1. Untuk menjawab pertanyaan Anda, sebenarnya saya membutuhkan informasi tambahan tentang kondisi keluarga ibu (pemilik sertifikat): apakah suami ibu (ayah si anak sudah meninggal dunia)?
Ada beberapa keadaan atau kemungkin di dalam praktik yang dapat menjadi pertimbangan. Namun, saya cenderung berasumsi bahwa kondisi keluarga ibu (pemilik sertifikat), ada di kondisi yaitu si ayah (suami ibu) sudah meninggal dunia. Jika kondisinya demikian, maka walaupun sertifikat atas nama ibu, namun apabila tanah/bangunan tersebut dibeli dulu pada saat perkawinan mereka masih berlangsung, (dan antara keduanya tidak dibuatkan perjanjian pisah harta), maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) tanah/bangunan tersebut termasuk dalam harta gono gini dari ibu dan ayah.
klinik Terkait :
Jika ayah sudah meninggal dunia, maka ½ bagian dari tanah tersebut adalah hak dari ahli warisnya, yaitu: ibu dan 9 orang anaknya (Pasal 852 KUHPerdata). Dengan demikian, untuk menjaminkan harta yang terdaftar atas nama ibu tersebut, diharuskan adanya persetujuan dari seluruh anak-anak kandungnya.
2. Keraguan Anda mengenai apakah notaris tersebut dapat mempergunakan persetujuan dari anak-anak (saudara kandung dari calon debitur bank tersebut) untuk balik nama sertifikat dapat dilihat dalam bunyi akta/surat/dokumen yang ditanda-tangani. Kalau tujuannya untuk balik nama, tentunya yang ditandatangani adalah Akta Jual Beli atau Akta Hibah dan segala kelengkapannya. Namun, jika tujuannya adalah untuk menjaminkan, tentunya yang ditandatangani adalah Akta Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (“SKMHT”) atau Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) beserta kelengkapannya.
3. Untuk menjaminkan tanah maupun menjual atau mengalihkan kepemilikan atas tanah, memang dibutuhkan persetujuan dan kuasa yang lebih kuat daripada sekedar persetujuan dan kuasa biasa. Jadi, kuasa tersebut memang minimal harus dilegalisir notaris setempat atau kuasa notariil. Berhubung posisinya ada di luar negeri, dan yang bersangkutan adalah warga negara Indonesia, minimal kuasa tersebut harus dilegalisir oleh Kedutaan Besar atau Konsulat Jenderal (“Konjen”) Republik Indonesia yang berada di Negara tersebut. Begitupun untuk kuasa menjaminkan sampai sekarang masih debatable (diperdebatkan, ed.), apakah bisa dengan kuasa terpisah (yang dilegalisasi Konjen RI setempat) ataukah harus tetap dalam bentuk SKMHT. Sehingga notaris masih ada yang mengacu kepada salah satu dengan argumentasi yang masing-masing, namun bermuara pada hal yang sama: kuasa tersebut harus otentik (Akta SKMHT) atau minimal dilegalisir penuh oleh notaris/Konjen RI yang berwenang.
Demikian penjelasan dari saya, untuk detail pembahasannya ada di buku saya yang berjudul: Kiat Cerdas Mudah dan Bijak Dalam memahami HUKUM JAMINAN PERBANKAN, KAIFA, 2011.