Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Mengenal Sanksi Paksaan Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Mengenal Sanksi Paksaan Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia

Mengenal Sanksi Paksaan Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Mengenal Sanksi Paksaan Pemerintah dan Penerapannya di Indonesia

PERTANYAAN

Mohon bantuannya untuk penjelasan mengenai sanksi administratif paksaan pemerintah, apakah ada peraturan dan dasar hukum atau analisis dari ahli yang sekiranya dapat menginterpretasikannya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata (feitelijk handeling) oleh penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau bila masih melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan karena bertentangan dengan undang-undang.

    Ketentuan paksaan pemerintah sebagai salah satu bentuk sanksi administratif dapat dijumpai di antaranya dalam Pasal 508 ayat (1) PP 22/2021 yang merupakan peraturan pelaksana UU PPLH.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Sebelum membahas lebih lanjut mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan pemerintah, ada baiknya kita pahami terlebih dahulu apa yang dimaksud dengan sanksi administratif.

    Apa Itu Sanksi Administratif?

    Sanksi administratif adalah inti dari penegakan hukum administrasi yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum administrasi negara, yang memiliki unsur meliputi alat kekuasaan (machtsmiddelen), bersifat hukum publik (publiekrechtelijk), digunakan oleh penguasa (overheid), dan sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan (reactive op niet-naleving).[1]

    KLINIK TERKAIT

    Perkara Pertanahan, Wewenang PTUN atau PN?

    Perkara Pertanahan, Wewenang PTUN atau PN?

    Adapun dalam lingkup perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (“PPLH”), yang dimaksud dengan sanksi administratif adalah perangkat sarana hukum administrasi yang bersifat pembebanan kewajiban/perintah dan/atau penarikan kembali keputusan tata usaha negara yang dikenakan kepada penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan atas dasar ketidaktaatan terhadap ketentuan yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang PPLH serta perizinan berusaha atau persetujuan pemerintah.[2]

    Sanksi administratif dianggap sebagai sarana hukum publik berupa penjatuhan beban oleh pemerintah kepada rakyatnya sebagai respons atas ketidaktaatan terhadap kewajiban yang muncul dari peraturan perundang-undangan.[3]

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Jenis sanksi dalam hukum administrasi negara meliputi:[4]

    1. Paksaan pemerintahan (bestuursdwang);
    2. Penarikan kembali keputusan yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi):
    3. Denda administrasi;
    4. Uang paksa (dwangsom).

    Apa Itu Paksaan Pemerintah?

    Paksaan pemerintah (bestuursdwang) merupakan tindakan nyata (feitelijk handeling) oleh penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau bila masih melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan karena bertentangan dengan undang-undang.[5]

    Paksaan pemerintah merupakan contoh dari sanksi reparatoir, yakni sanksi atas pelanggaran norma yang ditujukan untuk mengembalikan pada kondisi semula atau menempatkan pada situasi yang sesuai dengan kondisi hukum. Dengan kata lain, mengembalikan pada keadaan semula sebelum terjadinya pelanggaran.[6]

    Definisi paksaan pemerintah juga dapat dijumpai dalam Lampiran Permen LH 2/2013 (hal. 4), yang mendefinisikan paksaan pemerintah sebagai sanksi administratif berupa tindakan nyata untuk menghentikan pelanggaran dan/atau memulihkan dalam keadaan semula.

    Terhadap konsepsi paksaan pemerintah yang diberikan tersebut, Andri Gunawan Wibisana dalam artikel berjudul Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia (hal. 43) berpendapat bahwasannya UU PPLH dan Permen LH 2/2013 keliru dalam memahami paksaan pemerintah. Dalam hal ini, paksaan pemerintah diartikan semata-mata sebagai sebuah tindakan hukum (rechtelijk handelen), tanpa disertai dengan adanya tindakan nyata (feitelijk handelen).

    Dasar Hukum Paksaan Pemerintah

    Paksaan pemerintah sebagai salah satu bentuk sanksi administratif salah satunya dapat dijumpai dalam Pasal 508 ayat (1) PP 22/2021 yang merupakan peraturan pelaksana UU PPLH yang berbunyi:

    (1) Sanksi Administratif berupa:

    1. teguran tertulis;
    2. paksaan pemerintah:
    3. denda administratif;
    4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
    5. pencabutan Perizinan Berusaha.

    Sebagai informasi tambahan, sanksi administratif berupa paksaan pemerintah ini sebelumnya diatur dalam Pasal 76 UU PPLH. Namun, bunyi Pasal 76 UU PPLH diubah oleh Pasal 22 angka 28 UU Cipta Kerja dan kini aturan mengenai paksaan pemerintah diatur lebih spesifik dalam PP 22/2021. Jadi, jika ditinjau dari segi historisnya, pengaturan mengenai paksaan pemerintah sebagai salah satu bentuk sanksi administratif bagi pelanggar dalam lingkup PPLH bukanlah hal yang baru.

    Oleh karena itu, untuk mempersempit lingkup pembahasan ini, kami akan mengulas mengenai sanksi administratif berupa paksaan pemerintah dalam lingkup PPLH sebagaimana diatur dalam PP 22/2022.

    Penerapan Sanksi Paksaan Pemerintah dalam Lingkup PPLH

    Paksaan pemerintah diterapkan terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan perintah dalam teguran tertulis dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.[7]

    Pada prinsipnya, paksaan pemerintah harus didahului oleh teguran tertulis. Namun, pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran tertulis apabila pelanggaran yang dilakukan menimbulkan:[8]

    1. Ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup;
    2. Dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya; dan/atau
    3. Kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau kerusakannya.

    Paksaan pemerintah dapat dilakukan dalam bentuk:[9]

    1. Penghentian sementara kegiatan produksi;
    2. Pemindahan sarana produksi;
    3. Penutupan saluran pembuangan air limbah atau emisi;
    4. Pembongkaran;
    5. Penyitaan terhadap barang atau alat yang berpotensi menimbulkan pelanggaran;
    6. Penghentian sementara sebagian atau seluruh usaha dan/atau kegiatan;
    7. Kewajiban menyusun Dokumen Evaluasi Lingkungan Hidup (DELH) atau Dokumen Pengelolaan Lingkungan Hidup (DPLH); dan/atau
    8. Tindakan lain yang bertujuan untuk menghentikan pelanggaran dan tindakan memulihkan fungsi lingkungan hidup.

    Konsekuensi Jika Tidak Melaksanakan Paksaan Pemerintah

    Setiap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dapat diterapkan denda atas keterlambatan pelaksanaan paksaan pemerintah, yang ditentukan berdasarkan penghitungan persentase pelanggaran dikali nilai denda paling banyak.[10]

    Denda atas keterlambatan tersebut merupakan penerimaan negara bukan pajak yang wajib disetorkan ke kas negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.[11]

    Selain denda, penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah juga dapat dikenakan sanksi pidana penjara maksimal 1 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.[12]

    Contoh Kasus

    Di Indonesia sendiri, pemerintah telah banyak menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah. Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menerangkan contoh kasus pengenaan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah. Pada 2018, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (“KLHK”) menjatuhkan sanksi administratif berupa paksaan pemerintah kepada Pertamina Refinery Unit V berkenaan dengan adanya kebocoran minyak mentah dari pipa bawah laut yang tersangkut jangkar kapal sebagaimana tercantum dalam Surat Keputusan Nomor 2631 tertanggal 30 April 2018.

    Bentuk paksaan pemerintah yang dikenakan terhadap Pertamina Refinery Unit V tersebut, salah satunya, berupa pemulihan lingkungan terdampak tumpahan minyak.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
    2. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja;
    3. Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
    4. Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 2 Tahun 2013 tentang Pedoman Penerapan Sanksi Administratif di Bidang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

    Referensi:

    1. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Sinar Grafika), 2018;
    2. Andri Gunawan Wibisana. Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6 No. 1 (2019).

    Catatan:

    Kami telah melakukan wawancara dengan Grita Anindarini, Deputi Direktur Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), via telepon pada Kamis, 24 Februari 2022 pukul 17.00 WIB.

    [1] W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Sinar Grafika), 2018, hal. 217-218

    [2] Pasal 1 angka 99 Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“PP 22/2021”)

    [3] Andri Gunawan Wibisana. Tentang Ekor yang Tak Lagi Beracun: Kritik Konseptual atas Sanksi Administratif dalam Hukum Lingkungan di Indonesia. Jurnal Hukum Lingkungan Indonesia, Vol. 6 No. 1 (2019), hal. 42.

    [4] W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Sinar Grafika), 2018, hal. 218-219

    [5] W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Sinar Grafika), 2018, hal. 218-219

    [6] W. Riawan Tjandra. Hukum Administrasi Negara. (Jakarta: Sinar Grafika), 2018, hal. 218

    [7] Pasal 511 ayat (1) PP 22/2021

    [8] Pasal 511 ayat (2) PP 22/2021

    [9] Pasal 511 ayat (3) PP 22/2021

    [10] Pasal 513 ayat (1) dan (2) PP 22/2021

    [11] Pasal 513 ayat (3) PP 22/2021

    [12] Pasal 114 UU PPLH

    Tags

    hukum administrasi negara
    hukum lingkungan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!