Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Ketentuan yang mengatur mengenai perkawinan terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Dalam pasal 38 UUP disebutkan bahwa putusnya perkawinan disebabkan karena kematian, perceraian, dan putusan pengadilan. Apabila Bapak akan mengajukan gugatan cerai, maka pertama kali yang harus Bapak lakukan adalah mengajukan gugatan kepada Pengadilan (lihat pasal 40 ayat (1) UUP). Bagi pasangan yang melakukan perkawinan secara Islam, maka pengadilan yang berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara perceraian adalah Pengadilan Agama [pasal 1 angka 1 jo. pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama]. Oleh karena Bapak beragama Buddha, maka pengajuan gugatan cerai diajukan kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman istri [pasal 118 ayat (1) HIR].
Pada persidangan pertama, Pengadilan yang memeriksa gugatan cerai wajib mendamaikan kedua belah pihak [pasal 130 ayat (1) HIR]. Perceraian hanya dapat dilakukan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak [Pasal 39 ayat (1) UUP].
Apabila perceraian telah terjadi, maka Bapak tetap diwajibkan untuk memelihara dan mendidik anak-anak [pasal 45 ayat (1) UUP). Selain itu juga Bapak mempunyai tanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak. Lalu, bagaimana kewajiban Bapak kepada istri? Pasal 39 huruf c UUP menyatakan bahwa pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri.
Mengenai pembagian harta, UUP menyatakan bahwa harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama kecuali pada saat melaksanakan perkawinan terdapat perjanjian mengenai pemisahan harta [pasal 35 ayat (1) UUP]. Sayangnya Bapak tidak menjelaskan apakah saat akan melaksanakan perkawinan kedua belah pihak membuat perjanjian mengenai pisah harta. Perjanjian perkawinan dalam UUP diperbolehkan asalkan tidak melanggar batas-batas hukum, agama, dan kesusilaan [pasal 29 ayat (2) UUP]. Oleh karena itu, kami asumsikan tidak ada perjanjian pisah harta di antara bapak dan istri.
Harta berupa rumah, mobil, dan tabungan yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama dan apabila terjadi suatu perceraian maka harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing [pasal 35 ayat (1) jo pasal 37 UUP]. Dalam penjelasan pasal 37 yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing adalah hukum agama, hukum adat, dan hukum-hukum lainnya. Oleh karena Bapak beragama Buddha, maka dalam pembagian harta bersama diatur dalam pasal 128 KUHPerdata. Ketentuan dalam pasal tersebut menyatakan bahwa setelah bubarnya persatuan (perkawinan), kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa memperdulikan barang-barang tersebut diperoleh oleh siapa saat perkawinan.
Mengenai hak asuh anak, pasal 41 UUP menyatakan bahwa apabila perkawinan putus karena perceraian, maka akibat hukum terhadap anak tersebut adalah bahwa baik bapak atau ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak, dan apabila terjadi perselisihan mengenai penguasaan anak-anak, pengadilan memberikan keputusannya. Oleh karena itu, pengasuhan anak dapat diperoleh berdasarkan keputusan pengadilan. Biasanya untuk yang beragama Islam pengadilan memberikan hak asuh anak yang di bawah umur kepada ibu. Hal ini berdasarkan pasal 105 Kompilasi Hukum Islam, di mana anak yang belum berusia 12 tahun adalah hak ibunya.
Demikian sejauh yang kami pahami. Semoga bermanfaat.
Peraturan perundang-undangan terkait:
1. KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek Voor Indonesie atau BW, Staatsblad 1847 No. 23)
2. HIR (Het Herziene Indonesisch Reglemen, Staatblad Tahun 1941 No. 44)
3. UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
4. UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama
5. Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991)
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?
Perusahaan Anda Di Sini!