Saya mau bertanya tentang apa saja modus-modus operandi dalam kejahatan di bidang perpajakan? Apakah masalah pajak itu bisa diarahkan ke pasal pidana umum (KUHP) dan kalau bisa pasal berapa saja? Apabila diarahkan ke pidana umum, apakah asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis masih berlaku? Dalam artian apakah penyidiknya tetap penyidik PPNS pajak?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Ada berbagai macam modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”), menolak untuk melakukan pemeriksaan, memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu, dan lain-lain.
Lalu, bagaimana ketentuannya hukumnya? Siapa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Modus Operandi Tindak Pidana Perpajakan
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Modus operandi adalah teknik dan cara beroperasi yang dipakai oleh penjahat untuk melakukan tindak pidana.[1] Perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, maka harus dilihat dari rumusan undang-undang yang dikenal dengan asas legalitas. [2]
Menjawab pertanyaan Anda, disarikan dari jurnal Ruben Achmad yang berjudul Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan, beberapa contoh modus operandi tindak pidana perpajakan antara lain:[3]
menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”);
menolak untuk melakukan pemeriksaan;
memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu;
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;
menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak palsu (tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya);
melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,[4] dan lain-lain.
Selain itu, terdapat juga modus operandi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang dapat berupa kerugian keuangan negara, perekonomian negara, suap, penggelapan, pemerasan dan pemberian.[5]
Ketentuan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Terdapat beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan bidang perpajakan yang tercantum dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[6] yakni pada tahun 2026, misalnya:
Tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242 KUHP dan Pasal 291 UU 1/2023);
Tindak pidana melakukan tipu muslihat/perbuatan curang (Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 dan 495 UU 1/2023).
Dari contoh tindak pidana yang terdapat di KUHP, menurut pandangan kami, perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan akan selalu berkaitan dan mencakup rumusan tindak pidana lain, baik yang bersifat umum ataupun khusus. Namun, walaupun demikian, penyelesaian tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan dengan menggunakan dasar hukum UU 6/1983 beserta perubahannya.
Hal tersebut sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Berdasarkan artikel Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, dengan adanya asas lex specialis derogat legi generalis, maka aturan hukum yang sifatnya khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang sifatnya umum. Artinya, penggunaan tindak pidana umum dalam KUHP ditujukan kepada tindak pidana yang tidak termasuk ke dalam ranah tindak pidana khusus di bidang perpajakan.
Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Pasal 43A ayat (3) UU 28/2007:
Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.
Dari semua peraturan perundang-undang di bidang perpajakan, yang menjadi subjek hukum tindak pidana di bidang perpajakan adalah:[7]
wajib pajak;
petugas pajak atau pejabat pajak (fiskus); dan
pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.
Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil
Menjawab pertanyaan Anda, lantas bagaimana dengan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan? Pada dasarnya, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.[8]
menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
menghentikan penyidikan; dan/atau
melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.
PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP.[10] Selain itu, dalam rangka pelaksanaan kewenangan PPNS pada tindak pidana di bidang perpajakan, PPNS dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.[11]
Kesimpulannya, ada berbagai modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan seperti menyalahgunakan atau menggunakan NPWP tanpa hak, menolak untuk melakukan pemeriksaan, memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu, tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, dan lainnya. Tindak pidana di bidang perpajakan akan selalu berkaitan dan mencakup rumusan tindak pidana lain, misalnya di KUHP. Namun, karena asas lex specialis derogat legi generalis, maka hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan diaturmenggunakan dasar hukum UU 6/1983 beserta perubahannya. Selain itu, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.
Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.
R. Soesilo. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bandung: PT. Karya Nusantara 1980;
Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016;
Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1;
Muhammad Djafar Saidi. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 1, 2013.
[1] R. Soesilo. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bandung: PT. Karya Nusantara 1980, hlm 98.
[2] Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016, hal. 4.
[3] Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016, hal. 6-8.
[4] Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1, hal. 48.
[5] Muhammad Djafar Saidi. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 1, 2013, hal. 40.
[7] Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1, hal. 56.