelusuri dari berbagai sumber, tidak diatur secara ekplisit.
 
Yang menjadi dasar hukum dari gugatan lain-lain adalah Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU KPKPU”) yang berbunyi:
 
Putusan atas permohonan pernyataan pailit dan hal-hal lain yang berkaitan dan/atau diatur dalam Undang-Undang ini, diputuskan oleh Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi daerah tempat kedudukan hukum Debitor.
 
Dalam pasal di atas apabila dibaca dengan teliti maka jelas telah diatur mengenai gugatan hal-hal lain.
 
Adapun frasa “hal-hal lain” ini dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi sebagai berikut:
 
Yang dimaksud dengan “hal-hal lain”, adalah antara lain, actio pauliana, perlawanan pihak ketiga terhadap penyitaan, atau perkara dimana debitor, kreditor, kurator, atau pengurus menjadi salah satu pihak dalam perkara yang berkaitan dengan harta pailit termasuk gugatan Kurator terhadap Direksi yang menyebabkan perseroan dinyatakan pailit karena kelalaiannya atau kesalahannya. Hukum Acara yang berlaku dalam mengadili perkara yang termasuk “hal-hal lain” adalah sama dengan Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit termasuk mengenai pembatasan jangka waktu penyelesaiannya.
 
Merujuk pada penjelasan di atas maka gugatan lain-lain atau hal-hal lainnya terdiri dari beberapa macam yaitu:
 
  1. Gugatan Actio Pauliana
Pada dasarnya, actio pauliana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yang pada intinya merupakan perbuatan hukum yang dilakukan oleh kreditor dengan mengajukan permohonan pada hakim agar tindakan yang dilakukan oleh debitor dibatalkan karena telah merugikan kreditor.[5] Pembatalan hanya dapat dilakukan apabila dapat dibuktikan bahwa pada saat perbuatan hukum dilakukan, debitor dan pihak dengan siapa perbuatan hukum tersebut dilakukan mengetahui atau sepatutnya mengetahui bahwa perbuatan hukum tersebut akan mengakibatkan kerugian bagi kreditor.[6] Misalnya, debitor yang melakukan hibah.[7]
 
Penjelasan lebih lanjut mengenai hal ini dapat Anda simak dalam artikel Dapatkah Actio Pauliana Dilakukan pada Aset yang Dibebani Hak Tanggungan?.
 
  1. Gugatan Perlawanan Pihak Ketiga Terhadap Penyitaan
Dalam hukum perdata, apabila sebuah barang yang disita merupakan milik pihak ketiga, maka dapat diajukan derden verzet (perlawanan pihak ketiga) terhadap consevatoir beslag (sita jaminan).[8] Maka, ketentuan dalam UU KPKPU ini dapat dijadikan dasar bahwa derden verzet juga dapat diajukan dalam kasus kepailitan, yang masuk dalam kategori gugatan lain-lain.  
 
Adapun mengenai perlawanan tersebut dalam konteks harta pailit berkaitan dengan ketentuan Pasal 26 ayat (1) UU KPKPU yang berbunyi:
 
Tuntutan mengenai hak atau kewajiban yang menyangkut harta pailit harus diajukan oleh atau terhadap Kurator.
 
  1. Gugatan Perkara di Mana Debitor, Kreditor, Kurator, atau Pengurus Menjadi Salah Satu Pihak dalam Perkara yang Berkaitan dengan Harta Pailit Termasuk Gugatan Kurator Terhadap Direksi yang Menyebabkan Perseroan Dinyatakan Pailit karena Kelalaiannya atau Kesalahannya
Dalam hal kepailitan terjadi karena kesalahan atau kelalaian direksi dan harta pailit tidak cukup untuk membayar seluruh kewajiban perseroan dalam kepailitan, setiap anggota direksi secara tanggung renteng bertanggung jawab atas seluruh kewajiban yang tidak terlunasi dari harta pailit tersebut.[9] Atas dasar ketentuan tersebut, kurator dapat melakukan gugatan terhadap anggota direksi terkait.
 
Kemudian, berkaitan dengan pertanyaan Anda mengenai tata cara mengajukan gugatan lain-lain, dijelaskan dalam Penjelasan Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 299 UU KPKPU bahwa hukum acara yang berlaku adalah sama dengan hukum acara perdata yang berlaku bagi perkara permohonan pernyataan pailit.
 
Dengan demikian, sebagaimana perkara permohonan pailit, gugatan lain-lain diajukan ke Pengadilan Niaga yang berada di lingkungan peradilan umum.[10] Selanjutnya, perlu diketahui bahwa di Indonesia Pengadilan Niaga hanya berjumlah 5 yang berada di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,[11] Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.[12]
 
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
 
Dasar Hukum:             
  1. Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang.
 
Referensi:
  1. M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008;
  2. Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 2002;
  3. Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, diakses pada 7 April 2021, pukul 20.33 WIB.
 

[1] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty), 2002 (hal. 52)
[2] M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008 (hal. 28-137)
[3] M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008 (hal. 29)
[4] M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008 (hal. 47)
[5] Pasal 1341 KUH Perdata dan Pasal 41 ayat (1) UU KPKPU.
[6] Pasal 41 ayat (2) UU KPKPU
[7] Pasal 43 UU Kepailitan dan PKPU.
[8] M. Yahya Harahap, Hukum, Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika), 2008 (hal. 355 – 356)
[10] Penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman jo. Pasal 1 angka 7 UU KPKPU.
[11] Pasal 306 UU KPKPU.
[12] Keputusan Presiden Nomor 97 Tahun 1999 tentang Pembentukan Pengadilan Niaga Pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang, Pengadilan Negeri Medan, Pengadilan Negeri Surabaya, dan Pengadilan Negeri Semarang
Tags: