Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Modus Operandi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Modus Operandi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

Modus Operandi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan
Dian Dwi Jayanti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Modus Operandi Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

PERTANYAAN

Saya mau bertanya tentang apa saja modus-modus operandi dalam kejahatan di bidang perpajakan? Apakah masalah pajak itu bisa diarahkan ke pasal pidana umum (KUHP) dan kalau bisa pasal berapa saja? Apabila diarahkan ke pidana umum, apakah asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis masih berlaku? Dalam artian apakah penyidiknya tetap penyidik PPNS pajak?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Ada berbagai macam modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan, misalnya menyalahgunakan Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”), menolak untuk melakukan pemeriksaan, memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu, dan lain-lain.

    Lalu, bagaimana ketentuannya hukumnya? Siapa yang berwenang melakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul yang sama yang dibuat oleh Ikatan Kuasa Hukum dan Advokat Pajak Indonesia (IKHAPI) dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 30 Desember 2020.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    KLINIK TERKAIT

    Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi

    Ragam Kebijakan Insentif dan Relaksasi Pajak Selama Pandemi

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Modus Operandi Tindak Pidana Perpajakan

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Modus operandi adalah teknik dan cara beroperasi yang dipakai oleh penjahat untuk melakukan tindak pidana.[1] Perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain, untuk mengetahui sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, maka harus dilihat dari rumusan undang-undang yang dikenal dengan asas legalitas. [2]

    Menjawab pertanyaan Anda, disarikan dari jurnal Ruben Achmad yang berjudul Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan, beberapa contoh modus operandi tindak pidana perpajakan antara lain:[3]

    1. menyalahgunakan atau menggunakan tanpa hak Nomor Pokok Wajib Pajak (“NPWP”);
    2. menolak untuk melakukan pemeriksaan;
    3. memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu;
    4. tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara;
    5. menerbitkan dan/atau menggunakan faktur pajak, bukti pemungutan pajak, bukti pemotongan pajak, dan/atau bukti setoran pajak palsu (tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya);
    6. melampirkan keterangan yang isinya tidak benar,[4] dan lain-lain.

    Selain itu, terdapat juga modus operandi yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi di bidang perpajakan yang dapat berupa kerugian keuangan negara, perekonomian negara, suap, penggelapan, pemerasan dan pemberian.[5]

    Ketentuan Hukum Tindak Pidana di Bidang Perpajakan

    Terdapat beberapa tindak pidana yang berkaitan dengan bidang perpajakan yang tercantum dalam ketentuan KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan,[6] yakni pada tahun 2026, misalnya:

    1. Tindak pidana memberikan keterangan palsu di atas sumpah (Pasal 242 KUHP dan Pasal 291 UU 1/2023);
    2. Tindak pidana pemalsuan meterai (Pasal 253 KUHP dan Pasal 382 UU 1/2023);
    3. Tindak pidana pemalsuan surat (Pasal 263 KUHP dan Pasal 391 UU 1/2023);
    4. Tindak pidana membuka rahasia (Pasal 322 KUHP dan Pasal 443 UU 1/2023);
    5. Tindak pidana penggelapan (Pasal 372 KUHP dan Pasal 486 UU 1/2023);
    6. Tindak pidana melakukan tipu muslihat/perbuatan curang (Pasal 378 KUHP dan Pasal 492 dan 495 UU 1/2023).

    Dari contoh tindak pidana yang terdapat di KUHP, menurut pandangan kami, perbuatan tindak pidana di bidang perpajakan akan selalu berkaitan dan mencakup rumusan tindak pidana lain, baik yang bersifat umum ataupun khusus. Namun, walaupun demikian, penyelesaian tindak pidana di bidang perpajakan dilakukan dengan menggunakan dasar hukum UU 6/1983 beserta perubahannya.

    Hal tersebut sesuai dengan asas lex specialis derogat legi generalis. Berdasarkan artikel Mengenai Asas Lex Specialis Derogat Legi Generalis, dengan adanya asas lex specialis derogat legi generalis, maka aturan hukum yang sifatnya khusus akan mengesampingkan aturan hukum yang sifatnya umum. Artinya, penggunaan tindak pidana umum dalam KUHP ditujukan kepada tindak pidana yang tidak termasuk ke dalam ranah tindak pidana khusus di bidang perpajakan.

    Baca juga: Penjelasan Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori dan Bedanya dengan Lex Specialis

    Untuk mempermudah pemahaman Anda, berikut kami berikan contoh pasalnya:

    Pasal 36A ayat (3) UU 28/2007:

    Pegawai pajak yang dalam melakukan tugasnya terbukti melakukan pemerasan dan pengancaman kepada Wajib Pajak untuk menguntungkan diri sendiri secara melawan hukum diancam dengan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 368 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Pasal 43A ayat (3) UU 28/2007:

    Apabila dari bukti permulaan ditemukan unsur tindak pidana korupsi, pegawai Direktorat Jenderal Pajak yang tersangkut wajib diproses menurut ketentuan hukum Tindak Pidana Korupsi.

    Dari semua peraturan perundang-undang di bidang perpajakan, yang menjadi subjek hukum tindak pidana di bidang perpajakan adalah:[7]

    1. wajib pajak;
    2. petugas pajak atau pejabat pajak (fiskus); dan
    3. pihak ketiga yang bukan wajib pajak dan bukan pejabat pajak.

    Kewenangan Penyidik Pejabat Pegawai Negeri Sipil

    Menjawab pertanyaan Anda, lantas bagaimana dengan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan? Pada dasarnya, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh Pejabat Pegawai Negeri Sipil (“PPNS”) tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.[8]

    Kemudian, wewenang PPNS adalah:[9]

    1. menerima, mencari, mengumpulkan, dan meneliti keterangan atau laporan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan agar keterangan atau laporan tersebut menjadi lebih lengkap dan jelas;
    2. meneliti, mencari, dan mengumpulkan keterangan mengenai orang pribadi atau badan tentang kebenaran perbuatan yang dilakukan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    3. meminta keterangan dan bahan bukti dari orang pribadi atau badan sehubungan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    4. memeriksa buku, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    5. melakukan penggeledahan untuk mendapatkan bahan bukti pembukuan, pencatatan, dan dokumen lain, serta melakukan penyitaan terhadap bahan bukti tersebut;
    6. meminta bantuan tenaga ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan;
    7. menyuruh berhenti dan/atau melarang seseorang meninggalkan ruangan atau tempat pada saat pemeriksaan sedang berlangsung dan memeriksa identitas orang, benda, dan/atau dokumen yang dibawa;
    8. memotret seseorang yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan;
    9. memanggil orang untuk didengar keterangannya dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
    10. menghentikan penyidikan; dan/atau
    11. melakukan tindakan lain yang perlu untuk kelancaran penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan.

    PPNS memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada penuntut umum melalui penyidik pejabat Polisi Negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam KUHP.[10] Selain itu, dalam rangka pelaksanaan kewenangan PPNS pada tindak pidana di bidang perpajakan, PPNS dapat meminta bantuan aparat penegak hukum lain.[11]

    Kesimpulannya, ada berbagai modus operandi tindak pidana di bidang perpajakan seperti menyalahgunakan atau menggunakan NPWP tanpa hak, menolak untuk melakukan pemeriksaan, memperlihatkan pembukuan pencatatan atau dokumen palsu, tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut, dan lainnya. Tindak pidana di bidang perpajakan akan selalu berkaitan dan mencakup rumusan tindak pidana lain, misalnya di KUHP. Namun, karena asas lex specialis derogat legi generalis, maka hal-hal yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang perpajakan diaturmenggunakan dasar hukum UU 6/1983 beserta perubahannya. Selain itu, penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS tertentu di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    2. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diubah keempat kalinya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Menjadi Undang-Undang;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

    Referensi:

    1. R. Soesilo. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bandung: PT. Karya Nusantara 1980;
    2. Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016;
    3. Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1;
    4. Muhammad Djafar Saidi. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 1, 2013.

    [1] R. Soesilo. Taktik dan Teknik Penyidikan Perkara Kriminil. Bandung: PT. Karya Nusantara 1980, hlm 98.

    [2] Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016, hal. 4.

    [3] Ruben Achmad. Aspek Hukum Pidana dalam Tindak Pidana Perpajakan. Jurnal Hukum Doctrinal, Vol 1, No. 2, 2016, hal. 6-8.

    [4] Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1, hal. 48.

    [5] Muhammad Djafar Saidi. Tindak Pidana Korupsi di Bidang Perpajakan. Jurnal Hukum dan Peradilan, Vol. 2, No. 1, 2013, hal. 40.

    [6] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”).

    [7] Mudzakkir. Pengaturan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan dan Hubungannya dengan Hukum Pidana Umum dan Khusus. Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 8, No. 1, hal. 56.

    [8] Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 28/2007”).

    [9] Pasal 44 ayat (2) UU 28/2007.

    [10] Pasal 44 ayat (3) UU 28/2007.

    [11] Pasal 44 ayat (4) UU 28/2007.

    Tags

    korupsi
    pajak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ini Cara Mengurus Akta Nikah yang Terlambat

    30 Sep 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!